Medan (Antaranews Sumut) - Pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) menegaskan lahan eks HGU PTPN II bukan aset negara karena tanah yang dikuasai negara tidak otomatis menjadi milik negara sebagaimana  diatur pada Pasal 2 Ayat 2 Nomor 5 Tahun 1960 UUPA. 

Hal itu terungkap dalam pemaparan Guru Besar Hukum USU, Prof Dr Syafruddin Kalo SH M.Hum dalam kegiatan Forum Group Discussion (FGD) 'Mencari Keseragaman Pandangan Hukum Dalam Penerapan Peraturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, case study : Tamin Sukardi,' yang digelar Laboratorium Fakultas Hukum USU, Rabu (26/12).

Dijelaskannya, dalam hal tanah eks HGU sudah bukan merupakan aset PTPN2. Karena itu tidak perlu ada izin pelepasan aset dari kementerian yang bersangkutan, tetapi mutlak kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat 4 UUPA. 

Ia mencontohkan dalam kasus penyelewengan lahan eks HGU PTPN2 yang melibatkan Tamin Sukardi. Menurutnya, penerapan hukum yang hanya menetapkan Tamin Sukardi sebagai tersangka tidak tepat. 

Seharusnya Kejaksaan Agung membuktikan adanya keterlibatan pihak lain seperti oknum BPN, oknum Camat, oknum Kepala Desa, oknum PTPN2 untuk dijadikan tersangka. 

"Dalam perkara kasus korupsi tidak ada tersangka tunggal. Pasti ada keterlibatan pihak lainnya," kata dia. 

Apalagi lanjutnya, yang dapat menentukan kerugian negara hanyalah Badan Pengawas Keuangan yang tertuang dalam Pasal 23 Ayat I UUD 1945 dan Pasal 10 UU No 15 Tahun 2006 Tentang BPK. 

Sedangkan instansi lain yang berwenang BPKP atau Inspektorat, SKPD tetap berwenang memeriksa tetapi yang menentukan besar kecilnya kerugian negara adalah BPK. 

Pakar hukum pidana, Prof Dr Ediwarman SH M.Hum menambahkan penerapan hukum yang benar itu paling sulit di Indonesia. Hal itu dikarenakan penegak hukum tidak pernah membahas secara benar tentang unsur-unsur perbuatan pidana. 

Dipaparkannya, dalam unsur perbuatan pidana harus terbukti dahulu delik formil dan materil, sifat melawan hukum dan sifat tercela yang menimbulkan kesalahan dan kerugian. 

Jika terbukti unsur ketiga yakni sifat tercela baru seseorang dapat dipidana. Namun, penegak hukum jarang melihat konteks pidana tersebut karena tidak melihat secara komprehensif. 

"Penegak hukum dalam penerapan hukumnya harus dilihat secara komprehensif bukan secara parsial. Seperti kasus Tamin Sukardi, dalam kasus ini seharusnya pengadilan melihat apakah ada bukti keterlibatan pihak lain sesuai dakwaan Pasal 55 KUHP yang intinya menyatakan perbuatan bersama-sama yaitu lebih dari satu orang," katanya.

Ediwarman juga mempertanyakan kasus yang menjerat Tamin Sukardi sudah inkrah di tingkat Mahkamah Agung, tapi bisa kembali diadili di tingkat pengadilan dibawahnya sehingga terkesan ada pemaksaan. 

Dalam kegiatan itu juga turut sebagai pembicara Dr Mirza Nasution SH MHum dan Dr Mahmul Siregar SH MHum. Kedua sependapat bahwa perlu pemahaman tentang administrasi hukum dan pengetahuan persoalan aset BUMN.
 

Pewarta: Rel

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2018