Drama 50 jam Liga Super Eropa
Jumat, 23 April 2021 15:05 WIB 396
Jakarta (ANTARA) - Ketika klub-klub para pendiri Liga Super Eropa satu per satu meninggalkan rencana kompetisi senilai 4,5 miliar pound (Rp90 triliun) hanya 50 jam setelah diumumkan Minggu malam pekan lalu itu, saling lempar batu sembunyi tangan pun terungkap.
Ide dasar liga ini mempertemukan 15 klub pendiri yang selamanya tak tergantikan dalam kompetisi ini dan lima lainnya yang bisa diambil dari klub-klub lain berdasarkan performa. Kompetisi 20 klub ini membuat mereka mencampakkan Liga Champions.
Tetapi sampai diumumkan Minggu malam, ternyata hanya ada 12 klub pendiri yang menandatangani proposal ini.
Baca juga: Liga Inggris: Tottenham bekuk Southampton dalam debut kepelatihan Ryan Mason
Keduabelas klub itu adalah Real Madrid, Liverpool, Manchester United, Juventus, Arsenal, Barcelona, Milan, Inter Milan, Atletico Madrid, Chelsea, Manchester City, dan Tottenham. Mereka gagal membujuk Bayern Muenchen dan Paris Saint Germain untuk bergabung.
Tidak itu saja manuver mereka membuat geram komunitas sepak bola, entah itu otoritas sepak bola, otoritas liga, klub-klub lain, pemerintah, pemain, pelatih dan tentu saja pendukung sepak bola.
Akibatnya, proposal itu seketika lenyap setelah hampir seluruh klub pendiri balik badan tak kuasa menghadapi penentangan hebat dari komunitas sepak bola, termasuk dari pemain dan penggemar.
Media massa Inggris, salah satunya The Guardian, kemudian menurunkan laporan apa yang terjadi di belakang layar yang membuat proposal ini layu sebelum berkembang dan berhenti sama sekali sekalipun para penggagasnya menyatakan proposal ini hanya ditunda untuk sementara.
Kepada The Guardian, sejumlah orang dalam di balik rencana itu mengungkapkan tiga faktor yang membuat rencana ini berantakan sebelum bisa diwujudkan. Pertama, strategi humas yang kacau, gejolak internal dalam klub-klub pendiri, dan bungkamnya ke-12 klub ketika diserang terus menerus oleh penggemar, pemerintah dan otoritas sepak bola.
Bibit kejatuhan muncul lebih cepat dari yang dikira ketika New York Times dan The Times, melaporkan prakarsa itu Minggu siang. Kabar ini mengejutkan 12 klub pendiri yang tetap saja bungkam sampai Minggu malam itu. Mereka bingung bisa secepat itu bocor ke media massa ketika mereka belum siap melakukan apa-apa.
“Selama berjam-jam tak ada pernyataan resmi. Dengan begitu, musuh-musuh Liga Super berkesempatan untuk serempak menyerang. Tak ada yang mengupas sisi positifnya," kata salah satu orang dalam itu.
Narasi terbangun
Segera setelah itu narasi pun terbangun, bahwa 12 klub pendiri liga itu rakus karena mendapatkan uang tanda tangan kesepakatan 200-300 juta pound (Rp4 triliun-Rp6 triliun) ketika klub-klub lain dihimpit kesulitan, bahwa liga baru yang rencananya dimainkan tengah pekan itu akan meruntuhkan Liga Premier dan menghancurkan piramida sepak bola di mana klub-klub kecil bisa menanjak ke puncak.
Nada narasi itu semuanya buruk, tak ada yang mau melihat potensi keuntungan dari liga itu, termasuk penegakan financial fair play yang lebih baik dan dana 10 miliar pound (Rp201 triliun) yang diberikan klub-klub dalam piramida sepak bola selama 23 tahun yang jumlahnya tiga kali lebih besar dari nilai yang saat ini dinikmati.
Yang juga menjadi serangan terhadap Liga Super ini makin sengit adalah kerahasiaan proyek ini sampai-sampai para pemain dan manajer-manajer mereka sama sekali tak tahu rencana itu. Mereka sungguh tak tahu seperti apa Liga Super Eropa itu, kapan mulainya, dan apa konsekuensinya terhadap kontrak mereka.
"Saya ini direktur AC Milan tetapi saya tak tahu apa pun soal proyek Liga Super. Saya tak pernah terlibat dalam berbagai pembicaraan, Saya tahu kabar itu dari berita Minggu malam,” kata legenda sepak bola Italia Paolo Maldini.
