Tapanuli Selatan (ANTARA) - Itu pengakuan salah satu Tokoh Masyarakat Kelurahan Rianiate, Kecamatan Angkola Sangkunur, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Jalal Nasution kini berumur 63 tahun.
"Rumah saya dirikan (tempati-red) di Rianiate Tahun 1995 dan hingga sebelum 2022 tak pernah merasakan banjir," kata dia memulai cerita kepada ANTARA via selular.
Hanya saja setelah tahun 2002, masyarakat Rianiate dan sekitarnya merasakan banjir dipicu meluapnya sungai terbesar di Tapsel yakni Sungai Batang Toru.
"Sejak 2002 hingga 2022 mulai lah Sungai Batang Toru rata-rata setiap tahun kerap 'mengamuk' dan merendam rumah-rumah di hilir sungai," kata dia.
Ia menyatakan amukan Sungai Batang Toru itu tidak saja saat tingginya curah hujan melanda wilayah itu, akan tetapi terkadang banjir kiriman dari hulu sungai bagian Utara.
"Lupa bulan nya atau mungkin tahun 2011 ya..., beberapa bulan Gatot Pujo Nugroho diangkat Pj Gubernur Sumut meninjau banjir ke Rianiate saya sudah sampaikan," katanya.
Bahwa banjir dampak terjadinya pendangkalan dasar Sungai Batang Toru itu. Saat itu jawaban Pak Gatot "Kita (pemerintah-red) akan perhatikan," kata Jalal.
Sayangnya angin segar akan perhatian terhadap Sungai Batang Toru demi rakyat itu tidak kunjung terealisasi hingga saat ini.
"Kami masyarakat awam ini tidak punya kekuatan, selain mengeluh, dan merasakan dampak banjir. Hanya pasrah serta berdoa kepada Yang Maha Kuasa dijauhi dari mala petaka," ucapnya lirih.
Banjir Tapsel akibat meluapnya Sungai Batang Toru dipicu intensitas hujan deras sepakan terakhir ini telah merendam ratusan Rumah di Lingkungan I Rianiate, Angkola Sangkunur di kabupaten itu.
Tugas bersama menjaga bumi
Salah satu Pengamat Lingkungan, Koesnadi yang pernah bekerja di Kementerian LHK RI mengatakan Bumi sudah semakin tua, dan 20 tahun terakhir bencana dimana-mana.
"Apalagi pertengahan 2020 di Indonesia musim hujan mengalami lebih awal. La Nina berdampak curah hujan yang tinggi baik di dan luar Pulau Sumatera, termasuk dampak banjir Tapsel," ujarnya.
Tingginya intensitas pembukaan lahan untuk pertanian oleh masyarakat, untuk aktivitas perusahaan sedikit banyak akan mempengaruhi pendangkalan sungai meski ada upaya reboisasi kembali.
"Yang jelas ketika terjadi pembukaan lahan pasti lah terjadi erosi terjadi sedimentasi yang muaranya terjadi pendangkalan sungai," jelasnya.
Ketika sungai dangkal maka debit air yang di tampung tidak lagi se ideal 20 tahun yang silam. Nah, masyarakat juga harus sadar, petani, nelayan, perusahaan diminta harus sama-sama menyadari itu.
"Tidak bisa menyalahkan satu pihak. Harus ada kesadaran bersama atau kolaborasi untuk bertanggungjawab," katanya
Namun bagaimana yang daerah aliran sungai yang dangkal itu bisa di keruk (normalisasi). Itu tugas PUPR dan Pengairan atau pihak-pihak terkait.
"Daerah Aliran Sungai Ciliwung tidak saja terjadi pendangkalan tetapi penyempitan. Sekarang di normalisasi pengerukan pendangkalan dan pengerukan penyempitan," ia mencontohkan.
Upaya untuk mengantisipasi agar debit air Batang Toru yang ideal itu bisa di tampung kembali sebagaimana harapan Tokoh masyarakat Jalal Nasution harus dilakukan reboisasi atau pemulihan lahan-lahan kritis yang terjadi sekitar DAS Batang Toru.
"Pemerintah Daerah yang menggerakkan. Bukan serimonial ya, ngak bisa pemerintah daerah hanya meminta petani tetapi harus terencana, terintegrasi dan sistematis mana daerah-daerah yang akan dibuka kembali (konservasi aliran sungai),"katanya.
Dari Jakarta Koesnadi kepada ANTARA menyatakan, ini momentum dimana Bumi ini sudah banyak memberikan hasil untuk manusia, manusia juga harus menjaga bumi agar alam menjaga manusia dan tidak terjadi bencana.