Langkat (ANTARA) - Sejak lama saya memang sudah demikian yakin bilamana destinasi wisata potensial selalu terdapat di daerah dan keyakinan itu kembali menemukan buktinya ketika tempo hari saya berjalan-jalan di sekitar kawasan Teluk Aru, dalam hal ini di Kecamatan Brandan Barat dan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara.
Berbicara potensi wisata Kawasan Teluk Aru, kita pun akan sama-sama bersepakat bahwa Hutan Mangrove merupakan kekuatan terbesarnya.
Dengan luas yang luar biasa, memanjang hampir sepanjang pesisir pantai, sejatinya hutan mangrove disana dapat menjadi kekuatan utama dari potensi wisata di sana yang ada. Bukti sahih bahwa hutan mangrove telah menjadi potensi daya tarik wisata yang sangat luar biasa bagi kawasa Teluk Aru dapat ditemukan di Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat.
Hutan Mangrove disini telah menjadi kawasan wisata yang berhasil menumbuhkan euphoria sosial yang luar biasa terkait pembangunan pariwisata dalam kurun waktu tergolong singkat.
Bagaimana tidak menimbulkan euphoria sosial yang luar biasa. Tercatat mulai dibangun pada tahun 2015, wisata hutan mangrove (bakau) yang dikelola oleh Kelompok Mekar yang saat itu masih dipimpin oleh Hadyan Jamili Batubara bahkan telah berhasil mengangkasakan nama desa yang keberadaannya nun jauh di pesisir Barat Provinsi Sumatera Utara itu hingga hingga me-nasional dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun saja.
Keberhasilan Lubuk Kertang pun telah berhasil membuka mata masyarakat, khususnya di sekitar kawasan Teluk Aru bahwa hutan mangrove yang selama ini dianggap berpotensi minim terutama dibanding potensi ekonomi dari perkebunan sawit–itu pula yang tampaknya menjadi salah satu alasan terbesar kenapa hutan mangrove disana konon banyak beralih fungsi jadi perkebunan kelapa sawit–ternyata menyembunyikan potensi ekonomi luar biasa.
Itu pula tampaknya yang menjadi alasan, kenapa banyak dari kelompok masyarakat disana kini telah saling berlomba membangun hutan mangrove disekitar mereka sebagai obyek wisata.
Perlu Kajian Mendalam
Euphoria masyarakat tentang pariwisata yang terjadi di kawasan Teluk Aru tentunya harus disikapi secara arif. Betapapun euphoria tersebut dapat menjadi momentum untuk mengalihkan segala aktivitas ekonomi masyarakat di hutan mangrove yang selama ini berpotensi merusak lingkungan menjadi aktivitas ekonomi yang mendorong bagi terjadinya kelestarian lingkungan.
Namun aktivitas wisata yang dilakukan pun kiranya harus dilaksanakan secara terencana. Apabila tidak, alih-alih menjadi pembangun skenario bagi tercapainya pelestarian lingkungan, pariwisata bahkan menjadi persoalan baru dari terjadinya dampak terhadap kerusakan lingkungannya yang bukan tak mungkin akan lebih masif.
Apalagi ketika aktivitas wisata yang akan dibangun tadi dilaksanakan disebuah lingkungan yang memiliki tingkat kerentanan perubahan lingkungan yang cukup tinggi. Dan aktivitas wisata di hutan mangrove termasuk didalamnya.
Disisi lain, penyelenggaraan aktivitas wisata yang dibangun tanpa perencanaan yang jelas dikhawatirkan akan menimbulkan persaingan tidak sehat antara sesama pelaku wisata. Selain hal ini pun akan berpotensi timbulnya kekecewaan sosial akibat kegagalan pencapaian ekonomi dari pembangunan pariwisata yang terjadi pada masa pasca euphoria wisata.
Satu prinsip mendasar yang tidak boleh dilakukan dalam pembangunan destinasi pariwisata adalah proses peniruan pembangunan dari hasil pembangunan destinasi wisata lain–kecuali dalam tatanan manajemen pengelolaannya. Meskipun destinasi yang ditiru itu merupakan destinasi yang sangat berhasil dalam menarik pasar wisatanya.
Betapapun industri pariwisata tidak dibangun secara nyata berdasar atas permintaan pasar. Industri pariwisata merupakan industri yang benar-benar dibangun dari potensi supply yang dimiliki oleh sebuah destinasi.
