Toba Samosir, 23/6 (Antarasumut) - Sejumlah pengrajin kain tenun ulos khas Batak di Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara mengaku, saat ini mereka sudah jarang menggunakan zat pewarna alami, akibat sulitnya mendapatkan benang dari hasil pewarnaan bahan alami tersebut.
“Berbagai bahan pewarna alami yang dulu biasa digunakan mewarnai benang untuk menenun kain ikat Batak produk khas daerah Tapanuli itu, sekarang makin sulit diperoleh,“ kata Boru Hutagaol, seorang pengrajin ulos di Desa Meat, Kecamatan Tampahan, Minggu.
Sebelumnya, kata dia, untuk menyelesaikan pengerjaan kain tenun ulos, umumnya para pengrajin menggunakan benang dengan bahan pewarna yang sumbernya berasal dari sejumlah tumbuhan perdu serta bahan lainnya, seperti kayu “jabi-jabi” dan kayu “sona”.
Selain itu, lanjutnya, untuk bahan pewarna hitam dan merah biasanya mereka peroleh dari tanaman “itom” dan “salaon” yang menghasilkan warna-warna dominan dari kain tenun ikat Batak yang unik tersebut, yakni merah, hitam dan putih.
Perempuan paruh baya yang menggeluti profesi sebagai pengrajin ulos sejak tahun 1970 itu menyebutkan, berbagai jenis tanaman dimaksud, tumbuh liar dengan subur tanpa perawatan khusus pada lahan milik masyarakat sepanjang pinggiran danau Toba.
“Namun belakangan ini, bahan pewarna alami tersebut hampir tidak bisa didapatkan lagi, sehingga para pengrajin beralih menggunakan benang dari bahan pewarna kimia,”ujar Boru Hutagaol.
Pengrajin lainnya, boru Panjaitan (52) dari Kecamatan Silaen menyebutkan, kerajinan tenun ulos yang dulu dihasilkan para penenun generasi sebelumnya, tergolong produk ramah lingkungan, karena menggunakan zat pewarna alam sebagai bahan dasar untuk mewarnai benangnya.
Menurutnya, ulos hasil produksi bahan pewarna alami dimaksud tidak menimbulkan dampak negatif berupa pencemaran lingkungan, bahkan mutunya boleh dikategorikan lebih bagus, karena benangnya lebih kuat dan tidak mudah putus.
Sementara itu, pemerhati sosial dari Kabupaten Toba Samosir, Rosmelina Sinaga menyebutkan, penggunaan zat pewarna salaon (indigo) mulai ditinggalkan, karena sulitnya mendapatkan bahan baku tersebut.
Harga ulos yang menggunakan bahan alami, kata dia, relatif lebih mahal dan kurang laku di pasaran, serta kalah bersaing dengan hadirnya ulos hasil tenunan mesin. Ulos tersebut ditenun dengan menggunakan bahan pewarna sintetis yang harganya jauh lebih murah dibandingkan ulos tenunan tangan berbahan alami.
Memang, lanjutnya, saat ini sejumlah pengusaha mulai memproduksi ulos dengan memakai pewarna alami, menggunakan kulit mangga untuk menghasilkan warna kuning kehijau-hijauan serta daun hatirangga (pacar air) yang masih banyak terdapat di sekitar daerah Toba Samosir.
"Ulos yang dihasilkan dari bahan pewarna alami tersebut cukup menarik minat konsumen di dunia model, namun cukup sulit memperoleh bahan-bahannya," ujar Rosmelina. (IN)