Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 telah melanda Indonesia dan seluruh dunia selama lebih dari 1 tahun lamanya. Upaya pencegahan dan pengobatan COVID-19 telah banyak dilaporkan dan terus berkembang seiring bertambahnya gejala dan varian virus tersebut.
Sesuai rekomendasi Centers for Disease Control and Prevention (CDC), masker ganda (double mask) wajib digunakan saat beraktivitas di luar rumah dan ketika ada potensi melakukan kontak dengan penderita COVID-19 yang seringkali tak bergejala. Selain itu semua orang juga wajib melaksanakan protokol kesehatan sesuai anjuran Kementerian Kesehatan.
Sebagai bagian dari masyarakat, kita tentunya harus ikut bertanggung jawab penuh atas keselamatan diri sendiri dan penduduk Indonesia bahkan dunia.
Baca juga: AstraZeneca realisasikan pengiriman 14,7 juta vaksin untuk Indonesia
Terkait dengan gejala awal, ada sejumlah keluhan yang memang identik dengan COVID-19 seperti demam, batuk, radang tenggorokan, rasa mual, hingga sesak napas. Namun ada satu keluhan pada mata diremehkan dan tidak dianggap sebagai gejala awal COVID-19. Lantas keluhan seperti apa yang harus kita waspadai sebagai gejala awal COVID-19 dan apakah gejala pada mata terkait COVID-19 berbeda pada kelompok usia anak-anak, dewasa, maupun lansia?
Dokter spesialis mata dari Universitas Airlangga dr Sekar Ayu Sitoresmi, Sp.M, M.Ked.Klin melalui keterangannya memaparkan sejumlah kondisi terkait keluhan pada mata yang rupanya menjadi salah satu gejala awal kasus COVID-19 ini.
Para ahli sudah sejak lama memaparkan bahwa gejala COVID-19 sangatlah bervariasi, namun yang tersering adalah gangguan saluran pernafasan sehingga sebagian besar pasien dengan gejala berat mengalami sesak nafas, dan meninggal karena gagal nafas. Meskipun transmisi virus SARS-CoV-2 melalui mata sangat rendah, namun penelitian yang dilakukan Muyldermans, et al. menyebutkan bahwa pada 26,9 persen sampel air mata pasien COVID-19 tanpa manifestasi pada mata ditemukan RNA virus SARS-CoV-2.
Sementara pada penelitian lain yang dilakukan oleh Wong, et al., ditemukan virus SARS-CoV-2 pada sepertiga swab konjungtiva pasien COVID-19 dengan manifestasi mata.
Baca juga: Indonesia kembali terima dukungan vaksin dari AS, Jepang
"Kesimpulannya, meskipun tidak didapatkan gejala pada mata terkait COVID-19, mata tetap berpotensi menjadi pintu masuk penularan virus SARS-CoV-2," ujar Sekar Ayu.
Hal ini disebabkan karena kornea dan konjungtiva pada mata memiliki reseptor Angiotensin Converting Enzyme-2 (ACE-2) yang merupakan target dari virus SARS-CoV-2, tambah Ayu.
Ayu mengungkapkan bahwa sejumlah penyakit mata yang dapat dijumpai pada penderita COVID-19 dari yang paling sering sampai paling jarang dijumpai antara lain; konjungtivitis, keratitis, Bull’s eye maculopathy, dan drug induced uveitis.
"Manifestasi COVID-19 pada mata yang tersering adalah konjungtivitis, atau radang selaput lendir mata, yang tidak jarang disertai pula dengan radang selaput bening mata (keratitis). Seperti yang telah disebutkan, hal ini disebabkan karena kornea dan konjungtiva memiliki reseptor ACE-2 yang merupakan target dari virus SARS-CoV-2," jelas Ayu.
Adapun gejala-gejala yang harus kita waspadai terkait konjungtivitis, keratitis, maupun keratokonjungtivitis adalah mata merah, bengkak pada selaput lendir maupun kelopak mata, silau dan sulit membuka kelopak mata, mata terus mengeluarkan air mata atau kotoran mata.
