Padangsidimpuan (ANTARA) - Pengertian Demokrasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefenisikan sebagai bentuk/sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya atau pemerintahan rakyat. Secara terminology bahasa, demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang secara eksplisit diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau dalam istilah yang biasa kita kenal dengan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kiblat demokrasi di dunia adalah negara super power yaitu Amerika Serikat. Sistem demokrasi yang dianut oleh negara Amerika Serikat tentunya tidak terlepas dari sejarah terciptanya Amerika Serikat dan terpilihnya Presiden pertamanya yaitu George Washington. Literasi sejarah banyak menuturkan bahwa benua Amerika saat pertama kali ditemukan seolah olah menjadi sebuah pulau yang dipenuhi dengan harapan baru. Masyarakat eropa dari berbagai negara banyak pindah dan eksodus ke benua baru tersebut, salah satu penyebab eksodus tersebut adalah terjadinya Revolusi Prancis.
Perpindahan tersebut secara otomatis mengakibatkan terciptanya koloni-koloni yang berasal dari daerah dan negara masing-masing. Sehingga benua baru tersebut dihuni oleh banyak koloni yang berasal dari negara asal yang berbeda. Masing-masing koloni tentunya memiliki tujuan masing-masing, termasuk menjadikan koloninya sebagai koloni yang memiliki pengaruh dominan terhadap kebudayaan, wilayah dan penguasaan sektor ekonomi. Saling rebut pengaruh ini lantas menciptakan perang fisik yang berkepanjangan.
Perang ini semakin diperparah dengan keberadaan suku asli Amerika yang secara terang-terangan merasa terancam keberadaannya dengan kehadiran orang-orang atau komunitas yang dianggap bukan suku asli Amerika.
Perang antara sesama koloni ditambah perang melawan suku asli amerika terjadi dalam rentan waktu yang relatif lama dan terus menerus tanpa sebuah kesepakatan dan penyelesaian yang jelas. Hingga muncul seorang Jendral Militer yang bernama George Wahington yang mampu memenangkan perang melawan koloni Inggris, dan berinisiatif melakukan penyusunan konstitusi Amerika demi menjaga perdamaian, pembagian wilayah dan aturan hukum demi menjaga hak dan kewajiban semua koloni yang ada di Amerika. Kosntitusi tersebut tentunya terbentuk dan tersusun berdasarkan semua kepentingan masing-masing koloni agar merasa mendapat perlakuan yang sama.
Bila ditilik dari sejarah penyusunan kemerdekaan Indonesia, tergambar jelas bahwa orang-orang yang terlibat dalam berbagai kepanitiaan kemerdekaan berasal dari berbagai etnis dan kesukuan yang ada pada saat itu. Soekarno etnis Jawa beragama Islam, Hatta etnis Minang dan beragama Islam, A.A. Maramis berasal dari Ambon dan beragama Krsiten, Parada Harahap berasal dari Tapanuli, dan banyak nama lainnya. Keragaman ini sudah pasti ingin menciptakan sebuah keseragaman yang bersumber dari banyak ide, pendapat dan saran dari berbagai orang yang berbeda kultur budaya yang bertujuan mengakomodir semua kepentingan demi terwujudnya kesamaan hak dan kewajiban dengan tetap bersandar pada konsep majority rule, minority right.
Kaum Muda Dalam Arus Demokrasi
Nadhirun (2012) dalam Mengenal Lebih Dekat Demokrasi di Indonesia menuturkan bahwa proses awal demokrasi di Indonesia dimulai pada awal abad ke-20. Mahasiswa dan anak-anak muda yang mengenyam pendidikan di Eropa mulai mengenal dan membaca ide demokrasi. Ide demokrasi ini banyak mereka temukan pada ruang-ruang diskusi terbuka serta pada buku-buku dan berbagai literasi lainnya. Mohammad Hatta adalah salah satu generasi pertama merasakan keindahan dari konsep demokrasi saat masih bersekolah di Eropa. Dan ide demokrasi ini cepat meresap pada tokoh-tokoh muda pergerakan pada generasi Hatta.