Bukan hanya Maldini, manajer-manajer kelas atas seperti Juergen Klopp dari Liverpool juga tak tahu proyek ini.
Lalu keesokan hari setelah kabar itu muncul, pada Senin, para pemain Chelsea bertemu dengan ketua mereka, Bruce Buck, dan beberapa dari pemain itu terang-terangan tak ingin bersama lagi Chelsea jika itu harus dibayar dengan tidak bisa tampil membela negara asal mereka dalam pertandingan-pertandingan internasional.
Menurut salah satu orang dalam Liga Super Eropa, skenario itu mustahil terjadi karena secara legal badan sepak bola Eropa (UEFA) tak bisa melarang pemain mana pun tampil dalam kompetisi internasional, termasuk Piala Dunia.
“Setiap upaya melarang klub atau pemain akan menjadi petunjuk pasti adanya pelanggaran terhadap hukum kompetisi Uni Eropa," kata si orang dalam itu.
Tetapi sumber lainnya, masih kepada The Guardian, menyatakan sejak awal proposal itu memiliki cacat fatal karena Bayern Muenchen dan Paris Saint-Germain yang merupakan dua finalis Liga Champions tahun lalu, menolak menandatangani liga ini.
Dua pilar goyah
Tetapi masalah lebih besar yang dihadapi Liga Super adalah reaksi amat bermusuhan dari penggemar sepak bola, otoritas sepak bola dan sejumlah pemerintah.
Pemerintah Inggris bahkan memimpin penentangan terhadap Liga Super Eropa yang tidak saja dengan mengundang kelompok-kelompok pendukung sepak bola agar angkat bicara tetapi juga berjanji menjegalnya lewat langkah-langkah legislatif.
Ini mengejutkan sejumlah orang yang terlibat dalam Liga Super, kata seorang sumber. Yang juga membuat para inisiator Liga Super Eropa terhenyak adalah Eropa dan dunia sepak bola bersatu padu menentang proposal itu, bahkan Presiden FIFA Gianni Infantino yang sering berseberangan dengan Presiden UEFA Aleksander Ceferin kali ini kompak. Infantino tak mau melawan tekanan habis-habisan dari masyarakat sepak bola agar mengecam Liga Super Eropa.
Situasi berubah drastis ketika Pep Guardiola membuat kaget direksi Manchester City setelah menyatakan tak sudi terlibat dalam Liga Super saat kontrak barunya nanti ditandatangani. Juergen Klopp dengan sebagian direksi Liverpool juga bersitegang dan ini terjadi beberapa saat sebelum Liverpool bertandang ke kandang Leeds United untuk menjalani laga liga Senin.
Itu semua berarti sebelum 14 klub Liga Premier Inggris lainnya bertemu Selasa. Mereka menjadi yakin proyek baru itu bermasalah karena tiga klub pendirinya menghadapi guncangan dari internalnya sendiri.
Liga Super Eropa, menurut The Guardian, dibangun di atas empat pilar, yakni adanya sejumlah tim besar, pendanaan besar, pasar yang besar untuk proyek baru, dan kerangka aturan yang mesti tahan dari gugatan.
Tetapi Selasa itu dua dari empat pilar itu goyah. Pilar pertama, yakni tim besar, goyah setelah Chelsea dan Manchester City ingin kelua. Pilar ketiga, yakni pasar, juga goyah setelah Amazon, Sky, Comcast dan BT tak tertarik membeli hak siar Liga Super Eropa.
Sementara itu pemilik Chelsea dan Manchester City, masing-masing Roman Abramovich dan Sheikh Mansour, mendadak gelisah. Kedua orang ini tidak melibatkan diri dalam sepak bola Inggris untuk alasan mencari untung, melainkan demi reputasi.
Mereka tak mau disebut rakus dan memburu untung semata. Dan ketika para pendukung Chelsea memblokade jalan ke Stamford Bridge, saat itu pula Chelsea mantap berubah pikiran, keluar dari Liga Super. Efek domino pun tercipta.
City, Arsenal, MU, Liverpool dan Spurs pun akhirnya juga keluar dari rencana Liga Super Eropa. Inter dan AC Milan serta kemudian Atletico, juga mundur. Tetapi pemilik Juventus, Andrea Agnelli, tetap "yakin pada indahnya proyek ini”.
Apa daya, gebrakan itu ambruk ditimpa dampak gebrakan itu sendiri. Reformasi untuk sistem kompetisi yang dikelola UEFA itu pun malah menjadi bumerang.
