Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan proyek Global Maritime Fulcrum-Belt and Road Initiatives (GMF-BRI) yang diinisiasi China tidak akan menambah beban utang pemerintah.
Pasalnya, proyek yang dikerjasamakan dengan China dalam GMF-BRI dilakukan dengan skema "business to business" atau B to B tanpa ada aliran dana ke pemerintah dan tanpa kewajiban jamin dari pemerintah Indonesia.
"Saya ingin garisbawahi program Belt and Road itu tidak ada program G to G (Government to Government). Yang kita lakukan itu B to B. Jadi 'loan' (pinjaman) itu tidak ada yang ke pemerintah Indonesia. 'Loan' langsung ke proyek. Jadi proyek itu yang membayar 'loan' itu tadi," katanya dalam kegiatan Coffee Morning bersama wartawan di Jakarta, Senin.
Skema kerja sama B to B itu, menurut Luhut, berbeda dengan apa yang dilakukan di Srilanka dan Malaysia yang pinjamannya dibebankan kepada pemerintahnya. Ia bahkan menyebut Malaysia pun kini tertarik mengikuti jejak Indonesia dalam skema bisnis tersebut.
Bercermin dari situ, Luhut mengatakan dari mana pun pinjaman itu berasal, Indonesia kini mendorong format kerja sama B to B, bukan lagi G to G.
Ia mengatakan utang Indonesia kepada China tidak sebesar yang diisukan segelintir orang.
"Kalau Anda lihat, utang kita dengan China hanya Rp22 triliun lho, tidak sampai 2 miliar dolar AS. Sangat kecil. Jauh lebih besar utang kita sekarang kepada Jepang," katanya.
Saat ini, pemerintah pun terus mendorong kerja sama investasi tidak hanya dengan China, tapi juga negara lain.
"Yang saya kedepankan yaitu kerja sama transfer teknologi sehingga kerja sama ITB dengan Tsinghua untuk membuat 'research center' di Bali bisa terealisasi," katanya.
Ia juga menegaskan agar tidak ada lagi anggapan Indonesia dikendalikam China melalui investasi GMF-BRI.
"Tidak akan mungkin kita biarkan negeri kita ini diatur oleh negara lain," ujarnya.