Sutan Syahrir (1909-1966) menjadi perdana mentri pertama di era Demokrasi Parlementer. Syahrir memulai tugasnya menjadi perdana mentri pada 2 Oktober 1946, dan usianya pada saat itu berumur 37 tahun. Syahrir dikenal dalam sejarah sebagai bahagian dari tokoh kalangan muda yang pernah memaksa Soekarno untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia sebelum 17 Agustus 1945. Syahrir juga merupakan tokoh yang menggagas lahir dan berdirinya Jong Indonesie (Himpunan Pemuda Indonesia) pada 20 Februari 1927. Organisasi yang digagas Syahrir kemudian berubah nama menjadi Pemuda Indonesia yang pada tahun 1928 juga tercatat sebagai salah satu inisiator terlaksananya Kongres Pemuda kedua dan menghasilkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda ini menjadi salah satu simbol kemunculan perjuangan pemuda dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia yang sampai saat ini masih senantiasa diperingati sebagai salah satu hari penting di Indonesia.
Pasca Syahrir, ada nama Amir Syarifuddin (1907-1948) yang menjadi perdana mentri kedua. Amir Syarifuddin dalam banyak sejarah tercatat sebagai salah satu pendiri Jong Bataks Bond (Perhimpunan Pemuda Batak) yang saat itu merupakan pecahan dari Jong Sumatera (Perhimpunan Pemuda Sumatera). Jong Bataks Bond memisahkan diri dari Jong Sumatera diakibatkan masalah donimnasi. Jong Sumatera didominasi oleh para pemuda yang berasal dari Minang yang berbeda secara kultur budaya dengan pemuda yang berasal dari Sumatera Utara yang beretnis Batak. Minang dengan sistem Mathernalistic sangat tidak sesuai dengan kultur batak yang mengadopsi Pathernalistic menjadi salah satu sebab Jong Bataks memisahkan diri. Amir Syarifuddin yang lahir di Medan juga menjadi salah satu otak Kongres Pemuda kedua dengan posisi sebagai bendahara pada saat pelaksanaan kongres tersebut.
Soekarno, Hatta, Syahrir dan Amir Syarifuddin dikenal dengan sangat dekat bahkan mendapat julukan empat serangkai. Maka sangat wajar, saat Amir Syarifuddin divonis hukuman mati pada saat penjajahan Jepang, Soekarno dan Hatta melakukan lobi-lobi diplomasi demi menyelematkan Amir Syarifuddin dari hukuman mati.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menandakan berakhirnya sistem demokrasi parlementer dan berubah secara total menjadi sistem demkorasi terpimpin. Isi dari Dekrit Presiden tersebut antara lain adalah pembubaran konstituante, kembali ke UUD 1945 dan pembentukan MPRS. Demokrasi terpimpin saat itu diartikan kepemimpinan dipegang oleh dwi tunggal yaitu Presiden dan Wakil Presiden. TAP MPRS Nomor III/MPRS/1963 menetapkan Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup, dibentuknya poros Nasionalis, Agama dan Komunis (NASAKOM) yang merupakan produk dari Demokrasi Terpimpin menjadi kontroversi yang sangat kontras pada saat itu.
Era Demokrasi Terpimpin dengan segala kontreversinya memunculkan banyak reaksi dari kalangan muda pada saat itu. Pemuda Pancasila muncul sebagai organisasi yang didirikan oleh Jendral Abdul Haris Nasution pada 28 Oktober 1928. Semangat kemunculan organisasi Pemuda Pancasila merupakan sebuah reaksi terhadap semakin tingginya pengaruh Partai Komunis Indonesia dalam politik nasional. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang didirikan oleh Lafran Pane pada tahun 1947 juga didera isu pembubaran oleh Presiden Soekarno pada era Demokrasi Terpimpin. Dan secara otomatis, perlawanan terhadap penguasa saat itu menjadi isu strategis bagi HMI untuk tetap bisa mempertahankan eksistensinya sebagai salah satu organisasi mahasiswa Islam pertama yang lahir di Indonesia.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berdiri pada 17 April 1960 yang didasari dari Departemen Perguruan Tinggi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) juga turut menghiasi alam demokrasi terpimpin. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) berdiri di Yogyakarta pada 14 Maret 1964 dan menasional di tahun 1965. Dan masih banyak lagi muncul organisasi kepemudaan dan mahasiswa pada era Demokrasi Terpimpin. Respon lain yang muncul saat era demokrasi terpimpin adalah terbentuknya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang didominasi oleh kelompok cipayung dan Kesatuan Aksi Para Pelajar Indonesia (KAPI) yang melakukan aksi besar-besaran dengan tiga tuntutan rakyat (tritura).
Konsep NASAKOM yang diusung oleh Soekarno pada saat itu diisi oleh tiga partai besar, Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesis (PKI). PNI mengusung ide nasionalis, NU mengusung ide Agamis, dan PKI mengusung ide Komunis. Akan tetapi secara empiris, Gerakan Pemuda Ansor yang merupakan bahagian dari NU ternyata sering terlibat bentrok fisik dengan organisasi sayap PKI. NASAKOM terlihat seolah-olah terjaga baik, padahal kenyataannya justru sebaliknya.
Gerakan 30 September 1965 yang dimotori oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) seolah menjadi kunci utama dan indikator utama atas berakhirnya masa kepemimpinan Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya. Gerakan 30 September (Gestapu) yang oleh Soekarno mengistilahkan dengan Gerakan 1 Oktober (Gestok) harus memakan korban jiwa dari beberapa perwira tinggi angkatan darat. Dan seketika pasca kejadian tersebut nama Jendral Soeharto melejit ke dasar permukaan. Pada tahun 1966 Soeharto dilantik menjadi Presiden kedua Indonesia oleh MPRS. Terjadinya peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto tentunya beriringan dengan dimulainya perubahan wajah demokrasi di Indonesia. Soekarno dengan konsep Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpinnya lantas disebut sebagai orde lama, dan kepemimpinan Seorharto lantas diberikan istilah sebagai orde baru.
Soeharto sebagai presiden kedua Indonesia membuat sistem kepartaian dengan diisi hanya tiga partai yaitu, Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Maka setiap Pemilihan Umum yang terselenggarakan di era Demokrasi Orde Baru hanya dihiasi oleh tiga partai tersebut. Sebagai seorang mantan jendral militer, Soeharto juga memperbolehkan kalangan militer yang saat itu dikenal dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) mengambil bagian dalam kancah demokrasi dan pertarungan politik. Bahkan golongan militer mendapat jatah satu fraksi di parlemen yang dikenal dengan Fraksi ABRI.
Demokrasi Orde Baru juga dihiasi dengan diberlakukannya asas tunggal sebagai ideologi wajib bagi partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Pengertian dari asas tunggal ini adalah Pancasila sebagai satu-satunya ideologi. Kewajiban melaksanakan asas tunggal ini tertuang dalam TAP MPR Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Partai Politikdan Golongan Karya.
Kewajiban penerapan asas tunggal ini ternyata memberi dampak bagi organisasi kemasyarakatan yang ada. Yang paling menonjol dampaknya adalah terjadinya dualisme di tubuh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sebahagian kader HMI tidak sepakat dengan asas tunggal dan tetap mempertahankan asas dasar pendirian organisasi HMI. Sebahagian lagi sepakat dengan penerapan asas tunggal. Kader HMI yang tidak sepakat dengan asas tunggal lantas menamakan diri dengan HMI Majelis Penyelamatan Organisasi (MPO). Nahdlatul Ulama lewat berbagai kajian menerima asas tunggal ini sebagai asas dalam berorganisasi sedangkan Muhammadiyah terkesan agak hati-hati sambil menunggu peraturan penerapan asas tunggal disahkan dalam siding parlemen. Walaupun pada akhirnya Muhammadiyah tetap ikut dalam penerapan asas tunggal dalam perserikatan.
