Oleh Juraidi
Sigumpar, Sumut, 7/2 (Antara) - Seni tari, "tortor sawan" yang dinilai cukup sakral mendapat kesempatan dipergelarkan di ruang gereja HKBP Nommensen Sigumpar, Sumatera Utara.
"Tortor sawan atau pangurason yang sangat sakral bagi etnis Batak pada zaman dahulu itu, biasanya hanya dipagelarkan di hadapan Raja dengan tujuan untuk menolak bala dan mengusir roh-roh jahat," tutur Pimpinan sanggar budaya "Lusido" dari Kabupaten Toba Samosir, Rismon Sirait di Sigumpar, Jumat.
Tortor tersebut, kata dia, juga diyakini mampu menyembuhkan penyakit serta melindungi kampung dari serangan musuh.
Selain itu, gerak tari tortor yang dimainkan tujuh orang penari dengan menjunjung cawan di kepalanya itu, juga dipersembahkan saat pengangkatan Raja atau manakala ada pembentukan sebuah kampung yang baru.
Namun, sekarang lanjutnya, tarian itu sudah banyak dipergelarkan menjadi tarian untuk menyambut tamu atau undangan yang berkunjung ke Kabupaten Toba Samosir atau daerah lain sepanjang kawasan pinggiran Danau Toba.
Rismon mengaku, dirinya merasa mendapat kehormatan besar, saat para penari asuhannya mempersembahkan tortor sawan tersebut di hadapan sejumlah pengurus-pengurus gereja dari berbagai wilayah se Tapanuli, serta dihadiri Moderator United Evangelical Mission (UEM) dari Jerman, Regine Buschmann.
Apalagi, lanjutnya, tortor itu sengaja dipergelarkan dalam mengisi kegiatan napak tilas sejarah perjuangan Nommensen, seorang missionaris Jerman, penyebar injil di kawasan Tapanuli, sekitar satu setengah abad lalu.
Bahkan menurutnya, hal yang paling membanggakan adalah ketika gerak tari bernuansa sakral dengan durasi 15 menit itu mendapat sambutan hangat ribuan pengunjung, kendati sejumlah undangan sempat terkena percikan air dari para penari.
"Percikan air tersebut adalah rangkaian gerak tari yang dipertunjukkan dan bukan merupakan sebuah ajaran menyimpang dari agama, namun semata-mata sebagai simbol yang melambangkan curahan air sebagai berkat dari Tuhan sang maha pencipta," kata Rismon menerangkan.
Panjaitan, salah seorang undangan menyebutkan, dirinya cukup terkesan dengan gerak tari tortor sawan yang dipandu seorang "parhata paminta gondang" (lelaki yang bertugas meminta gendang), terlihat harmonis memperlihatkan nilai seni sangat indah dalam tatanan estetika yang tinggi.
"Jika dulu, konteks tortor sawan itu adalah untuk menolak bala, sekarang ternyata bias dikemas dengan unsur hiburan yang sangat memukau," sebutnya.
Pengunjung lainnya, Marga Siahaan dari Balige mengaku kagum dengan keluwesan para penari yang mempersembahkan tortor sipitu sawan tersebut.
Menurutnya, gerak tari tortor yang sudah menjadi tradisi turun temurun dan warisan budaya etnis Batak tersebut harus tetap dijaga serta dapat dilesatrikan oleh para generasi muda.
"Generasi muda jangan sampai dimasuki budaya lain, seperti aliran musik band atau dancer modern yang tidak mendidik, sebab nilai-nilai kearifan budaya lokal harus dipertahankan," katanya.
***3***
(T.KR-JRD)
(T.KR-JRD/B/Z. Meirina/Z. Meirina)