Oleh : Ferry Anggriawan dan Alda Muhsi
 Langkat, (Antara Sumut).- Bali, sudah tidak asing lagi didengar oleh seluruh warga Indonesia bahkan hingga ke mancanegara. Bali terkenal dengan keindahan pantainya dan kebudayaan hindu yang melekat, seperti adanya candi, pura, dan relief-relief ukiran pada bangunan.

Kini pesona kebudayaan Bali dapat kita temukan khususnya di daerah Sumatera Utara, yaitu tepatnya di Desa Tiga Tusam, Kampung Bali Kec. Wampu Kab. Langkat. Kampung Bali adalah sebuah perkampungan pedalaman yang berada 40 kilometer dari Kec.Selesai, yang dihuni 35 kepala keluarga asal Pulau Bali. Maka disebutlah dengan nama Kampung Bali.

Kampung Bali terbentuk pada tahun 1973. Awalnya perkampungan itu hanyalah hutan belantara yang terbentang di pinggiran Kabupaten Langkat. Kemudian terjadi transmigrasi penduduk.  TNI membawa penduduk asli Bali ke Desa Tiga Tusam tersebut bertujuan untuk pemekaran hutan, dengan imbalan memberikan tanah seluas 2 hektar untuk setiap kepala keluarga. Hingga akhirnya hutan belantara tersebut kini menjadi perkampungan penduduk Bali.

Hal itu juga diungkapkan oleh I Wayan Keina (68) pengurus Pura Penataran Agung Widya Loka Nata, pada 13 Nopember 2013.

“Kampung ini dahulu adalah hutan belantara, pada tahun 1973 TNI membawa 70 kepala keluarga penduduk Bali ke pulau Sumatera untuk bekerja dalam pemekaran hutan. 35 kepala keluarga ditempatkan di Pekan Baru, sedangkan 35 kepala keluarga yang lain ditempatkan di Sumatera Utara tepatnya di Desa Tiga Tusam ini. Dengan imbalan TNI akan memberikan lahan seluas 2 hektar untuk setiap kepala keluarga.”

Untuk menuju kampung Bali kita bisa melewati dua desa. Yaitu melalui Desa Mancang dari arah Stabat. Dan bisa juga melalui Desa Selayang dari arah Kec.Selesai. Selain itu, kita harus menyeberangi aliran sungai Wampu dengan menggunakan getek -sebuah kapal penyeberangan- dengan tarif Rp. 2000/motor, Rp. 10.000/mobil, dan Rp. 15.000/truk.  Kita dapat menempuh waktu 2,5 jam dari pusat kota Medan.

Kita dapat melihat pesona Bali yang sesungguhnya dan kentalnya kebudayaan Hindu yang melekat di kampung ini. seperti adanya Pura (tempat ibadah umat Hindu), Sangah (tempat ibadah pribadi) yang dibangun di depan rumah setiap warga, dan Penjor (janur bagi suku Jawa) diletakkan di depan rumah untuk memperingati hari Galungan.

Mardan Sitepu (43) pengunjung dari Sei Bingei Binjai mengungkapkan,“ Saya bukan warga kampung Bali ini, tapi kampung Bali ini sudah seperti kampung saya sendiri, karena kampung ini sangatlah unik, tentram, damai, dan kampung ini hanya satu-satunya yang ada di Kab.Langkat. Sehingga saya sering berkunjung ke kampung Bali ini.”

Namun sangat disayangkan, pelestarian Tarian khas Bali, seperti Tari Kecak dan Tari Barong, perlahan mulai hilang, disebabkan oleh kesibukan warga yang kesehariannya bekerja sebagai petani kelapa sawit dan karet.

Perhatian pemerintah terhadap kampung Bali ini juga sepertinya masih sangat minim. Terlihat pada akses jalan menuju kampung Bali yang sangat memprihatinkan. Jalan bebatuan, dan berlumpur sejauh 30 kilometer harus ditempuh penduduk setiap hari. Serta tidak adanya akses jembatan untuk menyeberangi sungai. Karena di saat musim hujan, aliran sungai Wampu sering terjadi banjir. Jika aliran sungai banjir, getek yang digunakan untuk menyeberang tidak dapat beroperasi karena terlalu berbahaya. Serta tidak adanya pamflet petunjuk lokasi  Kampung Bali ini membuat pengunjung yang datang mengaku sangat kebingungan.

Letaknya yang jauh dari hiruk-pikuk kota memang membuat ketersediaan sekolah, rumah sakit dan pasar sangat terbatas. Hal itu diakui oleh I Wayan Keina, “Kampung Bali ini memang jauh di pedalaman, sehingga sekolah, rumah sakit, dan pasar sangat jauh, bahkan sudah di lain kecamatan. Di sini cuma ada puskesmas, jaraknya juga cukup jauh, kira-kira 10 kilometer. Sekolah yang ada cuma SD dan SMP, jadi kalau mau sekolah SMA, kebanyakan ke Kecamatan Selesai atau di Binjai.”

 

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013