Hadir dan diterapkannya sistem demokrasi di Indonesia menjadi harapan banyak orang untuk melahirkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas dan berintegritas.
Karena lewat sistem demokrasi akan terbuka kesempatan bagi setiap orang untuk menjadi pemimpin di lembaga eksekutif dan anggota legislatif.
Ada proses seleksi yang langsung melibatkan rakyat sehingga membuka peluang lahirnya pemimpin dan wakil rakyat yang teruji dan berkualitas.
Sekilas kita melihat pengertian demokrasi secara teoritis, menurut Robert A. Dahl adalah suatu sistem politik dimana anggotanya memandang antara yang satu dengan lainnya sebagai orang-orang yang sama dipandang dari segi politik dan mereka secara bersama-sama adalah berdaulat, dan memiliki segala kemampuan, sumberdaya, dan lembaga-lembaga yang mereka perlukan untuk memerintah diri mereka sendiri.
Demokrasi juga sangat identik dengan nilai-nilai kebebasan individu.
Lewat demokrasi diharapkan kehidupan masyarakat lebih baik karena masyarakat punya kedaulatan dan hak untuk menentukan siapa yang jadi wakil dan pemimpinnya.
Pemilu merupakan salah satu parameter dari penerapan sistem demokrasi, yang merupakan perwujudan bentuk kedaulatan rakyat.
Disetiap era pemerintahan Indonesia mulai dari era orde lama, orde baru, dan reformasi, sistem pemilu kita silih berganti.
Di era orde lama Pemilu di Indonesia pertama kali digelar yakni Tahun 1955. Pemilu pertama ini dinilai banyak orang sebagai Pemilu yang paling demokratis dan berkualitas, karena pertarungan ide gagasan dari setiap partai dan pilihan masyarakat berdasarkan ideologi jelas terlihat.
Di era orde baru kualitas demokrasi Indonesia sedikit banyak mulai diuji. Keterbatasan peran rakyat dan sulitnya mengemukakan pendapat di masa orde baru menjadi pemicu bangkitnya kesadaran berbagai elemen terutama kalangan intelektual dan mahasiswa untuk mengganti sistem pemerintahan saat itu. Dan puncaknya gerakan reformasi 1998.
Bayangan akan kesirnaan otoritarianisme menuju demokratisasi negara terwujud ketika “kran” kebebasan pers terbuka lebar, berlakunya otonomi daerah, dan hadirnya banyak partai politik yang menunjukkan kembalinya kedaulatan rakyat yang selama ini terbelenggu.
Seperti yang disebutkan diatas tadi salah satu parameter berjalannya demokrasi baik secara prosedural dan substansial adalah dengan melihat bagaimana sistem dan keberlangsungan pemilihan umum.
Di era reformasi, sejak tahun 2004 pemilihan anggota legislatif (DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota), Kepala dan wakil kepala daerah, Presiden dan Wakil Presiden, diselenggarakan secara langsung. Artinya keterlibatan rakyat dalam menentukan wakil dan pemimpinnya mulai meningkat.
Menjadi persoalan adalah, para calon pemimpin harus sadar bahwa mereka dipilih oleh rakyat. Dengan biaya yang sangat tinggi masyarakat berharap akan lahir para pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas dan berintegritas.
Sebelumnya coba kita lihat dulu biaya pemilu. Menurut data, penyelenggaraan Pemilu 2019 biayanya terbesar yakni Rp24,8 triliun, jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) KPU tercatat 185.732.093 (92.802.671 laki-laki dan 92.929.422 perempuan), tersebar di 805.075 TPS.
untuk memilih pasangan calon Presiden/Wakil Presiden, 575 anggota DPR RI (untuk 80 dapil), 136 anggota DPD RI (masing-masing 4 dari 34 provinsi), 2.207 anggota DPRD Provinsi (untuk 272 dapil) , dan 17.610 anggota DPRD Kabupaten/Kota (2.206 dapil) dalam satu waktu pada 17 April 2019.
Lantas bagaimana dengan rapot pemimpin-pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang langsung oleh rakyat?.
Dari segi integritas wakil rakyat dan pemimpin daerah, sedikit catatan di Tahun 2018 sebanyak 38 anggota DPRD Sumut Periode 2009-2014, 2014-2019 menjadi tersangka kasus suap oleh Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan ditahun-tahun sebelumnya dua Gubernur Sumatera Utara Yakni Syamsul Arifin, dan Gatot Pujo Nugroho harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Itu masih sebagian kecil kasus yang menimpa wakil rakyat dan kepala daerah di Indonesia, banyak lagi di daerah lain para wakil rakyat dan pemimpin daerah harus berurusan dengan lembaga anti rasuah tersebut.
Minimnya prestasi dan integritas para pemimpin dan wakil-wakil rakyat menunjukkan bahwa harapan masyarakat terhadap para calon pemimpin yang “bertarung” di Pemilu, dan Pilkada jauh dari harapan.
Persoalan ini harus segera diselesaikan. Semua pihak bertanggung jawab terutama kalangan intelektual dan generasi muda untuk turut memberikan pendidikan politik, penyadaran massal, dan penanaman idealisme.
Dengan langkah demikian semoga akan lahir sosok pemimpin yang memiliki jiwa kebangsaan kuat, bukan pemimpin yang berorientasi mengutamakan kepentingan pribadi, dan kelompoknya.
*) Penulis adalah Fotografer LKBN Antara Biro Sumatera Utara
Pemilu, lahirnya pemimpin dan harapan
Senin, 28 Januari 2019 13:07 WIB 4604