Jakarta (ANTARA) - Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan pemerintah daerah dapat menutup sekolah yang sebelumnya sudah kembali dibuka bila terindikasi satuan pendidikan tersebut tidak aman atau risikonya meningkat.
"Jika satuan pendidikan terindikasi dalam kondisi tidak aman atau tingkat risiko daerah berubah jadi lebih tinggi, pemda wajib menutup kembali satuan pendidikan tersebut, namun proses tersebut harus dilakukan secara bertahap dengan evaluasi yang baik," kata Wiku dalam konferensi pers di Kantor Presiden Jakarta, Selasa (11/8).
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri Tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Pada Tahun Ajaran Baru 2020/2021 Masa Pandemi COVID-19, pemerintah membolehkan sekolah tatap muka di zona hijau, bahkan pemerintah berencana untuk membolehkan pembukaan sekolah di zona kuning.
Baca juga: Update Selasa (11/8).....Pasien sembuh dari COVID-19 bertambah 1.474 jadi 83.710 orang
"Yang perlu diperhatikan terutama dari aspek keselamatan, kesiapan, persetujuan, dan simulasi. Ini perlu dilakukan meski di zona hijau dan kuning, satuan pendidikan tidak dapat melakukan pembelajaran tatap muka tanpa adanya persetujuan dari pertama pemda atau kantor wilayah, kedua dari kepala sekolah, ketiga dari komite sekolah, keempat dari orang tua peserta didik," ungkap Wiku.
Menurut Wiku, jika orang tua tidak atau belum setuju, peserta didik tetap belajar dari rumah dan tidak dapat dipaksakan.
"Kedua dari kapasitas, pembelajaran tatap muka akan dilakukan secara bertahap dengan syarat 30-50 persen dari standar peserta didik per kelas," tambah Wiku.
Wiku menjelaskan pembukaan tatap muka di zona kuning persyaratannya adalah dengan izin pemda, kesiapan sekolah melaksanakan kegiatan dengan protokol kesehatan dan persetujuan orang tua.
"Sedangkan kurikulum darurat dalam kondisi khusus itu karakteristiknya pasti harus menyesuaikan dengan kemampuan siswa serta memfokuskan pada kompetensi esensial dan prasyarat untuk jenjang berikutnya," ungkap Wiku.
Prinsip yang harus dipegang, menurut Wiku, adalah kesehatan dan keselamatan semua elemen pendidikan.
Baca juga: Tingkat kematian COVID-19 di 22 provinsi di bawah persentase dunia
"Bukan hanya siswa, tapi juga guru dan pengelola sekolah, selanjutnya tumbuh kembang peserta didik dan kondisi psikososial peserta didik. Jika terindikasi kondisi tidak aman dan peningkatan risiko yang menetap, satuan pendidikan wajib untuk ditutup dalam rangka melindungi para siswa," kata Wiku.
Pembukaan sekolah di zona kuning dan hijau, menurut Wiku, dibutuhkan khususnya untuk sekolah-sekolah di daerah terluar, terdepan dan tertinggal (3T).
"Banyak satuan pendidikan di daerah 3T yang sangat kesulitan untuk melakukan pembelajaran jarak jauh karena minimnya akses digital. Oleh karena itu, imbauan untuk melakukan simulasi dan monitoring bagi daerah yang akan memperbolehkan tatap muka perlu dilakukan dengan baik," tambah Wiku.
Menurut Wiku, pandemi COVID-19 boleh membatasi jarak, tapi tidak boleh membatasi untuk terus belajar. "Tetap patuhi protokol kesehatan. itu adalah yang paling utama," tegas Wiku.
Dalam SKB 4 Menteri tersebut, sekolah yang bisa mengikuti pembelajaran tatap muka pada tahap pembukaan awal ialah jenjang SMP, SMA, SMK, dan Madrasah Aliyah (MA). Setelah dua bulan berikutnya, pada tahap kedua, dibuka untuk jenjang SD dan sederajat.
Untuk madrasah dan sekolah berasrama di zona kuning dan hijau dilakukan secara bertahap. Bagi asrama yang jumlah peserta didiknya di bawah 100 orang, pada bulan pertama maksimal kapasitas 50 persen. Pada bulan kedua diperbolehkan masuk 100 persen.
Bagi asrama yang peserta didiknya di atas 100 orang, pada bulan pertama diperbolehkan untuk diisi 25 persen dari kapasitas. Pada bulan kedua diperbolehkan 50 persen, pada bulan ketiga diperbolehkan diisi 75 persen, dan pada bulan keempat diperbolehkan 100 persen dari kapasitas.
Standar protokol yang wajib dipatuhi adalah menggunakan masker, mencuci tangan dan jaga jarak. Selain itu, kegiatan yang menimbulkan perkumpulan antarkelas ditiadakan, seperti kegiatan di kantin.