Sibolga (Antaranews Sumut)- Deputi Gubernur Bank Indonesia menggelar diskusi publik bertemakan Outlook perekonomian Indonesia, perkembangan ekonomi regional dan kebijakan Bank Indonesia. Diskusi ini digelar di Graha Aulia Bank Indonesia Sibolga, Jumat pagi yang dihadiri langsung Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara.

Dalam paparannya Mirza mengungkapkan bahwa inflasi bulan Juli 2018 terkendali yakni 3,5 plus minus 1%. Dengan demikian inflasi tahun ini bisa dikendalikan tidak telampau naik dan juga tidak terlampau turun.

“Pertanyaan yang sering timbul kenapa terjadi inflasi? Inflasi terjadi karena kebutuhan meningkat sementara produksi dan ketersediaan kebutuhan yang meningkat itu tidak tersedia. Penyebabnya bisa saja karena produksi yang kurang atau distribusinya yang bermasalah. Nah agar tidak terjadi inflasi yang cukup besar, antara produksi dan distribusi harus bagus. Karena inflasi ini juga bisa mempengaruhi stablisasi rupiah,”ungkapnya.

Dalam posisi seperti ini Bank Indonesia memiliki kebijakan, karena BI salah satu yang dipercaya pemerintah untuk menganalisis sektor perekonomian nasional. Dan dari hasil analisis itu kata Mirza, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5.27% di kuartal kedua 2018, tertinggi sejak tahun 2014. Inflasi pun masih terkendali di angka 3.5 plus minus 1%. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah dalam menjaga stabilitas harga cukup baik.

“Untuk itulah diminta kepada masyarakat agar tidak mudah terpengaruh dengan informasi yang beredar di media sosial yang menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia gagal dan lain sebagainya,”paparnya.

Sedangkan terkait melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika menurut Mirza bukan hanya Indoenesia yang mengalaminya. Karena kebijakan trade war yang dipicu oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap mitra dagang utama mereka seperti Tiongkok, Uni Eropa, Meksiko dan Kanada, dengan cara menaikkan tarif impor barang barang dari negara-negara tersebut membuat sejumlah negara merasakan dampak melemahnya nilai tukar mata uangnya. Turki adalah salah satunya. Inflasi yang hampir mencapai 18%, dan hutang luar negeri yang mencapai 53% dari total GDP menyebabkan tekanan depresiasi terhadap mata uang Lira, yang per 31 Agustus kemarin mencapai 42%,bebernya.

Di samping Turki, Argentina juga mengalami krisis yg cukup parah. Mata uang Peso terdepresiasi sebesar 53% dan tingkat inflasi yg mencapai 28%, memaksa bank sentral mereka untuk menaikkan suku bunga menjadi 60% dan meminta talangan IMF sebesar USD 50 milyar. Selain Turki dan Argentina, negara-negara berkembang lain yang mengalami depresiasi signifikan per 31 Agustus antara lain Afrika Selatan (15.8%), Rusia (15.5%), India (9.9%), Chili (9.3%), Philipina (6.7%), dan Indonesia (7.8%).

Diakui Mirza situasi yang terjadi saat ini terutama pelemahan nilai tukar rupiah ke dolar dimanfaatkan orang-orang tertentu, sehingga negara diasumsikan akan krisis seperti peristiwa tahun 98 dulu.

“Melalui diskusi ini saya tegaskan bahwa kondisi ekonomi bangsa kita aman dan pertumbuhannya masih baik,”tandasnya.
Sementara itu dua kepala daerah yang hadir dalam diskusi itu yakni Walikota Sibolga, Syarfi Hutauruk dan Syahrul M Pasaribu meminta kepada Bank Indonesia agar memyampaikan kepada pemerintah pusat tentang konsistensi pemerintah. Karena kebijkan dari pusat sangat berdampak kepada pemerintah yang ada di daerah.

“Saat ini harga sawit anjlok demikian juga dengan karet, ditambah lagi dengan kebijakan Menteri Kelautan Susi yang melarang pukat trawl beropersi, sementara alat pengganti pukat trawl belum diberikan hingga saat ini. Akibatnya para nelayan banyak yang mengeluh dan ketersediaan ikan di Sibolga sangat berdampak,”kata kedua kepala daerah itu.

Diskusi publik ini dipandu oleh Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sibolga, Suti Masniari Nasution, yang dihadiri para pimpinan perbankan Sibolga-Tapteng, masyarakat serta undangan lainnya.


 

Pewarta: Jason Gultom

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2018