Oleh Heru Dwi S
Banda Aceh, 21/2 (Antara) - Lembaga Swadaya Masyarakat WWF Indonesia mendesak Pemerintah Provinsi Aceh segera menangani pencemaran merkuri di beberapa sungai di Kabupaten Aceh Jaya, akibat kegiatan pertambangan emas secara ilegal, agar tidak membahayakan masyarakat.
"Kami juga mendesak agar pemerintah segera melakukan penelitian baku mutu air mengingat sungai-sungai itu menjadi sumber air bagi kehidupan masyarakat," kata Project Leader WWF Indonesia Kantor Program Aceh Dede Suhendra di Banda Aceh, Jumat.
Dikatakan, jika kondisi ini dibiarkan berlangsung terus dikhawatirkan kawasan daerah aliran sungai (DAS) Krueng Sabee maupun sub DAS lain yang terhubung dengan lanskap kawasan yang memiliki fungsi penting bagi mendukung kehidupan masyarakat san fungsi penting ekosistem di kawasan tersebut bisa terancam tercemar.
"Jika ini terjadi, akan berpotensi menimbulkan dampak kesehatan manusia dalam jumlah yang besar dan tentunya kerusakan lingkungan salah satunya adalah kawasan daerah aliran sungai. Ini tentunya bertolak belakang dengan upaya yang selama ini dilakukan yaitu memastikan pengelolaan daerah aliran sungai tersebut dikelola dengan prinsip-prinsip ramah lingkungan dan berkelanjutan," ujarnya.
Menurut Dede, penggunaan merkuri yang tidak diawasi secara ketat dipastikan akan menimbulkan dampak yaitu pada kesehatan masyarakat dan kerusakan ekologis.
"Persoalan penggunaan merkuri ini sudah pada taraf yang sangat membahayakan, karena selama ini pemerintah sepertinya membiarkan penggunaan merkuri tersebut," kata Dede.
Pemerintah diminta segera menghentikan dan mengambil tindakan tegas penggunaan merkuri serta segera melakukan kajian untuk mengetahui tingkat dampak yang telah dimunculkannya. Selain itu kontrol dan pengawasan yang sangat ketat harus dilakukan oleh pemerintah untuk memastikan tidak digunakannya merkuri dalam berbagai kegiatan.
Dikatakan, pemberitaan terkait penggunaan merkuri di kegiatan tambang di Kabupaten Aceh Jaya sejak tanggal 18 ¿ 20 Februari 2014, harusnya menjadi perhatian sangat serius bagi semua pihak khususnya Pemerintah Aceh maupun pemerintah kabupaten.
Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten serta pihak-pihak yang berkepentingan harus mengambil langkah-langkah yang tegas untuk menghentikan penggunaan merkuri yang memang sangat berbahaya baik kesehatan manusia dan lingkungan.
Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 69 huruf e secara eksplisit menyebutkan larangan pembuangan limbah B3 ke media lingkungan.
WWF menyatakan pemerintah dan lembaga penegak hukum harus mengambil tindakan tegas atas penggunaan merkuri ini.
"Kita tentunya tidak ingin peristiwa Minamata, Jepang, yang pertama kali ditemukan kasus pada tahun 1956, terjadi di Indonesia khususnya di Aceh. Harusnya Pemerintah Aceh mengambil pembelajaran atas peristiwa Minamata di Jepang tersebut, dimana di akhir tahun 2012 diperkirakan yang menyatakan menjadi Minamata disease victims sebesar 65.000 orang. Angka ini jelas sesuatu yang menakutkan bagi kita akibat dampak dari penggunaan merkuri," ujarnya.
Penggunaan merkuri yang tidak memiliki izin tentu merupakan kejahatan, untuk itu harus dilakukan tindakan tegas. Apalagi pada tanggal 10 Oktober 2013 tepatnya di Kumamoto, Jepang sejarah baru dunia telah dicatat dimana lebih dari 140 negara termasuk Indonesia menandatangani konvensi Minamata tentang merkuri atau The Minamata Convention on Merkury setelah melalui proses yang panjang.
Untuk itu, WWF mendukung upaya pihak Kepolisian yang mulai menyelidiki perdagangan ilegal merkuri di Aceh.
"WWF juga menyerukan kepada Pemerintah Aceh untuk segera menyusun sebuah kebijakan pelarangan atas penggunaan merkuri di Aceh," kata Dede Suhedar.