Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia Arief Budiman mengaku berhasil menghemat anggaran kurang lebih Rp600 miliar gara-gara Kementerian Kesehatan menurunkan tarif tes cepat (rapid test) COVID-19.

"Karena Kementerian Kesehatan menurunkan tarif rapid test, anggaran itu kami realisasikan, kami hitung ulang, terjadi penghematan sebesar itu," kata Arief dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR RI, Bawaslu RI, dan DKPP di kompleks Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (10/9).

Setelah penghematan dilakukan internal KPU sebesar itu, kata Arief, ternyata anggaran KPU RI pun tetap dipangkas lagi sekitar Rp400 miliar oleh Kementerian Keuangan.

Baca juga: 45 kabupaten/kota pelaksanaan Pilkada zona merah COVID-19, termasuk Medan

Kendati demikian, kata Arief, KPU RI selalu mengutamakan prinsip efektif dan efisien dalam penggunaan anggaran.

Meskipun pada saat rapat bersama Komisi II DPR RI pada tanggal 11 Juni 2020 KPU menyatakan ingin meminta anggaran sebesar Rp4.768.653.986.000,00 untuk Pilkada 2020, hanya terealisasi kurang lebih sebesar Rp3,7 triliun.

Namun, dengan penghematan dan pemangkasan yang terjadi, anggaran KPU yang digelontorkan KPU hingga hari ini sebesar Rp2,8 triliun.

"Nah, bagian yang dipangkas itu adalah sosialisasi, bimbingan teknis, supervisi, rapat koordinasi, jadi kegiatan semacam itu hanya bisa dilakukan KPU secara daring," kata Arief.

"Meskipun," lanjut dia, "seharusnya memang ada tahapan sosialisasi yang tidak dilakukan secara daring."

Baca juga: UI kembangkan vaksin DNA dan RNA untuk COVID-19

Oleh karena itu, KPU RI menyadari sejak pemerintah dan DPR RI sepakat melanjutkan tahapan Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemi dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat maka akan sulit mengantisipasi terjadinya pelanggaran mengingat minimnya sosialisasi.

"Misalnya, pada saat mereka (pasangan calon) berkumpul di posko (pendukung) masing-masing. KPU tentu tidak bisa melarang mereka mengumpulkan berapa banyak orang. Artinya, harus ada instrumen lain yang mengatur itu. Bukan tidak bisa tidak diatur. Bisa diatur oleh instrumen (penegak aturan) yang lain," kata Arief.

Misalnya, kata Arief, penegak aturan pembatasan sosial berskala besar di masing-masing daerah atau penegak aturan pemerintah tentang penanganan COVID-19.

"Saya pikir, regulasi itu bisa digunakan untuk menata itu," kata Arief.

Untuk pendaftaran pilkada yang menimbulkan kerumunan massa pada tanggal 4—6 September, Arief menolak dibilang KPU 'kecolongan'.

Menurut Arief, KPU sudah cukup tegas melaksanakan peraturan yang mengizinkan pihak-pihak yang disebutkan dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020 saja yang boleh masuk dalam ruang pendaftaran.

Arief menilai kecolongan yang dimaksud mungkin salah satu faktornya karena waktu yang sedikit untuk sosialisasi peraturan tersebut.

"Karena waktu itu kami baru bisa melakukan rapat konsultasi pada tanggal 24 Agustus 2020, kemudian langsung kami rapikan, terus ditindaklanjuti dengan harmonisasi, dan baru tanggal 1 September bisa diundangkan," kata Arief.

Arief mengatakan bahwa KPU sudah melakukan sosialisasi PKPU No. 10/2020 bersama dewan pimpinan pusat partai politik.

"Sudah kami undang, dan sudah kami berikan sosialisasi," kata Arief.

KPU juga sudah melakukan rapat koordinasi dengan KPU provinsi dan kabupaten/kota.

Menurut Arief, KPU di daerah pun sudah melakukan sosialisasi dengan dewan pimpinan wilayah dan dewan pimpinan cabang partai politik di daerah masing-masing.

Namun, dia mengakui sosialisasi tidak diberikan secara masif kepada seluruh masyarakat yang ada di 270 daerah yang melaksanakan pilkada serentak.

"Kalau dibilang ini belum masif dilakukan kepada masyarakat, mungkin, iya. Kalau ada keluhan mengenai sosialisasi, hari ini kami sampaikan, anggaran pada bagian sosialisasi itu tidak disetujui. Anggaran yang disetujui tentang kebutuhan terkait dengan alat pelindung diri," kata Arief.

Pewarta: Abdu Faisal

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020