Tanjungpinang (ANTARA) - Ide atau gagasan untuk menghapus jabatan gubernur kontraproduktif dengan kondisi dan kebutuhan pemerintah Indonesia, kata pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang Dr. Bismar Arianto.
"Pemikiran untuk menghapus jabatan gubernur itu kurang logis dan tidak relevan dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa," ucap Bismar di Tanjungpinang, Kamis.
Alumnus Program Kedoktoran Ilmu Politik Universitas Indonesia itu mengatakan bahwa gubernur merupakan wakil pemerintah pusat yang berkedudukan di daerah. Tugas gubernur berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yakni mengawasi dan melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan di kabupaten dan kota.
Dari aspek geografi, kata dia, keberadaan gubernur di Indonesia untuk menangani permasalahan rentang kendali antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat tidak mungkin dapat berkoordinasi dengan 514 kabupaten dan kota yang memiliki permasalahan dan kebutuhan yang berbeda-beda.
Bila dianalisis dari aspek sosiologis, lanjut dia, setiap kabupaten dan kota memiliki karakteristik yang berbeda.
"Beda kultur, beda pola pendekatan. Namun, gubernur lebih mudah berbaur karena berada dalam wilayah yang sama," ucapnya.
Persoalan lainnya terkait dengan pembangunan lintas kabupaten dan kota, dia berpendapat bahwa peran gubernur cukup strategis mendorong percepatan pembangunan lintas kabupaten dan kota.
"Saya kurang percaya, pusat langsung dapat menangani itu," katanya.
Mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang itu menuturkan bahwa meniadakan jabatan gubernur merupakan proses panjang karena juga harus merevisi konstitusi. Amendemen UUD NRI Tahun 1945 terkait dengan ide penghapusan jabatan gubernur perlu kajian mendalam.
"Saya berharap justru sekarang harus memperkuat struktur dan tata kelola pemerintahan yang sudah ada," ucapnya.
Secara historis, kata Bismar, Jepang ketika menjajah Indonesia pernah meniadakan jabatan gubernur. Kebijakan Jepang itu berbeda dengan Belanda ketika menjajah Indonesia.
"Waktu Belanja menjajah Indonesia, ada jabatan gubernur, kemudian Jepang meniadakannya. Setelah Indonesia merdeka, jabatan itu kembali ada. Waktu itu diberi nama kepala daerah tingkat I," katanya.
Ide penghapusan jabatan gubernur baru-baru ini disampaikan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar. Cak Imin, sapaan akrabnya, berpendapat bahwa jabatan gubernur tidak efektif sehingga sebaiknya dihapus saja.
Menurut dia, anggaran negara untuk gubernur terlalu besar tidak seimbang dengan tugasnya yang hanya menghubungkan antara kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pengamat: Ide hapus jabatan gubernur kontraproduktif