"Kita ingin insentif fiskal itu kompetitif, dibandingkan negara kompetitor kita. Misalnya, pajak CBU (completly built up) itu nanti bisa kita 0-kan, PPN-nya nanti bisa kita nolkan. Ini sedang kita rumuskan, tentu bersama Kemenkeu, tapi tadi Pak Presiden sudah menyetujui, jadi semua kebijakan fiskal kita harus kompetitif dibandingkan kebijakan fiskal yang sudah diberikan negara lain kompetitor kita dengan konteks mobil listrik," ungkap Agus.
Kemudian, dalam konteks percepatan ekosistem (EV) pemerintah juga merelaksasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan yang berkaitan dengan pengaturan TKDN.
"Dalam Perpres No 55 diatur bahwa TKDN ini pada tahun 2024 TKDN mobil listrik itu diwajibkan 40 persen, nah itu kita relaksasi jadi 40 persen itu ada pada 2026, (tapi) capaian TKDN 40 persen ini belum tentu di 2026, bisa lebih cepat karena tergantung dari kesiapan industri kita menyuplai baterai karena baterai itu komponen terbesar kendaraan listrik, sekitar 40-50 persen komponen di baterai, jadi bisa lebih cepat," jelas Agus.
Paling tidak, menurut Agus, Perpres No 55/2019 akan direvisi, sehingga kandungan TKDN 40 persen bukan pada 2024 melainkan pada 2026.
"Setelah 2026 baru kita kejar ke 60 persen, tidak ada perubahan. Nah, ini semua dilakukan pemerintah dengan dasar utama, yaitu percepatan ekosistem karena pasti berkaitan banyak hal termasuk nanti ada pajak, perluasan tenaga kerja," ungkap Agus.
Agus menyebut ekosistem kendaraan bermotor berbasis listrik juga sangat luas, namun pemerintah tetap ingin mengambil potensi dari ekosistem tersebut.