Medan (ANTARA) - Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) IV Balige menyatakan, secara hukum wilayah Natumingka masih berada di konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL), sehingga perusahaan pengelola pemanfaatan hasil hutan dibebankan untuk melakukan pengawasan dan pengamanan lahan, dan bila tidak dilakukan maka akan dievaluasi.
Demikian dikatakan Kepala KPH IV Balige Leonardo Sitorus saat menjawab media mengenai perselisihan kawasan lahan yang diklaim sebagai hutan adat, antara masyarakat Desa Natumingka Kecamatan Borbor Kabupaten Toba dengan perusahaan bubur kertas (TPL).
“Terkait Natumingka mulai dari lahan register sudah merupakan kawasan hutan. Dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1984, kawasan ini menjadi kawasan Hutan Produksi. Kemudian hal tersebut juga diatur dalam SK Menhut Nomor 44 tahun 2005 yang menyebutkan kawasan tersebut menjadi kawasan hutan lindung,” ungkap Leonardo Sitorus, Rabu (26/5/2021).
Lebih lanjut dia juga menjelaskan SK Menhut Nomor 44 tahun 2005 kembali direvisi, dan diganti dengan SK Menhut Nomor 579 tahun 2014 yang menyebutkan, kawasan tersebut kembali menjadi kawasan Hutan Produksi (HP) tetap, dan dilakukan tapal batas sehingga dikembalikan fungsi awalnya.
Kemudian Leonardo Sitorus juga menjelaskan kementerian kembali mengeluarkan SK Menhut Nomor 1076 tahun 2017 tentang Perkembangan Pengukuhan kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara. Dalam surat keputusan tersebut dikatakan wilayah Natumingka adalah kawasan Hutan Produksi, sehingga tetap masih dikelola oleh perusahaan (TPL).
“Pemerintah juga mengeluarkan SK Menhut Nomor 8088/Menlhk-PKTI/KUH/PLA.2/11/2019 tentang perkembangan tapal batas kawasan hutan di provinsi Sumatera Utara, yang isinya kawasan Natumingka tetap dalam lahan konsesi TPL dan dibebankan untuk menjaga keamanan dan pengawasan,” tegasnya lagi.
Menurut Leonardo Sitorus, pihaknya juga telah melakukan investigasi dan inventarisir terhadap kawasan Natumingka yang diklaim sebagai tanah adat oleh masyarakat. Termasuk keberadaan situs makam, bekas persawahan dan bekas perladangan. Hasilnya memang kawasan tersebut adalah wilayah konsesi (HTI) perusahaan.
Hasil investigasi dan inventarisir dari KPH IV Balige telah disampaikan melalui surat kepada masyarakat Natumingka, dan ditembuskan ke sejumlah instansi terkait termasuk ke Poles Toba. Namun untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, KPH IV Balige memberikan rekomendasi.
“Masyarakat harus mengurus klaim hutan adat secara legal formal, ketika telah ditetapkan oleh menteri bahwa kawasan tersebut adalah hutan adat, maka masyarakat dapat mengelola kawasan yang dimaksud sebagai hutan adat. Atau bila masyarakat mengklaim bahwa lahan tersebut adalah milik keturunan opung (nenek moyang) mereka, maka dapat dilakukan pelepasan kawasan hutan melalui Tanah Objek Reformasi Agraria (TORA) sesuai persyaratan dan undang-udang yang berlaku. Selagi belum penetapan dari yang berwenang tentunya status hukum kawasan hutan tersebut adalah hutan produksi tetap yang dibebankan kepada TPL sesuai dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) HTI TPL,” terangnya lagi.
Untuk mengatasi perselisihan tersebut, KPH IV Balige juga memberikan masukan kepada perusahaan dan masyarakat, yakni melaksanakan kegiatan kemitraan dengan pola tumpang sari atau sejenisnya yang sesuai dengan peraturan Menteri Kehutanan. Dalam hal ini pihak perusahaan (TPL) melakukan kegiatan sesuai dengan hak serta kewajibannya, melakukan kemitraan dengan masyarakat dengan tidak mengganggu sejumlah situs yang telah diinventarisir oleh pihak KPH IV Balige.
“TPL harus melakukan hak dan kewajibannya dengan memperhatikan kesejahteraan masyarakat sesuai peraturan dan perundang-undangan,” harap Leonardo Sitorus.
KPH IV Balige: Natumingka berada di wilayah konsesi TPL, belum ada keputusan menjadi hutan adat
Kamis, 27 Mei 2021 15:22 WIB 1304