Tim survei dari Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPH-P) Wilayah X Padang Sidempuan bersama mitra masyarakat dan Conservasi International Indonesia (CII) berhasil memastikan keberadaan Harimau Sumatera di kawasan Hutan produksi Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Kepala KPH Wilayah X Zurkarnain Hasibuan dihubungi ANTARA, Selasa (7/4) mengatakan, hasil survei camera trap itu sangat penting, mengingat informasi keanekaragaman hayati di kawasan itu masih minim.
Baca juga: Bupati: Belum ada PDP di Tapanuli Selatan
Baca juga: Dampak COVID-19, Tambang Emas Martabe akan rumahkan ratusan karyawannya, Bupati: Gajinya diperhatikan
"Selain untuk menyusun rencana pengelolaan, hasil survei ini nantinya juga akan menjadi bahan sosialisi untuk menghindari konflik manusia dan satwa," katanya.
KPH-P mendorong masyarakat memanfaatkan ekosistem hutan, antara lain menanam pohon buah-buahan yang disukai satwa seperti durian, sekaligus bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
Baca juga: Dukung penanganan COVID-19, Tambang Emas Martabe bantu RSUD Tapsel APD senilai ratusan juta
Baca juga: Meski tidak ada terpapar COVID-19, Bupati Tapsel imbau masyarakatnya tetap waspada
Menurut tim survei, Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di wilayah Angkola Selatan ini terekam jelas kamera perangkap (camera trap) yang di pasang periode Januari-Maret 2020 secara utuh dengan luasan survei +/-30.000 Ha.
Oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), Harimau Sumatera dinyatakan sebagai spesies berstatus kritis atau sangat terancam punah (critically endangered) yang populasinya di alam liar diperkirakan tinggal 600 ekor dan terkonsentrasi terutama di luar kawasan konservasi di Sumatera.
Survei ini menunjukkan kekayaan keanekaragaman hayati berada di luar Kawasan Konservasi. Dalam survei singkat ini ditemukan 5 dari 6 kucing liar sumatera yaitu Harimau Sumatera, macan dahan sumatera, kucing emas asia, kucing batu, dan satwa lain dengan status menurut IUCN dalam kategori kritis, terancam, dan rentan yaitu lutung hitam sumatera, trenggiling , tapir, beruang madu, rusa sambar, kambing-hutan sumatera, dan beruk.
"Selain itu penunjang pakan untuk predator paling tinggi seperti harimau sumatera masih banyak tersedia seperti kijang, babi hutan, pelanduk kancil, rusa sambar dan kambing-hutan sumatera. Hal ini mengindikasikan masih terdapat proses mangsa-pemangsa (rantai makanan) di dalam kawasan hutan produksi," sebut tim.
Menurut Direktur Jenderal Konservasi dan Sumberdaya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno, sekitar 70 persen mamalia dan primata besar yang dilindungi di Sumatera dan Kalimantan berada di luar kawasan konservasi dan perlu keterlibatan seluruh pemangku kepentingan untuk konservasi termasuk pelaku usaha sangat strategis, penting, dan mendesak.
KPHP Angkola Selatan (178.000 Ha) merupakan bagian dari ekosistem Hutan Batang Toru yang berfungsi sebagai koridor di antara dua ekosistem besar yaitu ekosistem Gunung Leuser dan Bukit Barisan.
Kawasan hutan tersebut memiliki konektivitas dengan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) seluas 108.000 Ha. Seluruh kawasan ini juga termasuk di dalam koridor konservasi Aceh-Sumatera Utara seluas 4,7 juta Ha, koridor ini merupakan daerah jelajah (home range) satwa kunci Sumatera.
Kegiatan survei ini merupakan bagian dari kegiatan Sumatra-Wide Tiger Survey (SWTS). KLHK melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) dan UPT KSDA Wilayah Sumatera Utara melaksanakan SWTS yang bertujuan untuk memperoleh data distribusi harimau, mangsa, ancaman, dan kondisi hutan.
Selain itu, juga terdapat program perlindungan Tumbuhan dan Satwa Liar di luar Kawasan Konservasi melalui pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) dan Kemitraan Konservasi dengan melibatkan masyarakat.