Gejala ini dapat muncul mendahului atau beberapa hari setelah mengalami gejala-gejala COVID-19 lainnya, seperti hilangnya penciuman, batuk, pilek, sesak, diare, dan lain sebagainya. Gejala pada mata dapat timbul pada seluruh kelompok usia mulai anak-anak sampai lansia, pada penderita baru maupun yang telah beberapa hari mengalami gejala COVID-19 lainnya, juga pada penderita long COVID-19 yang masih dapat mengalami gejala-gejala tersebut sampai lebih dari 2 minggu.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan bila mengalami keluhan pada mata saat isolasi mandiri?
"Pada gejala yang ringan, kita dapat memberikan tetes air mata buatan (artificial tears) yang bisa didapatkan di toko obat terdekat, karena pada dasarnya radang selaput lendir yang disebabkan karena virus dapat sembuh sendiri," jelas Ayu.
Namun Ayu menambahkan apabila gejala yang dialami pasien termasuk berat dan sangat mengganggu aktivitas karena nyeri maupun gangguan penglihatan, manfaatkan fasilitas konsultasi online (telemedisin) dengan dokter spesialis mata (dalam hal ini adalah teleoftalmologi) dari klinik mata maupun rumah sakit yang menyediakan fasilitas tersebut.
Selain kaitannya dengan penyakit COVID-19, banyak sekali aspek kesehatan mata yang terdampak oleh pandemi COVID-19 yang bahkan telah dinyatakan sebagai ancaman untuk kesehatan masyarakat akibat penggunaan perangkat digital atau gawai di era pandemi, baik itu untuk sekolah, bekerja, membaca berita di internet dan menonton film, yaitu digital eye strain (mata lelah) dan dry eye syndrome (sindroma mata kering).
Digital eye strain sering juga disebut dengan computer vision syndrome, yang disebabkan karena kelelahan otot-otot akomodasi mata akibat bekerja dalam jarak dekat dalam waktu yang lama.
Gejala yang timbul pada orang dewasa antara lain penglihatan kabur, mata terasa lelah, hingga pusing atau nyeri kepala, sementara anak-anak biasanya memicingkan mata, mengucek-ucek mata, dan mendekatkan atau menjauhkan mata dari layar.
Digital eye strain dapat dicegah dengan membatasi screen time, atau waktu yang kita habiskan di depan layar per hari selama dua hingga empat jam sehari, dan pada anak-anak, batasi screen time sesuai rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia).
Pencegahan juga dapat kita lakukan dengan melakukan sistem 20-20-20 saat bekerja menggunakan perangkat digital. Sistem ini dilakukan dengan cara istirahat 20 detik, setiap 20 menit, dengan melihat sejauh 20 kaki (6 meter).
"Latihan ini penting dibiasakan untuk mencegah mata lelah, karena pada jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan peningkatan jumlah penderita rabun jauh dan ukuran kacamata minus," jelas Ayu.
Pada sindroma mata kering, gejala yang lazim dialami antara lain rasa kering, pedih, panas, gatal, maupun mata berair. Hal ini disebabkan karena berkurangnya frekuensi berkedip seseorang saat menggunakan perangkat digital dan diperberat dengan berada di ruangan ber-AC.
Bila mengalami gejala sindroma mata kering yang ringan, kita dapat meneteskan tetes air mata buatan secara rutin untuk memperbaiki fungsi lapisan air mata kita, namun bila keluhan dirasa sangat mengganggu, berkonsultasilah kepada dokter spesialis mata untuk mendapatkan pengobatan yang lebih baik.
Oleh sebab itu janganlah meremehkan kesehatan mata pada masa pandemi ini. Perhatikan kondisi mata Anda, karena lebih baik mencegah daripada mengobati.
Dari COVID-19 lalu masuk ke mata
Jumat, 16 Juli 2021 11:06 WIB 709