Medan (ANTARA) - Sampai debat Pilpres 2019 kedua pada 17 Fabruari lalu, isu hubungan internasional atau politik luar negeri belum disinggung sama sekali, padahal politik luar negeri sama pentingnya dengan kebijakan domestik.
Pada debat yang hanya menghadirkan para Capres (Joko Widodo dan Prabowo Subianto) itu tema yang diangkat adalah terkait energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam, dan lingkungan hidup.
Tetapi memang pada jadwal yang telah diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), tema tentang hubungan internasional baru akan diangkat pada debat Pilpres 2019 keempat yang rencananya akan digelar pada 30 Maret 2019 dengan menghadirkan para Capres.
Sebelum itu, atau debat ketiga yang hanya akan menghadirkan para Cawapres (KH Ma’ruf Amin dan Sandiaga Salahudin Uno) akan berlangsung pada 17 Maret 2019 dengan mengangkat tema pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sosial dan budaya.
Sementara itu debat terakhir atau kelima yang belum ditentukan jadwalnya akan membahas tema ekonomi dan kesejahteraan sosial, keuangan dan investasi, perdagangan dan industri. Debat terakhir itu akan diikuti pasangan Capres-Cawapres.
Adapun debat pertama yang menghadirkan para Capres-Cawapres telah berlangsung pada 17 Januari 2019 dengan mengangkat tema hukum, hak asasi manusia, korupsi, dan terorisme.
Terkait tema hubungan internasional sebagai salah satu isu yang akan diangkat dalam debat Pilpres 2019 keempat pada 30 Maret 2019, tema tersebut sangat erat kaitannya dengan pelaksanaan Politik Luar Negeri RI.
Faktor-Faktor Berpengaruh
Politik luar negeri itu sendiri adalah komponen dari kebijakan politik nasional yang ditujukan ke luar. Dengan kata lain, politik luar negeri merupakan pencerminan dari kepentingan nasional yang ditujukan ke luar serta merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan nasional.
Mengingat situasi internasional selalu berkembang, pelaksanaan politik luar negeri suatu negara kerap mengalami perubahan. Bagaimana pun situasi internasional merupakan salah satu faktor yang harus diantisipasi dan diperhitungkan secara matang oleh setiap negara dalam rangka pelaksanaan poltik luar negerinya.
Perkembangan situasi internasional yang dinamis itu harus selalu diantisipasi oleh setiap negara agar pelaksanaan politik luar negerinya tidak menemui hambatan.
Dalam kaitan dengan politik luar negeri, K.J. Holsti, salah seorang pakar Hubungan Internasional dalam bukunya "International Politics: A Framework for Analysis" (1981:366) berpendapat, selain situasi internasional, faktor perilaku pemimpin (policy maker) mempunyai pengaruh yang besar dalam memberi warna terhadap politik luar negeri suatu negara.
Pendapat tersebut mungkin tidak sepenuhnya benar, namun pada banyak negara terlihat bahwa kebijakan luar negeri negara-negara yang bersangkutan kerap tampak sebagai taruhan politik dari pemimpin pemerintahannya.
Kebijakan-kebijakan yang dibuat bahkan cenderung dipengaruhi oleh motif-motif pribadinya, dan ini berkaitan erat dengan perilaku figur pemimpin yang memegang tampuk kekuasaan tersebut.
Kecenderungan seperti ini --menurut Hoslti-- pada dasarnya merupakan manifestasi dari kepribadian (personality) pemimpin yang bersangkutan.
Kepribadian itu sendiri adalah kecenderungan psikologik seseorang untuk berperasaan, berkehendak, berfikir, bersikap dan berbuat menurut pola tingkah pekerti tertentu.
Kepribadian tiap-tiap manusia bersifat khas, dan bagi seorang pemimpin, kepribadiannya terutama mewujud dalam gaya kepemimpinan yang khas, seperti kharismatis, pragmatis, demokratis atau otokratis.