UEFA justru menjadi kian kuat, padahal badan sepak bola Eropa ini pun bukan organisasi tanpa cacat yang sebelum ini konstan berusaha dikoreksi berbagai kalangan, khususnya klub-klub besar itu.
Ide dasar liga ini mempertemukan 15 klub pendiri yang selamanya tak tergantikan dalam kompetisi ini dan lima lainnya yang bisa diambil dari klub-klub lain berdasarkan performa. Kompetisi 20 klub ini membuat mereka mencampakkan Liga Champions.
Tetapi sampai diumumkan Minggu malam, ternyata hanya ada 12 klub pendiri yang menandatangani proposal ini.
Baca juga: Liga Inggris: Tottenham bekuk Southampton dalam debut kepelatihan Ryan Mason
Keduabelas klub itu adalah Real Madrid, Liverpool, Manchester United, Juventus, Arsenal, Barcelona, Milan, Inter Milan, Atletico Madrid, Chelsea, Manchester City, dan Tottenham. Mereka gagal membujuk Bayern Muenchen dan Paris Saint Germain untuk bergabung.
Tidak itu saja manuver mereka membuat geram komunitas sepak bola, entah itu otoritas sepak bola, otoritas liga, klub-klub lain, pemerintah, pemain, pelatih dan tentu saja pendukung sepak bola.
Akibatnya, proposal itu seketika lenyap setelah hampir seluruh klub pendiri balik badan tak kuasa menghadapi penentangan hebat dari komunitas sepak bola, termasuk dari pemain dan penggemar.
Media massa Inggris, salah satunya The Guardian, kemudian menurunkan laporan apa yang terjadi di belakang layar yang membuat proposal ini layu sebelum berkembang dan berhenti sama sekali sekalipun para penggagasnya menyatakan proposal ini hanya ditunda untuk sementara.
Kepada The Guardian, sejumlah orang dalam di balik rencana itu mengungkapkan tiga faktor yang membuat rencana ini berantakan sebelum bisa diwujudkan. Pertama, strategi humas yang kacau, gejolak internal dalam klub-klub pendiri, dan bungkamnya ke-12 klub ketika diserang terus menerus oleh penggemar, pemerintah dan otoritas sepak bola.
Bibit kejatuhan muncul lebih cepat dari yang dikira ketika New York Times dan The Times, melaporkan prakarsa itu Minggu siang. Kabar ini mengejutkan 12 klub pendiri yang tetap saja bungkam sampai Minggu malam itu. Mereka bingung bisa secepat itu bocor ke media massa ketika mereka belum siap melakukan apa-apa.
“Selama berjam-jam tak ada pernyataan resmi. Dengan begitu, musuh-musuh Liga Super berkesempatan untuk serempak menyerang. Tak ada yang mengupas sisi positifnya," kata salah satu orang dalam itu.
Narasi terbangun
Segera setelah itu narasi pun terbangun, bahwa 12 klub pendiri liga itu rakus karena mendapatkan uang tanda tangan kesepakatan 200-300 juta pound (Rp4 triliun-Rp6 triliun) ketika klub-klub lain dihimpit kesulitan, bahwa liga baru yang rencananya dimainkan tengah pekan itu akan meruntuhkan Liga Premier dan menghancurkan piramida sepak bola di mana klub-klub kecil bisa menanjak ke puncak.
Nada narasi itu semuanya buruk, tak ada yang mau melihat potensi keuntungan dari liga itu, termasuk penegakan financial fair play yang lebih baik dan dana 10 miliar pound (Rp201 triliun) yang diberikan klub-klub dalam piramida sepak bola selama 23 tahun yang jumlahnya tiga kali lebih besar dari nilai yang saat ini dinikmati.
Yang juga menjadi serangan terhadap Liga Super ini makin sengit adalah kerahasiaan proyek ini sampai-sampai para pemain dan manajer-manajer mereka sama sekali tak tahu rencana itu. Mereka sungguh tak tahu seperti apa Liga Super Eropa itu, kapan mulainya, dan apa konsekuensinya terhadap kontrak mereka.
"Saya ini direktur AC Milan tetapi saya tak tahu apa pun soal proyek Liga Super. Saya tak pernah terlibat dalam berbagai pembicaraan, Saya tahu kabar itu dari berita Minggu malam,” kata legenda sepak bola Italia Paolo Maldini.
Bukan hanya Maldini, manajer-manajer kelas atas seperti Juergen Klopp dari Liverpool juga tak tahu proyek ini.
