Jakarta (ANTARA) - Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Selasa, melemah seiring masih besarnya sentimen ketegangan dagang Amerika Serikat dan China.
"Mata uang negara berkembang cenderung melemah seiring masih besarnya sentimen hindar aset berisiko dibalik memburuknya ketegangan dagang AS-China pasca kedua negara tersebut menaikkan tarif impor," kata Kepala Riset Monex Investindo Future Ariston Tjendra di Jakarta, Selasa.
Terpantau, rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa pagi bergerak melemah sebesar 24 poin atau 0,17 persen menjadi Rp14.218 per dolar AS dibanding posisi sebelumnya Rp14.194 per dolar AS.
Ariston mengemukakan, ketegangan perang dagang kembali memanas setelah AS menaikkan barang-barang dari China sebesar 15 persen dan China juga membalas dengan menaikkan tarif minyak mentah AS.
Selain itu, lanjut dia, penguatan dolar AS juga ditopang oleh meningkatnya tekanan jual pada mata uang euro yang disebabkan tingginya ekspektasi bahwa Bank Sentral Eropa (ECB) akan melakukan pelonggaran moneter serta ketidakpastian kepergian Inggris dari Uni Eropa (Brexit).
Selanjutnya, ia mengatakan, pasar akan menantikan perilisan data-data ekonomi AS mulai dari data Manufaktur hingga data penggajian non pertanian (non farm payrolls/NFP) versi ADP (Automatic Data Processing).
"Jika data ekonomi AS mengalami perbaikan maka dolar AS akan mempertahankan penguatannya dalam beberapa hari kedepannya," katanya.
Sementara sentimen dari dalam negeri, menurut Ariston, relatif kondusif setelah data inflasi Agustus yang relatif terjaga.
"Data inflasi Agustus yang terjaga menahan tekanan rupiah lebih dalam," katanya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Agustus 2019 terjadi inflasi sebesar 0,12 persen. Dengan demikian, laju inflasi tahun kalender Januari-Agustus 2019 tercatat sebesar 2,48 persen dan inflasi tahun ke tahun (yoy) sebesar 3,49 persen.