Adapun ciri dari seorang pemimpin yang memiliki kepribadian teguh --dengan gayanya masing-masing-- antara lain memiliki rasa percaya diri (self relience) yang tebal, sikap yang tegas dan tindakan yang berani serta memiliki cita-cita atau --lebih ekstrim-- ambisi-ambisi (kepentingan) tertentu.
Kepribadian yang dimiliki pemimpin erat kaitannya dengan latar belakang pemimpin yang bersangkutan. Dalam kaitan ini pakar psikologi analisa yang terkenal, Sigmund Freud berpendapat bahwa dasar-dasar struktur kepribadian seseorang banyak ditentukan oleh pengalaman masa lalunya, terutama masa kanak-kanaknya.
Sementara itu di beberapa negara --menurut K.J. Holsti-- pemimpin pemerintahan kerapkali menggunakan ideologi sebagai alat pembenar dari tindakan-tindakannya, sekaligus sebagai rasionalisasi dan justifikasi terhadap kebijakan-kebijakan luar negeri yang dibuatnya (KJ Holsti: 1981, 373-374).
Ideologi secara definitif diartikan sebagai suatu sistem pemikiran mengenai teori politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan, dan sistem pemikiran ini menunjukkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat, di mana masyarakat itu sendiri dipengaruhi oleh hasil pemikiran tersebut.
Oleh karena menyangkut berbagai aspek kehidupan, baik politik, sosial, ekonomi maupun kebudayaan, di dunia ini dikenal bermacam-macam ideologi, antara lain ideologi Komunis, Sosialis, Fascis dan Liberal atau Kapitalis.
Masing-masing ideologi memiliki karakteristik yang berbeda. Ideologi Sosialis misalnya, menekankan aspek pemerataan, sedangkan ideologi Liberal atau Kapitalis menekankan aspek persaingan bebas.
Ideologi selalu memuat sistem nilai dengan segala simboliknya yang dianggap transendental dan dijadikan pedoman hidup oleh bangsa yang bersangkutan serta acapkali dijadikan pedoman asasi bagi pelaksanaan politik luar negerinya. Maka, dalam kaitan ini nasionalisme juga bisa dikatakan sebagai suatu ideologi.
Hanya saja perlu dicatat bahwa tidak sedikit regim yang berkuasa --khususnya di negara-negara berkembang-- menjadikan ideologi sebagai salah satu alat legitimasi bagi kebijakan-kebijakan yang dibuatnya.
Faktor lain yang tentu saja sangat berpengaruh terhadap perubahan kebijakan luar negeri suatu negara adalah ekonomi domestik atau keadaan ekonomi negara yang bersangkutan sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith dalam Paul A. Samuelson, "Economics, An Introductory Analysis" (1967:2).
Ekonomi domestik dalam artian yang umum adalah keadaan ekonomi nasional yang berkembang pada satu periode tertentu. Keadaan ekonomi amat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup atau eksistensi suatu negara, khususnya terhadap eksistensi regim yang berkuasa.
Berhasil-tidaknya perekonomian nasional bisa diamati dari beberapa indikator, antara lain tingkat pengangguran, laju pertumbuhan produksi, pendapatan per kapita, dan tingkat inflasi. Kondisi ekonomi domestik itu juga dipengaruhi oleh keadaan ekonomi internasional.
Kondisi perekonomian juga erat kaitannya dengan kondisi sosial, sebab tercapainya kesejahteraan sosial merupakan indikasi dari tercapainya kemajuan perekonomian nasional. Kesejahteraan sosial dimaksud misalnya cukup tersedianya sandang dan pangan serta sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan.
Suatu kondisi sosial yang buruk merupakan cerminan dari kekurang-berhasilan, bahkan mungkin kegagalan perekonomian nasional. Kalau kondisi ini sampai terjadi, besar kemungkinan bahwa pada akhirnya akan muncul ketidakstabilan politik dan keamanan.