Lalu keesokan hari setelah kabar itu muncul, pada Senin, para pemain Chelsea bertemu dengan ketua mereka, Bruce Buck, dan beberapa dari pemain itu terang-terangan tak ingin bersama lagi Chelsea jika itu harus dibayar dengan tidak bisa tampil membela negara asal mereka dalam pertandingan-pertandingan internasional.
Menurut salah satu orang dalam Liga Super Eropa, skenario itu mustahil terjadi karena secara legal badan sepak bola Eropa (UEFA) tak bisa melarang pemain mana pun tampil dalam kompetisi internasional, termasuk Piala Dunia.
“Setiap upaya melarang klub atau pemain akan menjadi petunjuk pasti adanya pelanggaran terhadap hukum kompetisi Uni Eropa," kata si orang dalam itu.
Tetapi sumber lainnya, masih kepada The Guardian, menyatakan sejak awal proposal itu memiliki cacat fatal karena Bayern Muenchen dan Paris Saint-Germain yang merupakan dua finalis Liga Champions tahun lalu, menolak menandatangani liga ini.
Dua pilar goyah
Tetapi masalah lebih besar yang dihadapi Liga Super adalah reaksi amat bermusuhan dari penggemar sepak bola, otoritas sepak bola dan sejumlah pemerintah.
Pemerintah Inggris bahkan memimpin penentangan terhadap Liga Super Eropa yang tidak saja dengan mengundang kelompok-kelompok pendukung sepak bola agar angkat bicara tetapi juga berjanji menjegalnya lewat langkah-langkah legislatif.
Ini mengejutkan sejumlah orang yang terlibat dalam Liga Super, kata seorang sumber. Yang juga membuat para inisiator Liga Super Eropa terhenyak adalah Eropa dan dunia sepak bola bersatu padu menentang proposal itu, bahkan Presiden FIFA Gianni Infantino yang sering berseberangan dengan Presiden UEFA Aleksander Ceferin kali ini kompak. Infantino tak mau melawan tekanan habis-habisan dari masyarakat sepak bola agar mengecam Liga Super Eropa.
Situasi berubah drastis ketika Pep Guardiola membuat kaget direksi Manchester City setelah menyatakan tak sudi terlibat dalam Liga Super saat kontrak barunya nanti ditandatangani. Juergen Klopp dengan sebagian direksi Liverpool juga bersitegang dan ini terjadi beberapa saat sebelum Liverpool bertandang ke kandang Leeds United untuk menjalani laga liga Senin.
Itu semua berarti sebelum 14 klub Liga Premier Inggris lainnya bertemu Selasa. Mereka menjadi yakin proyek baru itu bermasalah karena tiga klub pendirinya menghadapi guncangan dari internalnya sendiri.
Liga Super Eropa, menurut The Guardian, dibangun di atas empat pilar, yakni adanya sejumlah tim besar, pendanaan besar, pasar yang besar untuk proyek baru, dan kerangka aturan yang mesti tahan dari gugatan.
Tetapi Selasa itu dua dari empat pilar itu goyah. Pilar pertama, yakni tim besar, goyah setelah Chelsea dan Manchester City ingin kelua. Pilar ketiga, yakni pasar, juga goyah setelah Amazon, Sky, Comcast dan BT tak tertarik membeli hak siar Liga Super Eropa.
Sementara itu pemilik Chelsea dan Manchester City, masing-masing Roman Abramovich dan Sheikh Mansour, mendadak gelisah. Kedua orang ini tidak melibatkan diri dalam sepak bola Inggris untuk alasan mencari untung, melainkan demi reputasi.
Mereka tak mau disebut rakus dan memburu untung semata. Dan ketika para pendukung Chelsea memblokade jalan ke Stamford Bridge, saat itu pula Chelsea mantap berubah pikiran, keluar dari Liga Super. Efek domino pun tercipta.
City, Arsenal, MU, Liverpool dan Spurs pun akhirnya juga keluar dari rencana Liga Super Eropa. Inter dan AC Milan serta kemudian Atletico, juga mundur. Tetapi pemilik Juventus, Andrea Agnelli, tetap "yakin pada indahnya proyek ini”.
Apa daya, gebrakan itu ambruk ditimpa dampak gebrakan itu sendiri. Reformasi untuk sistem kompetisi yang dikelola UEFA itu pun malah menjadi bumerang.
UEFA justru menjadi kian kuat, padahal badan sepak bola Eropa ini pun bukan organisasi tanpa cacat yang sebelum ini konstan berusaha dikoreksi berbagai kalangan, khususnya klub-klub besar itu.