Selain asas tunggal, orde baru juga menerapkan pola Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kampus (BKK). Presiden Soeharto lewat Mentri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu Daud Jusuf menerbitkan Surat Keputusan Mentri Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus. Tahun 1979, mentri pendidikan dan kebudayaan juga menerbitkan Surat Keputusan Mentri Nomor 037/U/1979 yang berisi tentang aturan bentuk dan susunan organisasi kemahasiswaan yang bertujuan untuk mengontrol kegiatan mahasiswa dalam bidang politik dan penyatuan keorganisasian mahasiswa melalui rektor dan dekan. Usman (1999) mengutarakan bahwa kebijakan dalam penerapan NKK dan BKK ini sebagai bentuk upaya agar organisasi mahasiswa mengalami pendomestikan politik dan pengebirian politik dalam proses demokrasi kampus.
Kebijakan diberlakukannya NKK dan BKK tentunya memiliki latar belakang tertentu yang menurut Soeharto harus dijalankan oleh setiap kampus. Sebuah gerakan demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa di Jakarta dibawah pimpinan Hariman Siregar menentang kebijakan liberal Soeharto dalam bidang ekonomi. Aksi demontrasi ini menolak kedatangan Perdana Mentri Tanaka dari Jepang. Pada saat itu, pertemuan Soeharto dan Tanaka membicarakan tentang penanaman modal asing dan ekspansi kapitalisme global ke Indonesia. Mahasiswa menuntut agar Soeharto sebagai Presiden Indoensia tidak menandatangani kesepakatan itu atau Presiden akan dituntut mundur dari jabatannya karna tidak memperdulikan aspirasi mahasiswa. Aksi demonstrasi ini lantas rusuh dan chaos karna Soeharto tetap pada pendiriannya. Aparat keamanan langsung turun tangan dan melakukan tindakan untuk mengatasi kerusuhan tersebut. Dari kejadian tersebut puluhan mahasiswa meninggal, dan banyak yang harus masuk rumah sakit karna terluka. Insiden ini dikenal dengan istilah 15 Januari (Malari) tahun 1974.
Disisi lain, kabinet dan posisi menteri di era Presiden Soeharto juga menempatkan beberapa tokoh yang merupakan alumni dari berbagai organisasi kepemudaan, sebut saja Cosmas Batubara (1938-2019), pernah menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja Indonesia pada tahun 1988-1993. Cosmas Batubara dalam sejarah hidupnya pernah menjadi Ketua Presidium Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia (PMKRI), ia juga tercatat sebagai salah satu pendiri Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesaia (KAMI) dan tercatat aktif dalam Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
David Napitupulu (1935-2002) pernah menjabat sebagai ketua DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) pertama pada tahun 1973. Pernah dipercaya menjadi Ketua Umum DPP Mahasiswa Pancasila (Mapancas) dan juga menjadi salah satu dari Presidum Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Di era orde baru, dia pernah diberikan jabatan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) Republik Indonesia untuk Mexico. Juga menjadi salah satu anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Akbar Tandjung lahir 14 Agustus 1945, pernah menduduki Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), terlibat aktif dalam Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dan dianggap sebagai salah inisiator berdirinya KNPI. Era Orde Baru Akbar aktif di Golongan Karya dengan segudang jabatan yang pernah didudukinya. Menteri Sekretaris Negara Indonesia pada tahun 1998, Menteri Negara Perumahan Rakyat dan Permukiman Indonesia pada tahun 1993 dan Menteri Pemuda dan Olahraga Indonesia pada tahun 1988. Dan masih ada tokoh pemuda lainnya.
Tanggal 20 Mei 1998 dimana Soeharto menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan presiden menandakan berakhirnya orde baru dengan semua dinamisasi demokrasi yang terjadi. Pengunduran diri Soeharto dari jabatan presiden seolah memberi harapan baru bagi pengembangan proses demokratisasi di Indonesia. Gerakan reformasi yang didengung-dengungkan oleh kalangan muda mahasiswa saat itu dianggap berhasil menumbangkan kepemimpinan Soeharto yang sudah berlangsung kurang lebih tiga puluh dua tahun.
Reformasi dan semua gerakan serta pergolakan yang terjadi bukan tanpa sebab, melainkan sebuah titik kulminasi tingkat akhir dari seluruh akumulasi keresahan-keresahan dan kekhawatiran saat orde baru. Gerakan reformasi ini juga dimotori oleh kalangan muda khususnya mahasiswa. Gerakan aksi demosntrasi besar-besaran pada saat itu hampir mirip dengan gerakan aksi demontrasi yang dilakukan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) dengan trituranya.
