Saat ini industri sawit nasional tetap memberikan peran yang sangat penting terutama dalam penerimaan devisa negara. Tahun 2022, devisa dari sawit mencapai lebih dari 39,07 miliar dolar AS atau sekitar Rp600 triliun.
"Itu merupakan pencapaian ekspor tertinggi kelapa sawit sepanjang sejarah. Penerimaan devisa ini menjadikan neraca perdagangan RI tetap positif," katanya.
Disamping itu, industri sawit juga menyerap sekitar 16,2 juta tenaga kerja serta mendukung pengembangan dan
pertumbuhan wilayah.
Untuk tahun 2023, sampai dengan bulan Juli, volume ekspor produk sawit mencapai 19,83 juta ton atau lebih tinggi (naik 33 persen) dari ekspor periode sama 2022 yang masih sebesar 14,93 juta ton.
Meski pun terjadi kenaikan volume ekspor, namun dalam perolehan devisa, terjadi penurunan. Kalau nilai ekspor sampai dengan bulan Juli 2022 sebesar 21,43 miliar dolar AS, maka pada periode yang sama tahun 2023 turun menjadi 17,52 miliar dolar AS.
Penurunan tersebut terutama karena harga komoditi minyak nabati dunia khususnya kelapa sawit tahun 2023 lebih rendah dari harga tahun 2022.
"Peranan industri sawit yang penting tersebut tentunya tidak terlepas dari peranan seluruh pelaku industri sawit, baik perkebunan rakyat mau pun perkebunan besar khususnya anggota GAPKI Sumut," katanya.
Ketua GAPKI Sumut, Timbas Prasad Ginting, mengatakan, peranan Sumut dalam industri sawit cukup penting dan kasus lahan perkebunan sawit anggota GAPKI yang diidentifikasikan masuk kawasan hutan itu juga menjadi masalah krusial di Sumut.
Timbas Prasad Ginting menyebutkan di Sumut ada lahan yang diindentifikasi masuk kawasan hutan. "Karena itu GAPKI Sumut bersama GAPKI pusat dan lainnya terus berjuang menyelesaikan masalah itu," katanya.