Jakarta (ANTARA) - Setelah menang 5-0 melawan RB Leipzig dalam pertandingan grup Liga Champions dan tak kebobolan dalam dua pertandingan terakhir, manajer Ole Gunnar Solksjaer dan bek Victor Lindelof sama-sama yakin Manchester United tengah mencapai keseimbangan dan menemukan ritmenya.
Lebih dari tiga pekan lalu setelah diluluhlantakkan 1-6 Tottenham Hotspur, Setan Merah dianggap sudah habis oleh banyak kalangan dan kata krisis pun dilabelkan kepada mereka.
Manakala Solskjaer ngotot menurunkan lagi kapten Harry Maguire untuk melawan Newcastle United, suara sumbang serempak mencibir keputusan itu.
Baca juga: Bek Manchester United Alex Telles terpapar COVID-19
Bagaimana bisa biang keladi kebobolan banyak gol Setan Merah dan juga faktor di balik tumbangnya Inggris di tangan Denmark tetap ditunjuk menjaga benteng yang tak bisa dia jaga dengan baik bahkan nyaris dikoyak tim sekecil Brighton.
Ternyata yang terjadi di St James' Park membantah semua cibiran dan segala keraguan.
Sang kapten menjawab langsung segala omongan miring kepada dia dengan mengawali pesta gol 4-1 pada menit ke-23 atau 20 menit setelah bunuh diri Luke Shaw yang sempat menguatkan dugaan bahwa Setan Merah lagi ditimpa krisis.
Baca juga: Raheem Sterling dijagokan untuk pecahkan rekor gol Manchester City
Maguire lagi dirundung masalah di luar lapangan akibat insiden di Yunani, balik mencibir mereka yang menganggap United sedang krisis.
"Gila!", kata dia kepada Sky Sports ketika ditanya apakah MU sedang krisis.
Dia melanjutkan, "baru juga empat pertandingan sudah disebut krisis besar, cuma gara-gara dua kali kalah dari empat laga."
Melawan Newcastle itu MU tak membumbui kemenangannya dengan gol penalti yang selama ini menjadi bahan ejekan termasuk oleh pelatih Spurs Jose Mourinho yang menyebut Setan Merah terus-terusan diuntungkan penalti.
Banyak kalangan tetap menganggap remeh kemenangan atas Newcastle itu karena lawan dianggap lebih lemah.
Namun di Parc des Princes di Paris, tiga hari setelah itu pada 21 Oktober, MU membuktikan hasil di St James' Park itu bukan karena skala lawan, melainkan karena keadaan domestik United yang perlahan menanjak, mulai dari strategi lapangan sampai performa pemain.
Menang 2-1 melawan Paris Saint Germain yang finalis Liga Champions musim lalu dalam kompetisi seangker Liga Champions adalah jawaban bahwa ini bukan lagi soal kebetulan.
Okelah kemenangan itu terjadi setelah strategi meredam tekanan lawan dengan cara menumpuk pemain di daerah pertahanan sendiri. Tetapi itu kan bagian dari strategi agar menang.
Lagi pula statistik pertandingan menunjukkan baik MU maupun PSG sama-sama melepaskan 14 percobaan gol.
Dan fakta PSG cuma bisa mengandalkan gol bunuh diri Anthony Martial telah menyimpulkan pejalnya barisan belakang United ketika mereka dibombardir oleh trio predator paling ganas di Eropa: Neymar, Kylian Mbappe, dan Angel di Maria.
Berikut: Gonta ganti formasi
Gonta ganti formasi
Gol penentu kemenangan dari Marcus Rashford juga menyiratkan tajamnya barisan serang United sekalipun menghadapi kiper sekaliber Keylor Navas dan bek-bek tangguh seperti Presnel Kimpembe dan Layvin Kurzawa.
Saat itu Solksjaer kembali bereksperimen dengan memasukkan pemain baru atau pemain non reguler Alex Telles dan Axel Tuanzebe.
Para pemain MU bekerja disiplin, tenang dan sabar menunggu peluang. David de Gea juga masih jauh disebut sudah mendekati ujung karirnya karena berulang kali mementahkan peluang-peluang emas PSG.
Barisan tengah dan pertahanannya cerdas membaca waktu untuk memutuskan kapan harus turun dan kapan harus naik. Mereka menjadi lebih berani bertarung mengendalikan tempo permainan.
Tuanzebe bahkan disiplin mempersempit gerak duo bomber Neymar-Mbappe. Tetapi begitu ada kesempatan turut membangun serangan.
Orkestra Paris berlanjut di Old Trafford ketika Chelsea menjajal Setan Merah dalam pertandingan liga.
Tak lagi memasang 3-4-1-2 yang efektif meredam Neymar-Mbappe-Di María, Solskjaer kembali menurunkan formasi baru dan komposisi pemain yang berbeda.
Sekali lagi, terutama barisan pertahanannya, efektif menjinakkan trisula maut Chelsea yang terdiri dari Hakim Ziyech, Timo Werner dan Kai Havertz. Front-three Chelsea ini tak kalah berbahaya dari trio bomber PSG yang sudah mereka jinakkan di Paris sebelumnya.
