Dua advokat, Herdi Munte asal Sumatera Utara (Sumut) dan Missiniaki Tommi asal Sumatera Barat (Sumbar) serta pendamping Jekson Joab Situmeang secara resmi mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi, Kamis (17/10).
“Benar. Kami mengajukan permohonan beberapa pasal dalam UU Pilkada tersebut bertujuan agar suara kosong atau Blank Vote diakui sebagai suara sah dalam Pilkada di Indonesia,” kata Herdi Munte dalam keterangan yang diterima di Medan, Kamis malam.
Pihaknya mengaku mengajukan permohonan tersebut karena ketentuan yang ada saat ini tidak mengakomodasi hak pemilih untuk menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap pasangan calon yang ada.
“Suara kosong dianggap tidak sah, padahal itu merupakan bentuk kebebasan berekspresi yang seharusnya diakui dalam proses demokrasi,” ujar dia.
Dia mengatakan pengajuan tersebut mencakup uji materi terhadap beberapa ketentuan, yaitu Pasal 79 ayat (1) dan Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 mengenai Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Kemudian, Pasal 94 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015, serta Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015.
Herdi menilai bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) RI 1945.
Pihaknya selaku pemohon menilai pengakuan terhadap suara kosong sebagai suara sah penting untuk memberikan pilihan alternatif bagi pemilih yang tidak setuju dengan calon yang ada.
Oleh karena itu, pihaknya mengusulkan agar di dalam surat suara di daerah yang memiliki lebih dari satu pasangan calon, disediakan kolom kosong yang dapat dicoblos oleh pemilih.
Dengan begitu, lanjut dia, pemilih dapat mengekspresikan ketidakpuasan mereka tanpa harus golput atau mencoblos secara tidak sah.
Para pemohon juga menyebutkan bahwa pengaturan mengenai pengakuan suara kosong sebagai suara sah telah diterapkan di beberapa negara, seperti Kolombia dan Ukraina.
Di Kolombia, misalnya, suara kosong atau voto en blanco yang meraih suara terbanyak dalam pemilihan dapat memaksa diadakannya pemilihan ulang dengan calon yang berbeda.
Mereka berharap agar mekanisme serupa dapat diterapkan di Indonesia, terutama dalam menghadapi Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024.
Permohonan ini didasarkan pada pelanggaran terhadap sejumlah prinsip konstitusi, termasuk Pasal 1 ayat (2) tentang kedaulatan rakyat, Pasal 18 ayat (4) mengenai pemilihan kepala daerah yang harus dilakukan secara demokratis, serta Pasal 28D ayat (1) yang menjamin hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Menurut para pemohon, tidak adanya pengakuan terhadap suara kosong mengakibatkan ketidaksetaraan dalam hukum dan merampas hak pemilih untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap calon yang dianggap tidak mewakili kehendak rakyat.
Selain itu, para pemohon juga menyoroti tingginya angka golput dalam beberapa pemilihan kepala daerah sebagai indikasi kurangnya pilihan yang mewakili aspirasi rakyat.
“Kami menilai bahwa ketidakpuasan ini perlu diakomodasi melalui pengakuan suara kosong sebagai pilihan sah, sehingga pemilih tetap dapat berpartisipasi secara aktif dalam pemilu, meskipun tidak setuju dengan kandidat yang ada,” jelasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2024
“Benar. Kami mengajukan permohonan beberapa pasal dalam UU Pilkada tersebut bertujuan agar suara kosong atau Blank Vote diakui sebagai suara sah dalam Pilkada di Indonesia,” kata Herdi Munte dalam keterangan yang diterima di Medan, Kamis malam.
Pihaknya mengaku mengajukan permohonan tersebut karena ketentuan yang ada saat ini tidak mengakomodasi hak pemilih untuk menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap pasangan calon yang ada.
“Suara kosong dianggap tidak sah, padahal itu merupakan bentuk kebebasan berekspresi yang seharusnya diakui dalam proses demokrasi,” ujar dia.
Dia mengatakan pengajuan tersebut mencakup uji materi terhadap beberapa ketentuan, yaitu Pasal 79 ayat (1) dan Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 mengenai Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Kemudian, Pasal 94 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015, serta Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015.
Herdi menilai bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) RI 1945.
Pihaknya selaku pemohon menilai pengakuan terhadap suara kosong sebagai suara sah penting untuk memberikan pilihan alternatif bagi pemilih yang tidak setuju dengan calon yang ada.
Oleh karena itu, pihaknya mengusulkan agar di dalam surat suara di daerah yang memiliki lebih dari satu pasangan calon, disediakan kolom kosong yang dapat dicoblos oleh pemilih.
Dengan begitu, lanjut dia, pemilih dapat mengekspresikan ketidakpuasan mereka tanpa harus golput atau mencoblos secara tidak sah.
Para pemohon juga menyebutkan bahwa pengaturan mengenai pengakuan suara kosong sebagai suara sah telah diterapkan di beberapa negara, seperti Kolombia dan Ukraina.
Di Kolombia, misalnya, suara kosong atau voto en blanco yang meraih suara terbanyak dalam pemilihan dapat memaksa diadakannya pemilihan ulang dengan calon yang berbeda.
Mereka berharap agar mekanisme serupa dapat diterapkan di Indonesia, terutama dalam menghadapi Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024.
Permohonan ini didasarkan pada pelanggaran terhadap sejumlah prinsip konstitusi, termasuk Pasal 1 ayat (2) tentang kedaulatan rakyat, Pasal 18 ayat (4) mengenai pemilihan kepala daerah yang harus dilakukan secara demokratis, serta Pasal 28D ayat (1) yang menjamin hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Menurut para pemohon, tidak adanya pengakuan terhadap suara kosong mengakibatkan ketidaksetaraan dalam hukum dan merampas hak pemilih untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap calon yang dianggap tidak mewakili kehendak rakyat.
Selain itu, para pemohon juga menyoroti tingginya angka golput dalam beberapa pemilihan kepala daerah sebagai indikasi kurangnya pilihan yang mewakili aspirasi rakyat.
“Kami menilai bahwa ketidakpuasan ini perlu diakomodasi melalui pengakuan suara kosong sebagai pilihan sah, sehingga pemilih tetap dapat berpartisipasi secara aktif dalam pemilu, meskipun tidak setuju dengan kandidat yang ada,” jelasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2024