Medan (ANTARA) - Pemimpin Wilayah Perum Bulog Kanwil Sumut Arif Mandu mengatakan, beras fortifikasi atau beras yang diperkaya dengan gizi tambahan idealnya didistribusikan melalui bantuan sosial (bansos) agar penyebarannya masif untuk mencegah stunting.
"Cocok sekali jika itu diberikan melalui bantuan pangan atau bantuan nontunai," ujar Arif kepada ANTARA di Medan, Sabtu.
Dia melanjutkan, melihat harganya, sulit bagi masyarakat bawah yang merupakan kelompok rentan stunting untuk membeli sendiri beras foritifikasi yang di Bulog dipasarkan dengan jenama "Fortivit".
Hal itu lantaran harganya yang bisa melampaui Rp15 ribu per kilogram. Oleh karena itu, Arif menyebut bahwa skema bantuan dari pemerintah adalah yang paling memungkinkan.
"Jadi, masyarakat mendapatkan beras, stunting dapat teratasi," kata dia.
Menurut Arif, program bantuan sosial beras foritifikasi untuk pengentasan stunting utamanya berada di Kementerian Sosial (Kemensos) seperti halnya bantuan pangan beras yang sampai saat ini terus disalurkan.
Sebab, Kemensos adalah pihak yang terpenting alam pemberian bantuan-bantuan kepada masyarakat.
"Kami sudah pernah mendiskusikan soal bantuan beras foritifikasi untuk mencegah stunting ini dengan BKKBN sebagai ujung tombak pencegahan stunting. Akan tetapi, kuncinya tetap di Kemensos," tutur Arif.
Terkait bantuan sosial pangan untuk KRS, mulai 11 September 2023 pemerintah memberikan bantuan pangan kepada 1,4 juta keluarga berisiko stunting (KRS) sesuai data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Melalui bantuan itu, setiap KRS menerima sekitar satu kilogram daging ayam karkas dan 10 butir telur.
Namun, bantuan stunting itu tidak menyertakan beras fortifikasi dan belum ditujukan ke semua daerah. Provinsi yang berhak menjalankan program itu berstatus prioritas yakni Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat dan Sulawesi Utara.