Sebaliknya, tercapainya suatu stabilitas ekonomi adalah sangat memungkinkan bagi terciptanya stabilitas sosial, politik dan keamanan. Tercapainya stabilitas ekonomi bisa diamati dari beberapa indikator, antara lain tingkat pengangguran yang rendah, laju pertumbuhan produksi yang tinggi, pendapatan per kapita yang tinggi, dan tercapainya stabilitas moneter.
Jika Jokowi Menang
Berdasarkan apa yang dikemukakan terdahulu, tampak bahwa situasi internasional, ekonomi dalam negeri, dan kepribadian pemimpin maupun ideologi (sistem nilai) yang dianut akan banyak mempengaruhi arah politik luar negeri, termasuk tentunya politik luar negeri RI pada pemerintahan mendatang (2019-2024).
Pertanyaannya adalah, bagaimana arah politik luar negeri Indonesia pada Pemerintahan mendatang (pasca Pilpres 2019)? Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi-JK itu sendiri relatif berjalan baik, terutama karena tetap berpegang pada kebijakan politik luar negeri bebas aktif.
Jajaran Kementerian Luar Negeri RI terus menggelorakan perjuangan Indonesia untuk perdamaian dunia, mulai dari Palestina, Afghanistan hingga Myanmar. Upaya tersebut dilakukan, bukan semata-mata disebabkan Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, tetapi karena itu adalah amanat konstitusi.
Dalam Pembukaan UUD 1945 tertulis "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan".
Dalam kaitan ini, Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi menekankan adanya empat prioritas politik luar negeri Indonesia, yaitu melindungi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), melindungi warga negara Indonesia di luar negeri, mengintensifkan diplomasi ekonomi, dan meningkatkan peran Indonesia di panggung kawasan dan internasional.
Menurut Menlu Retno, perhatian politik luar negeri Indonesia pada 2019 juga tercurah pada keanggotaan Indonesia di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), di mana Indonesia menjabat sebagai anggota Tidak Tetap DK PBB periode 2019-2020.
Dengan kata lain, Pemerintahan Jokowi-JK terus berupaya mewujudkan politik luar negeri yang kolaboratif dan memberikan manfaat konkret bagi rakyat Indonesia.
Kinerja positif dari pemerintahan Jokowi-JK dalam pelaksanaan politik luar negeri antara lain penolakannya yang tegas terkait status Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel serta terbinanya hubungan yang relatif baik dengan negara-negara ASEAN dan negara-negara Asia Pasifik yang pertumbuhan ekonomi, terutama dari sektor pariwisata dan kemaritimannya sangat menjanjikan.
Selain itu Kementerian Luar Negeri di bawah kepemimpinan Menlu Retno Marsudi secara jelas menunjukkan keseriusannya dalam perlindungan WNI di luar negeri (meski dalam beberapa kasus mengalami kegagalan melindungi TKI bermasalah dari hukuman mati di Saudi).
Jika pasangan Capres Jokowi-Cawapres KH Ma'ruf Amin menang dalam Pilpres 2019, kebijakan dan pelaksanaan politik luar negeri seperti yang dijalankan selama empat tahun terakhir ini nampaknya akan dilanjutkan.
Hanya saja ke depan diperlukan adanya kehati-hatian dan kecermatan Jokowi selaku Kepala Negara terhadap isu domestik yang berdampak keluar. Memimjam istilah Menko Polhukam Wiranto, Presiden tidak boleh "grasa-grusu" dalam mengambil keputusan.
Sebagaimana dijelaskan terdahulu, faktor pemimpin dan keadaan di dalam negeri, termasuk isu domestik akan berpengaruh terhadap pelaksanaan politik luar negeri suatu negara.
Dalam kaitan ini, sebagaimana banyak diberitakan media massa nasional dan internasional belum lama berselang, pernyataan Presiden tentang rencana pembebasan Ustadz Abu Bakar Basyir yang terkesan "grasa-grusu" mendapatkan reaksi pro-kontra, terutama di luar negeri.
