Jakarta (ANTARA) - Indonesia saat ini tengah menghadapi krisis kesehatan masyarakat yang serius terkait dengan konsumsi produk tembakau, terutama rokok.
Meskipun berbagai upaya pengendalian telah dilakukan, epidemi rokok di negeri ini masih menjadi masalah yang kompleks dan multidimensi. Dampaknya tidak hanya memengaruhi kesehatan individu, tetapi juga merambah pada aspek ekonomi nasional.
Situasi ini menuntut perhatian serius dari berbagai pihak, mulai dari Pemerintah, masyarakat, hingga seluruh pemangku kepentingan.
Data terbaru menunjukkan betapa besarnya skala permasalahan ini. Menurut Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021, terdapat sekitar 70,2 juta orang dewasa di Indonesia yang menggunakan produk tembakau. Angka yang mencengangkan ini menegaskan bahwa konsumsi rokok masih menjadi masalah serius di kalangan populasi dewasa Indonesia. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah tingginya prevalensi merokok di kalangan anak dan remaja.
Survei Kesehatan Indonesia 2023 mengungkapkan bahwa prevalensi merokok pada penduduk usia 10-18 tahun mencapai 7,4 persen. Meskipun angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan tahun 2018 yang mencapai 9,1 persen. Adapun target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024 yang menetapkan angka 8,7 persen.
Lebih lanjut, data dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019 menunjukkan bahwa prevalensi merokok pada remaja usia 13--15 tahun mencapai 19,2 persen, dengan perbedaan signifikan antara laki-laki (35,6 persen) dan perempuan (3,5 persen). Angka-angka ini mengindikasikan bahwa upaya pencegahan dan pengendalian rokok pada kelompok usia muda masih perlu ditingkatkan secara signifikan.
Selain rokok konvensional, fenomena yang perlu mendapat perhatian khusus adalah meningkatnya penggunaan rokok elektronik.
Dalam rentang waktu 10 tahun (2011--2021) data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menunjukkan terjadi peningkatan drastis pengguna rokok elektronik dari 0,3 persen menjadi 3,0 persen.
Bahkan hasil Survei Kesehatan Indonesia pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa penggunaan rokok elektronik pada penduduk umur 10--18 tahun mengalami peningkatan dua kali lipat dibandingkan tahun 2018. Tren ini menunjukkan bahwa rokok elektronik makin populer, terutama di kalangan anak muda, dan menjadi tantangan baru dalam upaya pengendalian tembakau di Indonesia.
Salah satu tantangan utama dalam pengendalian rokok di Indonesia adalah tingginya paparan asap rokok, terutama pada anak-anak. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019 Indonesia Fact Sheet, akses anak-anak terhadap rokok di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Sebanyak 7 dari 10 pelajar usia 13--15 tahun dapat membeli rokok secara bebas, sementara tiga dari lima pelajar usia yang sama tidak dicegah membeli rokok meski di bawah umur.
Paparan iklan rokok juga tinggi, dengan 3 dari 5 pelajar usia 13--15 tahun terpapar iklan rokok di TV, tempat penjualan, dan media luar ruang, serta 1 dari 3 pelajar terpapar iklan rokok di internet. Data ini menunjukkan mudahnya akses anak terhadap rokok dan tingginya paparan iklan rokok di berbagai media, yang berpotensi meningkatkan risiko merokok di kalangan remaja Indonesia.
Survei Kesehatan Indonesia 2023 juga melaporkan bahwa 68,6 persen anak dan remaja terpapar asap rokok di dalam ruangan tertutup. Angka-angka ini menggambarkan betapa seriusnya masalah paparan asap rokok pada generasi muda Indonesia, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan mereka dalam jangka panjang.
Menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, perilaku merokok penduduk usia 10--18 tahun menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Sebanyak 2,6 persen anak mulai merokok sangat dini di usia 4--9 tahun, dengan mayoritas remaja memulai kebiasaan merokok harian pada rentang usia 15--19 tahun. Konsumsi rokok rata-rata mencapai 8--9 batang per hari.
Data menunjukkan puncak usia pertama kali merokok terjadi pada kelompok 15--19 tahun, diikuti kelompok 10--14 tahun. Dari segi jenis rokok, rokok putih menjadi pilihan utama remaja, disusul oleh kretek. Grafik batang menunjukkan konsumsi harian sekitar 9 batang dan mingguan sekitar 6 batang. Temuan ini menggarisbawahi urgensi upaya pencegahan dan pengendalian konsumsi rokok yang lebih intensif dan komprehensif, terutama ditargetkan pada anak-anak dan remaja Indonesia, mengingat dampak jangka panjang yang serius terhadap kesehatan dan perkembangan mereka.
