Istana Maimun pun seharusnya begitu. Memang tetap dikunjungi masyarakat, tapi daya tariknya bisa semakin menurun jika tak dirawat sebaik Prancis dan India merawat Istana Versailles dan Taj Mahal.
Sabtu pekan lalu ANTARA mengunjungi istana itu. Tak bisa dipungkiri lagi tempat ini sungguh eksotis, tapi hal-hal memprihatinkan terungkap ketika semakin dekat mengenali istana itu.
Bukan saja dari eksterior, tetapi juga dari interior. Jelas terlihat situs bersejarah yang turut menjadi jejak bangsa Indonesia ini membutuhkan perawatan lebih.
Rumput depan Istana yang di masa jayanya tertata rapi sehingga mempesona semua orang, kini tak terawat dengan baik.
Halaman berikut: Identitas dan akar bersama Kala hujan turun, tercipta genangan-genangan kecil di antara reremputan itu.
Bahkan sebuah jalan di sisi kanan istana itu dinodai oleh kubangan-kubangan air, yang semestinya tak ada di tempat seeksotis dan sebersejarah ini.
Estetika keseluruhan istana yang dibangun oleh Sultan Ma'mun Al Rashid Perkasa Alamsyah pada 1887–1891 dengan arsitek Theodoor van Erp dari Belanda itu terganggu, jika tidak disebut rusak.
Interiornya pun begitu. Sebagian orisinalitas memudar sehingga mengurangi nilai dan ketinggian peradaban yang menjadi konten utama dari istana ini.
Para pedagang memenuhi ruang inti istana yang semestinya steril dari siapa pun, kecuali pengunjung.
Padahal dengan nilai sejarah yang begitu tinggi, Istana Maimun seharusnya ditata dengan lebih baik sehingga daya tariknya semakin tinggi lagi.
Keluarga Sultan Deli dan para ahli waris membuka seluas mungkin istana ini untuk masyarakat, tapi menjadikan istana ini tetap indah sehingga orang nyaman merenungkan kebesaran sejarah bangsanya, seharusnya tetap menjadi kepedulian.
Itu semua penting demi menunjukkan kepedulian bangsa ini terhadap warisan dan jejak bangsa yang tak saja membentuk peradaban bangsa ini, tapi juga turut menciptakan ikatan bersama yang melahirkan Indonesia.
Kita sudah terlalu sering mengabaikan hal-hal esensial di bali peninggalan-peninggalan di masa lalu, yang mestinya dirawat baik-baik agar bangsa ini tetap memiliki akar dan identitas bersama.
Jepang, China, dan Eropa, justru lain. Mereka intensif merawat peninggalan-peninggalan bersejarah, tidak melulu untuk tujuan pariwisata dan ekonomi, tapi lebih penting lagi tentang jati diri bangsa.
Mereka adalah bangsa-bangsa modern yang merangkul erat teknologi dan dominan mendefinisikan peradaban global, tapi mereka tak pernah melupakan jejak dan akar sejarahnya.