Pernyataan ini merujuk kepada wacana pembebasan terpidana kasus tindak pidana terorisme Ustadz Abu Bakar Ba'asyir yang tertunda lantaran membutuhkan pertimbangan dari sejumlah aspek terlebih dahulu.
Pernyataan lain yang mempunyai pengaruh kurang baik bagi hubungan antarnegara ialah adanya penggunaan istilah "Propaganda Rusia" yang dikemukakan Presiden yang juga Capres Jokowi belum lama berselang, menunjuk pada adanya penyebaran hoax dan kebohongan yang katanya dilakukan pihak lawan menjelang Pilpres 2019.
Meski Jokowi secara sangat jelas tidak menuduh Rusia bermain dalam urusan dalam negeri Indonesia, tapi penggunaan istilah "Propaganda Rusia" itu berkonotasi negatif, sehingga kemudian Dubes Russia untuk Indonesia Lyudmila Georgievna Vorobieva memberikan reaksi yang kurang senang terhadap penggunaan istilah itu.
Dubes Lyudmila Georgievna menegaskan, istilah "Propaganda Rusia" tidak berdasar dan bukan hal yang nyata. Dia menegaskan istilah itu tidak bersumber dari Rusia, melainkan buatan Amerika Serikat.
Menurut dia, istilah itu dibuat oleh Rand Cooperation pada tahun 2016 saat Amerika Serikat menyelenggarakan pemilu, dan istilah "Propaganda Rusia" tidak memiliki dasar di dunia nyata.
Khusus dalam hubungan bilateral dengan China, banyak pihak di dalam negeri mempertanyakan banyaknya tenaga kerja China yang masuk ke Indonesia seperti ke daerah Banten, Papua, dan Morowali Sulawesi Tengah, padahal di dalam negeri sendiri masih banyak tenaga kerja usia produktif yang belum mendapatkan pekerjaan.
Jika Prabowo Menang
Kembali ke tema pokok, bagaimana arah politik luar negeri RI pada pemerintahan mendatang, dalam hal ini jika Prabowo-Sandi menang pada Pilpres 2019?
Prabowo dalam beberapa kesempatan menegaskan bahwa politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif akan tetap menjadi pegangan dalam pelaksanaan hubungan antarnegara, baik secara bilateral maupun multilateral.
Politik luar negeri bebas-aktif itu sendiri secara historis merupakan pengejawantahan dari buah pemikiran Bung Hatta yang terangkum dalam karya legendarisnya dengan judul "Mendayung di antara dua karang".
Politik luar negeri bebas-aktif secara harfiah memiliki makna dasar sebagai suatu kondisi bebas dan tidak terikat, namun tetap bersikap aktif dalam konteks hubungan antar-bangsa, baik di tingkat regional maupun internasional.
Dalam konteks hubungan internasional, Prabowo, jika terpilih sebagai Presiden, tetap akan menjadikan politik luar negeri sebagai bagian penting yang harus dijalankan Pemerintah Indonesia. Kebijakan politik luar negeri yang baik dari Pemerintahan Jokowi-JK akan dilanjutkan, sedangkan kekurangannya akan diperbaiki.
Dalam kaitan ini, Rizal Darmaputra, anggota Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memaparkan strategi kebijakan luar negeri yang diusung oleh Capres dan Cawapres nomor 02.
Salah satu fokus kebijakan luar negeri mereka ke depan adalah keberlanjutan diplomasi Indonesia dengan dua raksasa ekonomi yang tengah terlibat perang dagang, yakni China dan Amerika Serikat.
Menurut Rizal, selama kebijakan China tidak merugikan rakyat Indonesia dalam artian tidak merebut lapangan atau kesempatan kerja warga lokal, maka Prabowo-Sandi menilai tidak akan ada masalah.