Tak hanya itu, untuk kesekian kalinya United memamerkan skema serangan balik mematikan.
Rashford, Mason Greenwood dan Edinson Cavani, selain para gelandang mulai Juan Mata sampai Bruno Fernandes, bisa sangat menyengat.
14 percobaan gol mereka ciptakan dalam laga di Old Trafford itu, sedangkan Chelsea cuma bisa mengirim 4 percobaan gol. Hanya karena Edouard Mendy yang tangguh mengawal gawang Chelsea yang membuat United tak bisa mengonversi peluang-peluang itu.
Kemudian pada pertandingan terakhirnya Kamis dini hari lalu, Solksjaer kembali memasang formasi yang berbeda saat menjamu RB Leipzig.
Rashford, Fernandes, dan Scott McTominay disimpan di bangku cadangan.
Greenwood diturunkan lagi sebagai starter, demikian pula Paul Pogba, sedangkan Donny van de Beek membuat debut sebagai starter di luar pertandingan Piala Liga. Pertahanan tetap menjadi otoritas Aaron Wan-Bissaka, Maguire, Lindelof dan Shaw.
Lagi-lagi pertahanan Setan Merah sulit ditembus tim Jerman yang tengah memuncaki klasemen Bundesliga itu.
Dan itu memberi kepercayaan besar kepada para gelandang dan striker untuk fokus gentayangan di separuh lapangan berikutnya.
Tetap bertumpu pada serangan balik, Solskjaer yang telah menggunakan empat sistem berbeda dalam empat laga berturut-turut, menempatkan pemain-pemainnya dalam posisi yang sabar menunggu lawannya yang agresif itu untuk membuat kesalahan, persis kala menghadapi PSG.
Kali ini di Old Trafford, United sudah tahu betul bagaimana mengeksploitasi kedahsyatan barisan serangnya.
Pogba dengan cerdas mengumpan Greenwood yang bergerak cepat untuk menciptakan gol pembuka. Setelah gol ini United kembali memancing Leipzig membuat kesalahan dan dibuat terlena oleh keasyikan meneror pertahanan Setan Merah.
Namun begitu Solskjaer memasukkan McTominay, Rashford dan Fernandes. Kelengahan Leipzig karena fokus menyerang menjadi malapetaka. Empat gol tambahan pun tercipta yang tiga di antaranya disarangkan Rashford, semuanya dari permainan terbuka.
Dan kemenangan besar 5-0 atas Leipzig itu bisa menyimpulkan Solskjaer telah sukses menarik pelajaran dari kekalahan mengerikan 1-6 dari Tottenham. Ternyata kekalahan itu bukanlah akhir, melainkan awal dari langkah baru.
Solskjaer juga yakin dia telah memiliki skuad yang merata kualitasnya. Dia bisa mengubah-ubah sistem sekaligus bongkar pasang pemain sampai lama kelamaan memiliki kualitas hampir sama.
Keputusannya memasang McTominay, Rashford dan Fernandes sebagai cadangan yang ditempuh sebagai persiapan menghadapi Arsenal Minggu pekan ini, berbuah sukses.
Sejak menang melawan Newcastle, United bisa dibilang berhasil dalam metode gonta ganti sistem dan bongkar pasang pemain yang ternyata memberi kesempatan besar kepada Solksjaer untuk terus memberikan waktu bermain yang cukup kepada seluruh anggota skuad serta menilai kelebihan dan kekurangan pemain-pemainnya.
Agaknya inilah misi utama Solksjaer terus gonta ganti formasi tim, terlebih pada musim ini ketika jadwal pertandingan menjadi padat dan melelahkan bagi pemain akibat kacaunya jadwal event-event sebelumnya gara-gara pandemi sehingga tak bisa terus menurunkan pemain yang itu-itu saja.
Dengan rotasi pemain seperti ini semua pemain pun menjadi siap diturunkan, mengurangi kesenjangan kualitas antar pemain inti dan cadangan, serta menghindarkan ketergantungan kepada pemain bintang manakala cedera.
Ini persis terjadi pada Liverpool dan Manchester City sekarang atau saat masa keemasan Setan Merah ketika di bawah asuhan Sir Alex Ferguson.
Solksjaer yang kerap menjadi pemain pengganti semasa Sir Akex itu tahu betul bahwa kala itu United adalah tim yang merata kekuatannya. Inilah yang mungkin hendak dikembalikan Solksjaer ke tim MU saat ini.
Namun metode ini masih perlu pembuktian lagi kala melawan tim-tim besar Liga Inggris termasuk Arsenal akhir pekan ini, setelah cuma bisa memetik 0-0 melawan Chelsea.
Jika hasil laga melawan Arsenal nanti berpihak kepada United maka Setan Merah memang mungkin telah mencapai ekuilibriumnya.
Seandainya tren itu berlanjut, maka Solksjaer tidak salah mengatakan bahwa MU sudah memiliki kedalaman skuad yang artinya baik pemain inti maupun pemain pelapis sama-sama berkualitas seperti era Sir Alex dulu.
Tetapi jika pertandingan melawan Arsenal itu malah memberi luka lagi kepada United, maka Solksjaer terlalu cepat menilai diri.