Medan, 26/5 (Antara) - Gabungan Perusahaan Karet Indonesia atau Gapkindo menolak rencana pemerintah yang akan mewajibkan penjualan Standard Indonesian Rubber atau SIR seluruhnya melalui Bursa Fisik Karet Indonesia.
"Alasan penolakan karena kalau kebijakan itu diterapkan, maka sekitar 60 persen konsumen utama dunia tidak lagi dapat membeli karet Indonesia karena permintaan khusus yang diinginkan oleh pembeli tidak tersedia di bursa fisik,"kata Sekretaris Eksekutif Gapkindo Sumut, Edy Irwansyah di Medan, Kamis.
Secara garis besar, permintaan khusus para konsumen utama adalah marking khusus untuk label kemasan, jenis kemasan (metalbox/shrinkwrap), menggunakan metalbox jumbo, dan tanpa palet (loose bale).
Kemudian, untuk pelabuhan tujuan tertentu, shipping term CY/CY, pengapalan tanpa kontainer (breakbulk) dan umumnya pabrik ban meminta spesifikasi khusus dengan standar yang lebih baik dari SNI.
"Pemaksaan penjualan SIR melalui bursa fisik akan menimbulkan penurunan devisa, iklim usaha yang tidak sehat, serta adanya potensi konsumen utama akan melaporkan Indonesia ke WTO," katanya.
Gapkindo mendukung pendirian Bursa Fisik Karet di Indonesia menyusul adanya Regional Rubber Market yang sudah di-"soft launching" oleh International Tripartite Rubber Council dengan anggota Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
Namun, ujar Edy, Gapkindo tidak setuju kalau ada kewajiban seluruh penjualan karet dilakukan di Bursa Fisik Karet yang direncanakan segera dibentuk.
Regional Rubber Market itu didirikan bertujuan agar jenis, mutu, dan kemasan yang diperdagangkan di tiga negara sama.
"Kalau sebagian besar konsumen tidak bisa lagi membeli sesuai spesifikasi yang diinginkan, maka bukan saja pengusaha dan petani merugi dengan turunnya permintaan, tetapi juga mengurangi drastis devisa Indonesia dari karet," katanya.
Kondisi itu akan merugikan secara nasional dan negara lain seperti Vietnam yang akan diuntungkan karena pembeli akan beralih ke eksportir negara itu.
Selain Vietnam, dua negara produsen utama lainnya yakni Malaysia dan Thailand juga akan diuntungkan karena meski sudah punya bursa fisik, di negara itu juga tidak ada kewajiban menjual seluruh produknya di bursa sehingga eksportirnya masih bisa bebas menjual sesuai keinginan pembeli.
Tidak adanya kewajiban menjual di bursa pada negara Malaysia, Thailand, dan Vietnam itu juga menimbulkan potensi dilaporkannya Indonesia ke WTO dengan tuduhan menghambat perdagangan.
"Pemerintah jangan tergesa-gesa seperti memberlakukan kepada komoditas timah. Karet beda dengan timah," katanya.
Selain ancaman pelaporan ke WTO, kata dia, pemerintah juga terancam terjerat Undang-Undang 5 tahun 1999, kalau pemerintah akhirnya menunjuk satu perusahaan sebagai penyelenggara bursa.
"Ada indikasi terjadi penunjukan sebagai penyelenggara bursa ke pihak tertentu dan itu bisa dinyatakan melakukan aksi monopoli. Jadi Gapkindo meminta agar penjualan jangan menjadi wajib di bursa fisik," katanya.
Edy mengakui, selama ini 60 persen perdagangan karet di Indonesia dilakukan secara tradisional yakni langsung ke pembeli dan sisanya melalui pasar bursa.
"Pemerintah jangan tergesa-gesa seperti memberlakukan kepada komoditas timah. Karet beda dengan timah," katanya.