Gerakan reformasi ini diawali sejak tahun 1997. Saat itu kondisi ekonomi sangat lemah, zaman itu dikenal dengan istilah zaman moneter. Lemahnya ekonomi Indonesia memunculkan rasa distrust masyarakat kepada pemerintah. Keresahan ini memunculkan banyaknya gerakan-gerakan demosntrasi besar-besaran dan kerusuhan di berbagai penjuru. Tuntutan mundur dari jabatan kepresidenan menjadi satu hal yang dirasa wajib saat itu, karna pemerintah dinilai tidak mampu memberi solusi terhadap barbagai masalah yang ada. Kondisi ini juga menjadi kajian dan penilaian dunia internasional kepada pemerintahan yang dipimpin oleh presiden Soeharto. Bahkan negara Amerika juga secara khusus menyarankan agar Soeharto mundur dan lengser dari kursi kepresidenan.
12 Mei 1998 Mahasiswa dari Kampus Trisakti Jakarta melakukan aksi demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Aksi demosntrasi tersebut mendapatkan respon berupa tindakan represif dari pihak pengamanan sehingga menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti meninggal dan puluhan lainnya luka-luka. Mahasiswa yang meninggal tersebut adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977-1998), Hafidin Royan (1976-1988) dan Hendrawan Sie (1978-1998). Mereka ditemukan meninggal didalam kampus disebabkan peluru tajam yang mengenai tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan dan dada. Anggi D. Widowati seorang jurnalis dan penulis sastra dalam karyanya Langit Merah Jakarta secara jelas dan akurat menggambarkan peristiwa 12 Mei tersebut.
Insiden 12 Mei lalu mendapat reaksi dari banyak kalangan, 13 Mei 1998 demonstrasi besar kembali bergulir sebagai aksi moral atas insiden Trisakti, tuntutan mundur dari jabatan Presiden semakin keras dan kencang diperdengarkan. Mata dunia internasional juga tentunya tidak bisa membiarkan kejadian ini terus menerus terulang disebabkan rasa tidak percaya masyarakat terhadap Presiden Indonesia, dan dunia internasional turut menyerukan agar Soeharto mengundurkan diri dari Presiden demi terciptanya normalisasi keadaan. Pengunduran diri Soeharto dari kursi kepresidenan dengan secara otomatis mengangkat jabatan wakil presiden yang saat itu diduduki oleh BJ Habibi menjadi presiden. Dan BJ Habibie menjadi presiden ketiga Indonesia.
Habibie mencoba membuka ruang demokrasi yang pada saat orde baru seolah-olah dikubur. Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers diterbitkan dan ditandatangani oleh Habibie pada saat itu. Pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga terjadi pada saat Habibie presiden. Pemilihan umum tahun 1999 tidak lagi bercirikan 3 partai, melainkan menumbuhkembangkan multi partai kurang lebih ada 48 partai politik peserta kontestasi demokrasi pada tahun itu. Jimly Asshiddiqie (2019) menuturkan bahwa Habibie telah berhasil membuka pintu demokrasi, kebebasan pers dan penghargaan hak asasi manusia (HAM) dipromosikan. Habibie juga dianggap sukses melepaskan label orde baru pada dirinya melalui sejumlah kebijakan yang bertentangan dengan era orde baru yang otoriter.
Hasil pemilu tahun 1999, menghasilkan duet kepemimpinan nasional yaitu Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati Soekarno Putri sebagai wakil presiden. Pemilu tahun 1999 adalah pemili yang dipercepat, harusnya pemilu itu dilaksanakan pada tahun 2022. Akan tetapi mengingat kondisi nasional yang sangat mengkhawatirkan, maka pemilu dilaksanakan pada tahun 1999. Proses pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun itu masih menggunakan mekanisme perwakilan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan proses pemilihan digelar dalam tua tahap, yakni pada tanggal 20 oktober 1999 untuk pemilihan presiden dan 21 oktober untuk pemilihan wakil presiden.
Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur ternyata juga tidak bisa lepas dari gerakan-gerakan aksi demonstrasi dari kalangan mahasiswa. 10 November 2000, ratusan mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di gedung MPR/DPR RI dan mendesak agar Gus Dur mundur dari jabatan presiden. Para kalangan mahasiswa menilai bahwa Gus Dur tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah yang ada pada saat itu, seperti kasus Buloggate dan Brunaigate. kasus buloggate adalah kasus penyelewengan dana yang berasal dari Badan Urusan Logistik (Bulog), sedang kasus Brunaigate adalah penyelewengan dana yang bersumber dari Sultan Brunai.
Gus Dur juga saat itu sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan nyentrik untuk mengomentari lembaga parlemen. Dan ini juga menjadi pemicu ketidak harmonisan antara lembaga parlemen dan Gus Dur sebagai kepala negara. 23 Juli 2001 adalah waktu dimana Gus Dur dimakzulkan dari tampuk kekuasaan presiden. Usia jabatan presiden yang diembannya pada saat itu baru berumur 21 bulan.
Lengsernya Gus Dur dari istana menyisakan banyak kisah drmatis, dimana kurang lebih dari tiga ratus ribu orang tercatat sebagai pasukan berani mati membela Gus Dur bila Gus Dur dilengserkan dari tahta kepresidenan. Istana negara saat itu juga banyak didatangi dan dibanjiri oleh para pedukung Gus Dur yang tidak rela bila dia dilengserkan. Akan tetapi respon yang berbeda muncul dari Gus Dur sendiri, demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah sesama warga negara Indonesia, Gus Dur dengan rela meninggalkan istana negara dan lengser dari kursi kepresidenan. Lengsernya Gus Dur dari kursi kepresidenan dengan secara otomatis menjadikan Megawati Soekarno Putri yang saat itu wakil presiden menjadi presiden menggantikan Gus Dur. Megawati Soekarno Putri didaulat menjadi presiden Indonesia yang kelima.
Megawati adalah anak dari presiden pertama Indonesia yaitu Soekarno. Megawati juga menjadi presiden perempuan pertama setelah Indonesia merdeka. Sejak 23 Juli 2001 Megawati diangkat menjadi presiden lewat sidang istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di gedung nusantara MPR/DPR. Salah satu penyebab terbesar dari dilaksanakannnya sidang istimewa ini adalah disebabkan dekrit presiden yang saat itu adalah Gus Dur yang menyatakan pembekuan lembaga MPR/DPR dan Partai Golkar. Dekrit presiden tersebut tidak mendapat dukungan dari parlemen malah memunculkan perlawanan dari parlemen lewat sidang istimewa. Megawati pertama kali menjadi presiden Indonesia dengan masa tugasnya dimulai dari 23 Juli 2001 sampai dengan 20 Oktober 2004.
Periode 2001-2004, Megawati mencetuskan sistem pemilihan umum presiden dan wakil presiden dilaksanakan secara langsung. Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung ini tentunya berbeda dengan pemilihan presiden dan wakil presiden pada masa presiden sebelumnya yaitu dengan cara keterwakilan di MPR. Sistem pemilihan langsung ini semakin memperkuat eksistensi demokrasi di Indonesia. Dan pemilihan umum 2004 adalah simbol dan pertanda dimulainya sejarah baru bagi demokrasi Indonesia dengan cara rakyat langsung yang memilih presiden dan wakil presiden. Sejak pemilu 2004 lah ada pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang bersanding dalam satu stiker, umbul-umbul, kalender ataupun alat kampanye jenis lainnya. Dan itu terus berlanjut sampai sekarang.
Hasil pemilihan umum 2004 ternyata dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden dan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden. Pemilu 2004 dianggap sebagai salah satu pemilu yang paling demokratis dalam arus sejarah panjang demokrasi Indoensia. Bahkan banyak kalangan dan komunitas Internasional yang terlibat langsung dalam melakukan pemantauan dan penelitian dalam pelaksanaan pemilu tersebut. Tidak sedikit dana dari dunia internasional yang terkucur untuk bisa membaca secara jelas pemilu dengan model baru tersebut.
SBY diangkat menjadi Presiden Indonesia yang keenam dan berhasil memenangkan pemilu pada tahun 2004 berpasangan dengan Jusuf Kalla. Pada periode presiden sebelumnya, Megawati juga sudah membentuk sebuah lembaga anti rasuah yang dikenal dengan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK). Kehadiran lembaga ini sepertinya didasari oleh pengalaman masa lalu sejarah demokrasi dan kepemimpin di Indoensia yang tidak pernah lepas dari isu korupsi. Diawal masa reformasi, istilah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sudah mulai lazim dan sering diperdengarkan.
Lembaga KPK semakin eksis menunjukkan kinerjanya di masa kepresidenan SBY. Banyak kasus-kasus korupsi yang berakhir di pengadilan dan mendapat hukuman pidana selama masa kepemimpinan SBY. Untuk memperlihatkan sisi komitmen SBY dalam penegakan hukum dan pencegahan korupsi, banyak pejabat dari kalangan atas bahkan termasuk keluarga dekat SBY harus meringkuk dalam penjara karna terjerat kasus korupsi.
Pemilu 2009, SBY kembali terpilih menjadi Presiden Indonesia ketujuh berpasangan dengan Boediyono sebagai Wakil Presiden. Dinamika demokrasi juga dirasa sangat dinamis pada peridoe kedua kepemimpinan SBY. Istilah good governance (pemeritahan yang baik) terus didengungkan SBY sebagai salah satu program strategis kabinet yang tidak lain merupakan amanat reformasi 1998.
Pemilu 2014 juga tetap menerapkan pemilihan secara langsung seperti dua kali pemilu yang dilaksanakan sebelumnya. Pemilu 2014 cenderung lebih dinamis daripada pemilu-pemilu sebelumnya. Pertarungan isu, wacana dan ditambah dengan mulai bebasnya dunia media sosial seolah menjadi instrument dalam dinamisasi demokrasi dan politik saat itu. Kondisi ini juga masih terus berlanjut sampai dengan sekarang. Pasangan Jokowidodo dan Jusuf Kalla berhasil meraih suara terbanyak pada pemilu 2014. Jusuf Kalla yang juga sebelumnya pernah mendampingi SBY kembali berduet dengan Jokowidodo yang bersaing dengan duet Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.
Isu penistaan agama, kriminalisasi ulama dan isu lainnya sangat santer dan sering menjadi trend topik pada alam demokrasi saat itu. Bahkan isu tersebut terus mengalir sampai dengan sekarang. Berbagai aksi demonstrasi besar-besaran juga tidak lepas dari lika liku kepemimpinan Jokowi. Kebebasan bermedia sosial juga turut menjadi sarana untuk saling menjatuhkan diantara sesama kelompok yang berbeda sudut pandang dan paham politik. Kondisi ini terus berlanjut sampai kepada pemilihan umum 2019.
Pemilihan umum 2019, Jokowidodo kembali mencalonkan diri menjadi calon presiden berpasangan dengan KH. Maruf Amin sebagai calon wakil presiden. Pasangan pesaing juga masih dengan nama yang sama yaitu Prabowo Subianto sebagai calon presiden berpasangan Sandiaga Uno sebagai calon Wakil Presiden. Isu dan wacana yang berkembang tidak jauh beda dengan pemilu sebelumnya karna persaingan juga masih diwarnai dengan wajah dan nama yang sama, yang berbeda hanya wajah dan nama calon wakil presiden.
Pemilu 2019 akhirnya dimenangkan oleh pasangan Jokowidodo dan Maruf Amin. Dalam perkembangan selanjutnya, Prabowo yang merupakan pesaing dalam pemilu ternyata masuk dalam kabinet Jokowi dengan jabatan sebagai Menteri Pertahanan. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat jarang terlihat dan dirasakan dalam sejarah demokrasi Indonesia. Sungguh sebuah keindahan dalam berdemokrasi.
) *** Penulis merupakan Plt Kaban Kesbangpol Pemko Padangsidimpuan