Medan (ANTARA) - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, menolak eksepsi atau nota keberatan yang diajukan terdakwa perkara dugaan korupsi Bupati Labuhanbatu nonaktif Erik Adtrada Ritonga.
Selain menolak eksepsi Erik, Hakim Ketua As'ad Rahim Lubis juga menolak eksepsi yang diajukan terdakwa Rudi Syahputra (berkas terpisah), mantan anggota DPRD Labuhanbatu, atas kasus dugaan pemberian suap pengamanan proyek sebesar Rp4,9 miliar.
"Menyatakan keberatan eksepsi yang diajukan para terdakwa tidak dapat diterima," tegas Hakim Ketua As'ad Rahim ketika membacakan putusan sela di Ruang Sidang Cakra II Pengadilan Tipikor pada PN Medan, Kamis.
Majelis hakim menyatakan bahwa eksepsi yang diajukan para terdakwa telah memasuki pokok perkara dan surat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memenuhi syarat formil dan materiil sebagaimana Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b dan ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa sesuai Pasal 1 angka 3 dan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
"Menimbang berdasarkan pertimbangan tersebut maka tindakan prapenuntutan dan penuntutan perkara kedua terdakwa yang dilakukan JPU KPK serta Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Medan mengadili perkara ini. Keberatan penasihat hukum terdakwa dalam poin 3, 4 dan 5 tidak dapat diterima," kata As'ad.
Hakim juga berpendapat dalil keberatan penasihat hukum terdakwa menjadi dasar alasan keberatan terhadap JPU KPK karena setiap proses penuntutan terlebih dahulu harus mendapat persetujuan Jaksa Agung melalui pendelegasian.
"KPK merupakan lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan, sebagaimana ketentuan Pasal 3 UU Nomor 19 Tahun 2019, sehingga tidak logis apabila KPK dalam melakukan tindakan prapenuntutan dan penuntutan tidak pidana korupsi harus mendapat pendelegasian kewenangan dari Jaksa Agung," jelasnya.
As'ad melanjutkan KPK berwenang untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku korupsi yang sedang dilakukan kejaksaan.
Pendelegasian wewenang dari Jaksa Agung kepada JPU KPK akan berdampak pada independensi KPK dalam pemberian kewenangan kepada badan atau pejabat pemerintah oleh undang-undang.
KPK memiliki kewenangan atribusi untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi maka JPU KPK menjalankan fungsi prapenuntutan dan penuntutan tidak perlu adanya pelimpahan kewenangan dari Jaksa Agung.
"Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 10a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi," ujarnya.
Setelah menolak eksepsi kedua terdakwa, Hakim Ketua As’ad Rahim Lubis memerintahkan JPU KPK untuk melanjutkan persidangan dengan agenda pembuktian hingga putusan akhir.
"Memerintahkan kepada penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara terdakwa dan menghadirkan para saksi," tegas As'ad.
Usai mendengarkan pembacaan putusan sela itu, persidangan ditunda hingga Kamis, 11 Juli 2024, dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi.
Dalam kasus ini, Erik dan Rudi didakwa dengan dakwaan primer, yaitu Pasal 12 huruf b jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 56 ayat (1) KUHP.
Bupati Labuhanbatu nonaktif Erik Adtrada Ritonga terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara, pada 11 Januari 2024.
Erik mensyaratkan fee hingga 15 persen dari nilai proyek bagi kontraktor agar dimenangkan dalam tender pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkab Labuhanbatu.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Hakim tolak eksepsi Bupati Labuhanbatu nonaktif Erik Adtrada Ritonga