Apa yang menjadi kelebihan dari sebuah destinasi, dalam arti sejauh mungkin tidak dimiliki oleh destinasi lain, itulah yang akan menjadi daya tarik dari destinasi dimaksud. Kenyataan yang terjadi selama ini, seringkali aktivitas wisata yang dibangun dari sebuah obyek wisata merupakan hasil peniruan dari aktivitas yang dilaksanakan di obyek wisata lain.
Bahkan kalau pun obyek wisata yang ditiru tadi berada disamping obyek wisata peniru. Fasilitas trekking board dengan rupa jembatan kayu untuk jalan-jalan yang terbentang sekian ratus meter diantara kerimbunan pohon bakau, misalnya, telah menjadi pemandangan biasa dan lumrah bahkan tampak sebagai fasilitas wisata wajib yang harus ada sebuah kawasan wisata hutan mangrove.
Apalagi fasilitas-fasilitas selfie yang dari modelnya sekalipun demikian serupa antara satu obyek dengan obyek wisata lainnya, ironi diatas sampai terjadi karena pariwisata yang dibangun tidak didasarkan pada hasil kajian yang cukup mendalam.
Padahal, pengetahuan tentang nilai-nilai keunikan yang akan menjadi potensi daya tarik wisata sebuah calon destinasi tak bisa tidak hanya dapat dilakukan dengan telaah yang dilakukan secara komprehensif. Apalagi untuk sebuah calon destinasi dengan karakter khusus seperti hutan mangrove.
Hutan mangrove, misalnya merupakan kawasan khas dengan kekayaan keanekaragaman hayatinya. Selain kekayaan flora, mangrove pun memiliki kekayaan fauna yang seringkali memiliki keanekaragaman yang lebih kaya dibanding kekayaan hutan pegunungan.
Selain itu hutan nangrove pun memiliki dinamika persinggungan yang lebih intens dan lebih bebas dengan kehidupan masyarakat. Itulah sebab, rupa sosial-budaya sekitar hutan mangrove akan selalu lebih dinamis dan berwarna disbanding rupa social-budaya sekitar hutan pegunungan. Selain tentu saja persoalan sosial disekitar hutan mangrove pun akan selalu lebih kompleks dibanding persoalan sosial di lingkungan hutan pegunungan.
Oftimisme Keberhasilan Harus dipahami pula, bilamana nilai-nilai keunikan dari sebuah destinasi sesungguhnya menjadi syarat pertama untuk mendatangkan minat wisatawan agar datang ke sebuah destinasi. Dan ini bukan merupakan perkara mudah.
Bahkan untuk kawasan yang telah sama-sama mafhum disepakati sebagai destinasi potensial, seringkali gagal untuk menemukan hal yang akan menjadi competitive advantage nya.
Namun ketika benar-benar telah dapat menemukan potensi daya tarik wisatanya, kiranya kawasan Teluk Aru akan jauh lebih mudah mendapat respon pasar wisatawan. Keuntungan geografis kawasan ini yang berada di pesisir dan berbatasan langsung dengan Selat Malaka merupakan alasan utamanya.
Selat Malaka merupakan selat yang telah lama menjadi lalu lintas bagi banyak kapal-kapal pesiar dimana yang menjadi salah satu target destinasi utamanya sesungguhnya adalah Pulau Sumatera.
Alasan sederhana yang cukup logis, sebelum wilayah pegunungan, destinasi-destinasi wilayah pesisir apalagi berbatasan langsung dengan selat malaka tentu akan menjadi tujuan persinggahan prioritasnya.
Faktor kedekatan dan kemudahan pencapaian merupakan alasan utamanya. Hal lain yang mendukung potensi keberhasilan dari kawasan Teluk Aru untuk menjadi destinasi wisata adalah sikap masyarakat disana.
Selain sangat akomodatif terhadap adanya perubahan, kemampuan mereka untuk saling berkolaborasi antara satu unsur masyarakat dengan masyarakat lainnya, kiranya akan menjadi modal sosial yang begitu berharga bagi terciptanya iklim wisata yang kondusif, baik terbangunnya rasa nyaman wisatawan juga investasi wisata disana.
Modal sosial seperti dimiliki oleh masyarakat kawasan Teluk Aru seharusnya dapat dipandang sebagai salah satu kunci utama bagi keberhasilan pembangunan sebuah destinasi wisata di sana.
Nyatanya seringkali persoalan terjadinya kegagalan pembangunan di Indonesia seringkali akibat daya dukung sosial yang minim–bukan karena potensi daya tarik wisatanya.
**) Penulis Aat Suwanto adalah konsultan peneliti, pemerhati serta penulis lepas untuk bidang pariwisata, humaniora dan budaya