Kemudahan akses dan pembelian rokok juga menjadi tantangan besar. Data GYTS 2019 menunjukkan bahwa 71,3 persen perokok remaja dapat membeli rokok secara batangan, dan 60,6 persen tidak dicegah saat membeli rokok. Hal ini mengindikasikan lemahnya penegakan aturan terkait penjualan rokok kepada anak di bawah umur. Situasi ini memperparah epidemi rokok di kalangan remaja karena mereka dengan mudah dapat memperoleh dan mengkonsumsi produk tembakau.
Siasat industri rokok memanfaatkan popularitas media sosial di Indonesia untuk pemasaran sangat agresif.
Sebagai negara dengan pengguna media sosial terbanyak ke-4 di dunia, Indonesia menjadi sasaran empuk promosi produk tembakau, termasuk rokok elektronik, sering tanpa verifikasi batasan usia. Strategi ini mengeksploitasi kerentanan generasi muda terhadap pengaruh media sosial, secara signifikan menghambat upaya pengendalian konsumsi rokok.
Taktik pemasaran digital yang intensif ini menciptakan tantangan besar dalam melindungi kaum muda dari paparan dan kecanduan produk tembakau, mempersulit upaya kesehatan publik untuk mengurangi prevalensi merokok di kalangan remaja Indonesia.
Dampak konsumsi rokok tidak hanya terbatas pada aspek kesehatan, tetapi juga merugikan ekonomi dan menjadi ancaman bagi lingkungan.
Data BPS mengungkap, pada 2021, pengeluaran per kapita untuk tembakau dan sirih mencapai Rp76.583 per bulan, menempati posisi kedua tertinggi dalam kelompok bahan makanan, hanya di bawah makanan jadi.
Pengeluaran ini melampaui belanja untuk kebutuhan pokok seperti padi-padian, sayuran, ikan, telur, dan susu. Lebih mengejutkan lagi, pada 2022, rokok tidak hanya menjadi pengeluaran terbesar kedua, tetapi juga penyumbang kemiskinan nomor dua di negeri ini.
BPS mencatat garis kemiskinan Maret 2022 sebesar Rp505.469 per kapita per bulan, dengan rokok berada di urutan kedua setelah beras sebagai komoditas penyumbang kemiskinan terbesar. Fenomena ini menunjukkan paradoks konsumsi masyarakat Indonesia, di mana rokok lebih diprioritaskan dibanding kebutuhan gizi esensial, memperparah kondisi kemiskinan dan mengancam kesehatan publik.
Dalam konteks kebijakan dan implementasi, Indonesia juga menghadapi beberapa tantangan. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) dan Pajak Rokok Daerah (PRD) belum dimanfaatkan secara optimal untuk promosi dan pencegahan rokok. Selain itu, indikator RPJMN belum sepenuhnya diadopsi ke dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) dan rencana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok (KTR) juga masih rendah di berbagai daerah.
Tantangan-tantangan ini menunjukkan perlunya koordinasi yang lebih baik antara Pemerintah Pusat dan daerah dalam implementasi kebijakan pengendalian rokok.
Menghadapi situasi yang kompleks ini, Indonesia telah menerapkan beberapa strategi pengendalian konsumsi tembakau yang mengacu pada rekomendasi WHO. Salah satunya adalah monitoring konsumsi produk tembakau dan pencegahannya.
CHED ITB Ahmad Dahlan Jakarta sebagai pusat studi bersama dengan lembaga lain seperti Udayana Central Bali, Tobacco Control Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Muhammadiyah Tobacco Control Center Universitas Muhammadiyah Magelang dan Tobacco Control Support Center (TCSC), serta Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) telah rutin dalam 3 tahun terakhir ini melakukan pemantauan harga rokok di pasaran sebagai salah satu kontribusi dari lembaga dan kelompok akademisi untuk terlibat dalam upaya pengendalian konsumsi rokok di Indonesia melalui strategi monitoring.
Pemerintah Indonesia juga secara rutin melakukan survei untuk memantau prevalensi konsumsi rokok, seperti Rise