Di sisi lain, Rizal mengatakan, Prabowo-Sandi juga akan menjaga hubungan baikdengan Amerika. Meski kondisi AS dan China sedang tegang akibat perang dagang, namun Prabowo-Sandi tidak akan timpang dengan memprioritaskan satu negara saja.
Indonesia akan tetap menjalin hubungan baik dengan China sebagai negara besar di Asia dan AS sebagai negara adidaya di dunia. Indonesia akan tetap menjaga hubungan baik dengan keduanya. Baik dengan pihak Washington maupun Beijing, Prabowo sudah melakukan beberapa kali diskusi secarfa informal.
Selain itu, penguatan sistem pertahanan dengan kenaikan anggaran setiap tahun, menurut Rizal juga menjadi kebijakan yang akan dilakukan Prabowo-Sandi, selain juga akan membangun kedaulatan maritim yang tangguh dan kuat.
Figur Prabowo sendiri dikenal mempunyai "networking" (jaringan) luas di mancanegara. Prabowo tercatat pernah belajar di sekolah parakomando di Fort Bragg Amerika dengan predikat lulus terbaik sebagai siswa asing, bersama dengan Raja Yordania Abdullah II Ibnu al-Hussein, teman dekatnya di "Kampus Baret Hijau" di Amerika itu.
Setelah diberhentikan dari dinas militer, Prabowo menghabiskan waktu di Yordania dan di beberapa negara Eropa. Sekembalinya ke Indonesia, ia menekuni dunia bisnis, mengikuti jejak adiknya, Hashim Djojohadikusumo yang merupakan seorang konglomerat.
Sementara itu Sandiaga Uno adalah lulusan Wichita State University, Amerika Serikat, dengan predikat summa cum laude. Sandi mengawali karier sebagai karyawan Bank Summa pada 1990. Di Bank Summa, ia bertemu dan kabarnya berguru pada konglomerat William Soeryadjaya, pemilik Bank Summa.
Setahun kemudian ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Universitas George Washington, Amerika Serikat dan lulus dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 4,00, sebuah capaian akademis yang sempurna. Setelah itu ia menjadi pengusaha sukses dengan networking luas di luar negeri, meski sebelumnya pernah juga mengalami kegagalan.
Networking yang luas di dunia internasional nampaknya menjadi salah satu kelebihan Prabowo dan Sandiaga Uno. Tapi upaya memajukan ekonomi di dalam negeri adalah menjadi tantangan tersendiri yang tidak ringan.
Tantangan untuk memajukan ekonomi domestik serta untuk menghadapi dan menyiasati situasi internasional yang penuh dinamika memang menuntut kepiawaian seorang presiden dan wakilnya dalam menjalankan politik luar negeri dengan tetap berpedoman pada politik luar negeri bebas-aktif.
Tetapi langkah yang paling strategis adalah memastikan bagaimana Prabowo-Sandi memenangkan Pilpres nanti, sehingga kebijakan luar negeri Indonesia akan dapat dijalankan sesuai visinya yang antara lain mengembalikan peran aktif dan kepemimpinan Indonesia di panggung internasional.
Bagaimanapun, Pemerintah RI ke depan harus terus berupaya mempertahankan politik luar negeri bebas-aktif secara konsisten, dan pemerintah dituntut supaya melaksanakan politik luar negeri yang seluwes mungkin tanpa mengabaikan kepentingan nasional Indonesia.
*) Penulis adalah Pemred LKBN ANTARA 2016-2017 dan pernah bertugas sebagai Kepala Biro Kantor Berita ANTARA di New York tahun 1993-1998. Wartawan senior ini sejak dua tahun terakhir mendapat amanah sebagai salah satu penguji wartawan utama pada Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) serta menjadi Pembina pada Media Fakta Hukum Indonesia (FHI).
Arah politik luar negeri RI pasca-Pilpres 2019
Selasa, 26 Februari 2019 16:15 WIB 10423