Tapanuli Selatan (ANTARA) - Pusat-pusat perkembangan karya sastra di Indonesia tidak lagi terkonsentrasi di Jakarta sebagaimana pusat pemerintahan negara, tetapi sudah di seluruh wilayah Indonesia. Kondisi ini terjadi, karena banyak sastrawan dengan karya sastra yang lahir di daerah, disamping kegiatan-kegiatan kesenian dan kesusastraan kini terkonsentrasi di daerah-daerah.
"Saat ini, setiap daerah sudah menjadi pusat perkembangan kesusastraan, termasuk Kota Padangsidimpuan, karena para kreator sastra banyak yang lahir di luar Jakarta," kata Saut Situmorang, kritikus sastra, pembicara dalam Seminar Sastra Nasional bertema "Pembelajaran Sejarah, Bahasa, dan Sastra Indonesia sebagai Wahana Memperteguh Karakater dan Budaya Berbangsa" dalam rangka Festival Sastra Sanusi Pane 2024 yang digelar Bengkel Kreatif.id di aula Institut Ilmu Pendidikan Tapanuli Selatan (IPTS), Sabtu, 26 Oktober 2024.
Dalam siaran pers yang diterima, Saut Situmorang, penyair yang karya-karyanya diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia ini, mengatakan dalam situasi tidak lagi menjadi pusat perkembangan kesusastraan di negeri ini, kebijakan-kebijakan tentang pengembangan sastra tidak seharusnya muncul dari Jakarta dan diandaikan seakan-akan persoalan sastra sama dengan persoalan kebijakan di bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Saut mencontohkan kebijakan yang dibuat Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) terkait Program Sastra Masuk Kurikulum sebagai turunan dari episode Kurikulum Merdeka Belajar mulai tahun ajaran baru untuk jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
"Pemilihan 177 buku karya sastra yang harus diajarkan di SD, SMP, dan SMA sederajat, merupakan pilihan yang sangat keliru. Sebelum diputuskan memilih sesuatu itu, seharusnya di terang jelaskan lebih dahulu apa kriteria pemilihan tersebut," kata Saut.
Menurut Saut, kriteria pemilihan 177 buku sastra yang dipakai dalam Program Sastra Masuk Kurikulum tidak jelas, apalagi setelah Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengatakan ke-177 buku yang dipilih para kurator hanya sebagai panduan bagi guru," katanya.
Saut Situmorang menegaskan, menetapkan 177 buku yang disebut sastra sebagai bahan dalam Program Sastra Masuk Kurikulum dan menyebutnya sebagai panduan bagi guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, sama saja dengan memaksakan 177 buku sebagai buku yang harus diajarkan para guru.
"Pemerintah semestinya memberikan kebebasan kepada para guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SD, SMP, dan SMA untuk memilih buku, tak perlu ditetapkan 177 buku. Di setiap daerah, ada karya sastra yang merekam dinamika daerah bersangkutan dan ditulis oleh sastrawan asal daerah itu. Sastra Masuk Kurikulum itu mestinya jadi momentum bagi menguat nya perkembangan sastra di daerah, karena kondisi saat ini seperti itu," katanya.
Menurut Saut, guru-guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia harus mengajarkan karya-karya sastra yang ada di daerahnya kepada anak didiknya. "Jangan sampai siswa di Kota Padangsidimpuan lebih mengenal sastrawan asal Pulau Jawa dan tidak tahu kalau di daerahnya ada Sanusi Pane, Armijn Pane, Mochtar Lubis, Bokor Hutasuhut, Mansyur Samin, dan lain-lain," katanya.
Dalam seminar yang dimoderatori Ahmad Rusli Harahap, M.Hum, dosen dari UIN Syuhada Kota Padangsidimpuan, itu juga menghadirkan pembicara Erwin Siregar, S.Pd., M.Pd, ketua Program Studi Sejarah di IPTS.
Erwin Siregar membicarakan pentingnya menghargai tokoh-tokoh sejarah lokal dalam dunia pendidikan di Kota Padangsidimpuan. "Sanusi Pane sebagai bagian dari sejarah di Kota Padangsidimpuan, seorang sastrawan nasional dari periode Angkatan Pujanggga Baru. Karya-karyanya harus dipelajari oleh peserta didik dalam Sastra Masuk Kurikulum," katanya.
Dengan mempelajari karya-karya Sanusi Pane, baik sebagai sastrawan maupun sebagai aktivis pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia yang terlibat dalam peristiwa Soempah Pemuda 28 Oktober 1928, Erwin Siregar berharap para peserta didik di SD, SMP, dan SMA menjadi tahu nilai-nilai sejarah bangsanya.
Desy ANdriani, M.Si, dosen Universitas Graha Nusantara (UGN), menyoroti dari aspek antropologi masyarakat yang direkam di dalam karya sastra yang dihasilkan sastrawan nasional dari Kota Padangsidimpuan. "Karya-karya sastra itu merekam bagaimana situasi masyarakat saat karya sastra itu ditulis. Dengan membacanya, masyarakat akan lebih memahami realitas yang terjadi saat itu dan membandingkannya dengan situasi saat ini," katanya.
Menurut Desy, membaca karya sastra akan membuka wawasan untuk mengetahui bagaimana realitas kehidupan manusia di dunia, sehingga para pembaca punya hal yang bisa dipelajari dan diambil manfaatnya.
Pada bulan Mei 2024 lalu, Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek menegaskan, sastra akan masuk kurikulum yang merupakan turunan dari Episode Merdeka Belajar ke-15: Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar.
Program ini berangkat dari salah satu tujuan Kurikulum Merdeka berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 yaitu untuk memperkuat kompetensi dan budaya literasi membaca. Tujuan tersebut juga selaras dengan tujuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan yaitu memperkuat rasa cinta tanah air, membangun jati diri dan karakter bangsa, serta tumbuh kembangkan budaya literasi seluruh warga negara Indonesia. Perwujudan dari kedua tujuan tersebut salah satunya dengan memanfaatkan buku sastra dalam implementasi Kurikulum Merdeka untuk meningkatkan minat baca, menumbuhkan empati, dan kreatifitas, serta nalar kritis peserta didik.
Program ini diinisiasi Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan sejak tahun 2023 dengan mengumpulkan beberapa sastrawan, pelajar, dan pendidik yang memiliki perhatian khusus terhadap pemanfaatan sastra dalam pembelajaran di sekolah. Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Anindito Aditomo berpendapat bahwa sastra mendorong pembaca membayangkan realitas alternatif dan cara pikir serta perasaan para tokohnya sehingga sastra merupakan media belajar yang sangat berharga. Oleh karena itu, pembahasan ini ditindaklanjuti dengan membentuk sebuah tim untuk melakukan kurasi terhadap buku-buku sastra karya para sastrawan Indonesia di sepanjang zaman yang dapat digunakan untuk mendukung pembelajaran Kurikulum Merdeka di sekolah.
Pusat-pusat perkembangan sastra muncul di daerah
Senin, 28 Oktober 2024 9:35 WIB 886