Jakarta (ANTARA) - Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi menyatakan vaksinasi penguat atau booster yang diberikan pemerintah secara gratis untuk meningkatkan proteksi individu dari risiko penularan varian baru COVID-19 tidak bersifat wajib.
"Ini kan (booster) tidak wajib, artinya pemberian vaksinasi tambahan untuk meningkatkan proteksi dari individu sebab melihat adanya varian baru juga," kata Siti Nadia Tarmizi saat hadir secara virtual di Instagram Liputan6.SCTV yang diikuti di Jakarta, Kamis.(13/1)
Nadia mengatakan saat ini muncul informasi adanya penurunan efikasi vaksin secara alamiah sehingga pemerintah memutuskan untuk memberikan dan menyediakan vaksin booster.
Baca juga: Penderita diabetes wajib kontrol asupan gula untuk cegah kebutaan
Kebijakan pemerintah menggratiskan vaksin dosis ketiga itu untuk memastikan agar masyarakat bisa mengakses layanan sehingga upaya penanggulangan pandemi COVID-19 dalam diselesaikan dengan baik.
Acara bertajuk "Vaksin Booster Hadir, COVID-19 Minggir" itu juga menghadirkan Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman yang menjelaskan dua hal mengapa vaksin booster di Indonesia bersifat tidak wajib.
"Pertama, pemerintah harus menuntaskan dulu vaksinasi dosis lengkap. Ini selaras dengan yang disampaikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa yang wajib memperoleh vaksin booster adalah masyarakat dengan imunokompromais (kondisi kesehatan yang rentan)," katanya.
Hal kedua, kata Dicky, ada kepedulian pemerintah Indonesia dalam merespons pemberian perlindungan kepada masyarakat dari kehadiran varian baru SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 yang saat ini muncul.
"Bahwa di era Omicron dan Delta ini kita mengejar cakupan vaksinasi secara pararel yang dua dosis di luar Jawa-Bali, termasuk melindungi kelompok yang rawan dari sisi pekerjaan dan kondisi tubuh, antara lain lansia," katanya.
Dicky menilai keputusan Indonesia memberikan vaksin booster adalah suatu langkah yang tepat. Tapi perlu dipastikan pemerintah tetap konsisten dalam mencapai target vaksinasi primer.
"Bagus saat pemerintah memberlakukan pembatasan menggunakan mekanisme tiket melalui aplikasi PeduliLindungi. Keberhasilan booster bergantung pada strategi di masyarakat, yakni memprioritaskan yang berisiko tinggi," katanya.
Ia mengatakan sangat sulit menghindari ledakan kasus Omicron. "Di Australia awalnya paling banyak meredam satu atau dua kasus dalam sebulan. Sekarang sehari bisa 20 ribu kasus sampai layanan kesehatan kolaps," katanya.
Ia mengatakan Omicron memiliki dampak kesakitan yang relatif lebih rendah dari Delta, tapi memiliki kemampuan menganggu stabilitas pelayanan kesehatan bahkan berbagai sektor lain seperti distribusi pangan dan permasalahan ekonomi.
"Di Australia tidak hanya menganggu pelayanan kesehatan, distribusi makanan untuk masyarakat juga terganggu karena banyak pengemudi logistik yang terpapar," katanya.
Memang kalau dari sisi dampak individu atau kesakitan akibat Omicron lebih rendah dari Delta, tapi dampak secara sektor kesehatan, sosial kemasyarakatan dan perekonomian jauh lebih besar dari delta. Karena orang yang terganggu masalah kesehatan jadi banyak sekali dan sulit terkendali.