Jakarta (ANTARA) - Pendaki muda Indonesia berbagi cerita dan pengalamannya saat menaklukkan tujuh puncak gunung tertinggi di dunia atau yang dikenal dengan sebutan Seven Summits.
Seven Summits adalah meliputi Puncak Carstensz di Pegunungan Jaya Wijaya Indonesia dengan ketinggian 4.884 mdpl, Vinson Massif di Antartika (4.897 mdpl), Elbrus di Rusia (5.642 mdpl), Kilimanjaro di Tanzania (5.895 mdpl), Aconcagua di Argentina (6.962 mdpl), Denali di Alaska (6.194 mdpl) dan Everest di perbatasan Nepal dan Tibet (8.848 mdpl).
Dalam webinar ‘Gue Muda’ dengan tema Pengalaman dan Persiapan Pendakian Gunung Es, Rabu, Fransiska Dimitri, perempuan pertama Indonesia yang berhasil mencapai Seven Summits, menuturkan bahwa untuk mencapai ketujuh puncak gunung tersebut bukan sesuatu yang mudah dan murah. Selain fisik dan mental, juga harus siap secara finansial.
Baca juga: Sandal gunung trendi bisa dipakai bukan cuma untuk mendaki
Dalam mempersiapkan fisik dan mental, Fransiska rutin melakukan latihan single rope technique (SRT), latihan beban, berlari, latihan memanjat tebing serta berlatih mendaki. Selain itu, pengetahuan tentang musim pendakian juga penting untuk kita mengatur manajemen pendakian.
Dia juga menyampaikan pentingnya pengumpulan informasi tentang medan yang akan ditempuh.
"Pengumpulan informasi meliputi rute, referensi, medan, risiko ancaman dan kecelakaan, risiko penyakit, hingga pembagian tugas dalam tim pendaki," tutur Fransiska dalam siaran pers yang diterima di Jakarta.
Untuk biaya, Fransiska harus mengeluarkan biaya sekitar Rp5 miliar untuk menyelesaikan ekspedisi Seven Summits.
"Kami awalnya berempat, lalu berkurang menjadi tiga orang, sampai berkurang lagi menjadi dua orang yang menyelesaikan ekspedisi, total menghabiskan biaya sekitar Rp5 miliar," kata dia.
Seven Summiter Indonesia lainnya, Nurhuda, juga menceritakan pengalamannya menaklukkan puncak gunung di Antartika. Ia menyebut bahwa selain fisik, mental, dan finansial, tantangan utama pendaki mencapai Seven Summits adalah cuaca yang tidak dapat diprediksi.
"Tidak bisa kita tentukan kapan bisa melanjutkan ke puncak. Harus based on forecast atau ramalan cuaca. Kalau cuaca buruk kita sama sekali enggak bisa kemana mana," ungkap Nurhuda.
Nurhuda menyarankan apabila ingin pergi mendaki ke Antartika maka perlu membawa beberapa peralatan penting, seperti high altitude mountaineering boots, sled, duffle bag, down suit, google eyes, mitten glove, dan ice axe.
Nurhuda juga membagikan pengalamannya mendaki Everest ketika dirinya bersama tim harus menerapkan cache and carry sebelum mencapai puncak.
Cache and carry adalah sistem pendakian untuk pendaki yang akan naik turun membawa sebagian logistik untuk ditimbun. Sistem seperti ini berguna untuk mengatasi jumlah barang bawaan yang banyak pada sebuah eskpedisi sekaligus upaya untuk ber-aklimatisasi.
"Aklimatisasi sangat penting. Dari basecamp pendaki harus ber-aklimatisasi sekitar dua minggu, tergantung cuaca dan kondisi kesehatan si pendaki," tuturnya.
Berbeda dengan Fransiska, biaya ekspedisi Seven Summits yang dikeluarkan Nurhuda dan timnya lebih besar karena jumlah tim yang lebih banyak.
“Kami 10 orang termasuk media menghabiskan biaya sekitar Rp10 miliar. Memang besar, makanya penting untuk membuat tim pendukung yang bisa membantu mencari sponsor. Juga perlu bekerjasama dengan media,” tutup dia.