Samosir (ANTARA) - Pascabencana alam banjir Desa Buntumauli yang terjadi pada 3 Mei 2019 , Kepala UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah XIII Doloksanggul Benhard Purba bersama dengan tim melakukan kunjungan lapangan dan mengamati kondisi di sekitar daerah terdampak.
Melalui kajian dan analisis yang dilakukan secara spasial menggunakan data topografi serta mempelajari data kejadian bencana alam banjir bandang di lokasi yang sama sebagaimana dilaporkan Badan Geologi pada tahun 2010, ternyata bagian hulu sampai curaman Danau Toba khususnya Desa Buntu Mauli merupakan zona dengan tingkat kerentanan tinggi.
"Gerakan tanah yang terjadi terus menerus, secara topografi telah membentuk kubah atau cekungan yang jenuh air, sehingga secara teori sangat mungkin memiliki tekstur tanah bergambut," terang Benhard dalam siaran pers yang diterima Antara, Minggu (16/6).
Kehadiran Benhard beserta tim di lokasi tersebut bertujuan untuk mengumpulkan data-data demi mengetahui penyebab banjir yang disebut telah diakibatkan oleh aktifitas penebangan liar di bagian hulu sebagaimana kabar yang beredar di masyarakat.
Baca juga: Pemkab Samosir siapkan langkah pemulihan desa terdampak bencana
Hasil kunjungan lapangan yang dilakukan tidak berapa lama pasca terjadinya banjir, Benhard menyampaikan bahwa selain material lumpur dan bebatuan yang terbawa bencana banjir bandang juga ditemukan pohon-pohon tumbang serta bongkol kayu yang sebagian sudah mengalami pelapukan di sepanjang aliran yang dilalui banjir bandang.
Pada saat itu, Benhard juga mengaku telah memerintahkan stafnya untuk menelusuri kawasan di sekitar Ulu Darat dengan mencoba akses masuk dari Parsingguran Kecamatan Pollung, Humbanghas untuk memastikan ada tidaknya penebangan yang terjadi serta menyambangi masyarakat yang menjadi korban bencana alam banjir.
"Alhasil, tidak ditemukan adanya penebangan di daerah sekitarnya dan juga tidak bisa ditembus sampai ke bagian hulu aliran karena lokasi Ulu Darat masih merupakan hutan lebat dengan topografi yang bergelombang serta sulit dilalui," jelasnya.
Menanggapi keberadaan izin pemanfaatan yang santer disebut di beberapa media berdampak pada bencana alam banjir bandang, Benhard menjelaskan bahwa secara topografi daerah Tele merupakan batas pemisah punggung bukit yang memisahkan daerah tangkapan air ke Sungai Aek Silang ke arah utara dan Sungai Lae Renun ke arah selatan dan barat.
Berdasarkan hal tersebut, Benhard menilai bahwa kejadian banjir bandang diduga berasal dari bagian hulu curaman di sekitar Ulu Darat karena tidak satupun ditemukan kayu yang tampak seperti bekas penggergajian bekas penebangan.
Sementara, dari lokasi izin pemanfaatan ataupun indikasi penebangan tanpa izin di "enclave" Sitonggi-tonggi yang masih dalam penyelidikan Tim Gakkum KLHK memiliki ketinggian tempat yang lebih rendah dari curaman Danau Toba, sehingga tidak bisa dikatakan berdampak langsung sebagai penyebab terjandinya banjir bandang di Desa Buntu Mauli.
"Apabila dikaitkan dengan bencana alam banjir bandang, maka yang terdampak lebih dahulu mestinya mengarah ke Sungai Aek Silang dan Aek Pollung di wilayah Kabupaten Humbahas karena lokasi Sitonggi-tonggi lebih rendah dari bagian hulu curaman Danau Toba dengan jarak terdekat ke curaman sekitar kurang lebih 3 km," jelas Benhard.
Dikatakan, hal itu dibuktikan dengan keberadaan material lumpur banjir yang dipenuhi serat-serat kayu yang sudah mengalami pelapukan sesuai hasil identifikasi di lapangan.
"Sesuai informasi yang kami terima dari masyarakat, sebelum kejadian bencana alam banjir bandang, hujan lebat turun di awali dengan bongkahan bongkahan es dan dugaan kemungkinan kubah di bagian hulu tidak mampu lagi menahan air dan meluap lalu mengakibatkan banjir bandang ke aliran curaman menuju Desa Buntu Mauli," jelas Benhard.
Sementara itu, menurut Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Barumun Dustirawan, ada beberapa faktor penyebab terjadinya bencana alam banjir di Desa Buntu Mauli yakni curah hujan sedang lebih kurang 50 mm/hari dibagian hulu menyebabkan luapan sungai rasang bosi menjadi penyebab utama terjadinya bencana banjir bandang.
Daerah tangkapan air Sungai Ransan Bosi seluas 313 ha yang memiliki kondisi topografi berbukit dengan kemiringan yang curam hingga sangat curam juga dinilai telah mempercepat aliran air permukaan mengalir deras ke sungai sehingga menyebabkan debit aliran menjadi tinggi.
Juga, kondisi tutupan lahan di DTA lokasi banjir yang terbuka sehingga daya dukung lahan sebagai fungsi hidro orologis DAS tidak dapat berfungsi secara baik untuk menahan, menghambat, dan meresapkan air hujan ke dalam tanah, sehingga air hujan yang jatuh ke tanah menjadi aliran air permukaan atau "run off" dan langsung mengalir ke sungai.
Serta, daerah sempadan sungai yang seharusnya menjadi kawasan fungsi lindung tidak berfungsi sebagaimana seharusnya.
Dustirawan juga mengimbau agar warga yang berada di sekitar wilayah itu tidak mendirikan rumah tinggal atau bangunan lainnya di sempadan sungai karena dapat membahayakan dari terjadinya banjir dan longsor.
Namun, berkaca akan kejadian bencana serupa ditahun 2010, BPDAS Barumun telah melakukan beberapa upaya dalam rangka peningkatan fungsi dan daya dukung DAS Asahan Toba dan telah menyusun rencana pengelola DAS terpadu yang menjadi acuan penanganan lahan bagi pemangku, dinas ataupun instansi yang terkait di wilayahnya.
Selain itu, BPDASHL Asahan Barumun sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya berkomitmen untuk terus berupaya menyelenggarakan program rehabilitasi hutan dan lahan melalui kegiatan reboisasi di dalam kawasan hutan maupun penghijauan di luar kawasan hutan.