Medan (ANTARA) - Pernyataan Gubernur Sumatera Utara Bobby Afif Nasution mengenai penyelesaian tanah eks HGU PTPN2 (sekarang PTPN 1 Regional 1) agar menyerahkan tanah kepada yang berhak dengan kompensasi ringan, hal itu adalah langkah yang sangat bijak.
Persoalannya mengapa penyelesaian eks tanah HGU 5.873.Ha itu berlarut-larut. Hal itu tak terlepas dari besarnya uang konpensasi yang harus dibayarkan kepada pihak perusahaan perkebunan negara tersebut.
Demikian ditegaskan Guru Besar Fakultas Hukum USU Prof Dr OK Saidin di Medan, Sabtu (10/5/25).
Selama lebih dari kurun waktu 23 tahun lebih sejak diterbitkannya SK Ka.BPN No.42,43,44/HGU/BPN/2002 dan SK Ka.BPN/BPN/HGU/2004 penyelesaian penyerahan tanah itu kepada penerima hak tak kunjung usai.
Padahal menurut Prof.OK.Saidin terkait siapa subyek hukum penerima dan di mana letak obyeknya untuk tanah seluas 546,12 Ha untuk para penggarap, 1.377,12 Ha untuk tuntutan masyarakat , untuk Masyarakat Adat Melayu 450 Ha, Pensiunan Karyawan 558,35 Ha dan untuk USU 300 Ha yang alokasinya sudah jelas dan tercantum dalam Keputusan TIM B Plus.
Sedangkan sisanya seluas 2.641,47 Ha dikeluarkan dari HGU atau tidak diperpanjang lagi untuk kepentingan RUTRWK.
Sekalipun demikian karena penetapan nilai hapus buku terlalu tinggi, akibatnya banyak pihak penerima hak yang kurang mampu tak dapat memenuhinya.
Dampaknya lahan tanah itu "diserbu" oleh para penggarap. Surat-surat alas hak yang illegal bermunculan. Mulai surat garap bertahun mundur sampai dengan Grant Sultan yang dipalsukan.
Padahal di atas tanah itu dipastikan tak ada alas hak lain selain Akte Konsesi Kesultanan Deli, Serdang dan Langkat dan alas hak berupa HGU PTPN 2 yang telah berakhir.
Keadaan ini membuka celah bagi masuknya "mafia" tanah. Tak jarang pula berakhir di Pengadilan. Kasus tanah Helvetia misalnya yang melibatkan pengusaha properti berakhir di jeruji besi," tegas Guru Besar yang juga Kaprodi Magister Ilmu Hukum USU itu.
Lebih dari itu akibat besarnya uang konpensasi yang harus dibayarkan itu banyak pihak yang sudah disahkan dalam daftar nominatif tapi kemudian hanya "pinjam nama" saja. Di belakangnya berdiri para pemodal.
Ini tentu tidak sesuai dengan "roh" awal pelepasan HGU itu.
Sebut saja hak yang diberikan kepada eks karyawan yang sudah mengabdikan dirinya selama 30 tahun pada perusahaan negara itu yang tidak mempunyai rumah pada usia tuanya, tapi kemudian harus rela kembali mengalihkannya kepada pihak pemodal hanya karena tak mampu membayar uang konpensasi kepada perusahaan negara itu.
Pola-pola pemindahan tanah seperti itu tak terelakkan lagi yang berujung pada semakin tak terbantahkan lagi di atas lahan eks HGU telah tumbuh sistem kapitalis baru.
Padahal jika pemerintah mau, untuk lahan yang diperuntukkan pada pelaku bisnis property dengan konpensasi tinggi, itu bisa diberikan untuk lokasi yang terkena perluasan Tata Ruang Kota dan Kabupaten yang jumlahnya ada 2.641,47 Ha lagi.
Jadi uang ganti rugi penghapus bukuan tidak disamaratakan.
Yang terkesan aneh dan tak masuk akal adalah tanah yang diperuntukkan kepada Masyarakat Adat Melayu seluas 450 Ha juga dikenakan pembayaran sama seperti para penerima hak lainnya.
Padahal "roh" dari pemberian hak itu merujuk pada tuntutan Masyarakat Melayu Forum Perjuangan Tanah Ulayat Masyarakat Melayu Sumatera Timur (1999 -2001) yang kala itu diketuai oleh Kolonel Bachtiar Djafar dan Sekretarisnya Prof.OK.Saidin.
Pemberian itu mutlak atas dasar karena lahan tanah yang saat ini menjadi aset perusahaan negara itu berasal dari konsesi Kesultanan Melayu Sumatera Timur.
Jika hari ini pembebanan untuk konpensasi lahan seluas 450 Ha sebesar Rp.450.000.000.000 (Empat Ratus Lima Puluh Milyar Rupiah) hal ini sama sekali di luar aspektasi kita sebagai pemilik hak asal.
Oleh karena itu pihak PTPN 1 Regional 1 harus memiliki kesadaran sejarah dan kepekaan sosial serta bersikap realistis untuk menentukan besaran konpensasi ini. Kita Puak Melayu mendukung pernyataan Gubsu tersebut dan akan terus mendukung Perusahaan Perkebunan negara ini.
Karena ada lahan yang masuk kategori perluasan Tata Ruang/Wilayah Kota dan Kabupaten seluas 2.641,47 Ha lagi yang merupakan bagian dari luasan 5.873 ,06Ha yang bisa dibayarkan dengan harga versi hasil appraisal Kantor Jasa Penilaian Publik yang ditunjuk PTPN2 Tanjung Morawa beberapa waktu yang lalu.
Selebihnya untuk lahan seluas 3.031,59 Ha yang diperuntukkan kepada perorangan/penggarap dan lembaga negara dan swasta lainnya termasuk pensiunan karyawan dan Masyarakat Adat Melayu, nilai kompensasi harus dikaji ulang.
"Khusus untuk Masyarakat Adat Melayu sebagai pemegang hak asal mestilah dibebaskan dari kewajiban pembayaran konpensasi, " kata Prof OK.Saidin yang juga Ketua Umum Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia.