Jakarta (ANTARA) - Psikolog dan dosen program studi psikologi dari Universitas Brawijaya Ulifa Rahma meminta guru untuk tidak abai dengan gejala gangguan mental pada siswa.
Penurunan prestasi akademik dan berkurangnya minat terhadap sekolah dan interaksi dengan guru dan teman juga harus diwaspadai. Beberapa perencana bunuh diri bahkan sudah mempersiapkan surat wasiat dan memberikan barang-barang favoritnya,” ujar Ulifa dalam webinar “Literasi Kesehatan Mental untuk Pencegahan Kasus Bunuh Diri pada Remaja” yang dipantau di Jakarta, Ahad.
Selain itu, seseorang yang hendak melakukan tindakan bunuh diri juga menulis atau menggambar tentang kematian atau bunuh diri. Terutama bagi mereka yang sering kesulitan mengungkapkan emosi yang intens secara verbal.
Anak yang pernah melakukan upaya bunuh diri juga lebih berisiko mengulangi upayanya. Juga anak yang mengalami kehilangan (termasuk kesedihan dan hilangnya hubungan karena perceraian atau perselisihan keluarga), penolakan, kekerasan atau menyaksikan kekerasan.
“Sinyal-sinyal tersebut harus direspons secara serius dan matang. Jangan mengabaikan ancaman dari pelaku dengan menganggap hal tersebut hanya merupakan upaya untuk menarik perhatian. Cobalah ajukan pertanyaan spesifik terkait apa yang disampaikan dan berikan empati saat pelaku mengalami krisis emosional. Serta berikan dukungan secara tepat agar anak dapat mengatasi perasaan dan pemicunya. Jika masih merasa kurang yakin, jangan menunggu lagi untuk merujuk kepada profesional (psikolog/psikiater),” terang dia.
Ia juga menambahkan pentingnya meningkatkan kesadaran literasi kesehatan mental baik kepada remaja, guru dan orang tua sebagai upaya preventif. Hal itu bertujuan agar individu mampu memiliki pengetahuan, keyakinan dan sikap untuk melakukan identifikasi faktor risiko atau penyebab, melakukan manajemen dan pencegahan masalah kesehatan mental.