Salah satu upaya nyata yang dilakukan, membangun komunikasi dengan para mitra dalam melakukan kesepakatan antara masyarakat dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Menurut Senior Director Terrestrial Program, CII, Nassat D Idris, sebagai mitra pemerintah, CI Indonesia juga menyatakan komitmennya untuk mendukung secara teknis prioritas pemerintah dalam pengelolaan kawasan ekosistem esensial.
"Oleh karena itu, CI Indonesia menginisasi dan mendukung proses multipihak sejak perencanaan awal sampai implementasi dan evaluasi atas pengelolaan kawasan," katanya. Hasil survei akan ditindaklanjuti oleh KLHK dan Pemerintah Daerah untuk merumuskan langkah strategis pengelolaan dan pengembangan wilayah secara berkelanjutan.
Konservasi satwa dilindungi perlu dilakukan secara multipihak, seperti contoh Tapanuli Selatan dengan luas 433 ribu Ha dimana 50% atau 225 ribu Ha diantaranya memiliki sensitivitas lingkungan yang tinggi dilihat dari faktor biofisik dan sosial budaya.
BBKSDA Sumut sudah memperkirakan keberadaan satwa liar
Sementara Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara, Dr ir Hotmauli Sianturi, M.S kepada ANTARA via HP, Selasa, mengatakan, bahwa pihaknya tidak lagi kaget atas hasil kamera trap yang berhasil memantau keberadaan satwa-satwa liar di Angkola Selatan.
"Ekosistem Batang Toru utamanya meliputi wilayah Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Padang Lawas Utara, dan Padang Lawas umumnya sudah kita perkirakan banyak satwa-satwa liar disana," sebutnya.
Oleh karenanya, dengan hasil temuan tim tersebut semakin menguatkan semua pihak baik KPH, Perkebunan, Perusahaan lain, dan masyarakat utamanya pemerintah daerah supaya dapat bersama-sama menjaga ekosistem Batang Toru sebagai habitatnya satwa - satwa tersebut.
"Kita juga akan berkomunikasi dengan tim survei baik Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPH-P) Wilayah X Padang Sidempuan bersama mitra masyarakat dan CII agar gerakannya lebih terintegrasi," katanya.
Menurut Uli, apabila ekosistem terputus-putus maka akan terjadi pragmentasi yang dapat sering menimbulkan permasalahan (kebingunan) bahkan dapat mengancam keberadaan satwa itu sendiri.
"Oleh sebab itu, sebagai masukan bagi semua stakeholder misalkan ada pembangunan harus juga mereka perhatikan dari keseimbangan lingkungannya dan bukan hanya memandang dari segi investasinya saja," tutup Uli.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020
Kepala KPH Wilayah X Zurkarnain Hasibuan dihubungi ANTARA, Selasa (7/4) mengatakan, hasil survei camera trap itu sangat penting, mengingat informasi keanekaragaman hayati di kawasan itu masih minim.
Baca juga: Bupati: Belum ada PDP di Tapanuli Selatan
Baca juga: Dampak COVID-19, Tambang Emas Martabe akan rumahkan ratusan karyawannya, Bupati: Gajinya diperhatikan
"Selain untuk menyusun rencana pengelolaan, hasil survei ini nantinya juga akan menjadi bahan sosialisi untuk menghindari konflik manusia dan satwa," katanya.
KPH-P mendorong masyarakat memanfaatkan ekosistem hutan, antara lain menanam pohon buah-buahan yang disukai satwa seperti durian, sekaligus bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
Baca juga: Dukung penanganan COVID-19, Tambang Emas Martabe bantu RSUD Tapsel APD senilai ratusan juta
Baca juga: Meski tidak ada terpapar COVID-19, Bupati Tapsel imbau masyarakatnya tetap waspada
Menurut tim survei, Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di wilayah Angkola Selatan ini terekam jelas kamera perangkap (camera trap) yang di pasang periode Januari-Maret 2020 secara utuh dengan luasan survei +/-30.000 Ha.
Oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), Harimau Sumatera dinyatakan sebagai spesies berstatus kritis atau sangat terancam punah (critically endangered) yang populasinya di alam liar diperkirakan tinggal 600 ekor dan terkonsentrasi terutama di luar kawasan konservasi di Sumatera.
Survei ini menunjukkan kekayaan keanekaragaman hayati berada di luar Kawasan Konservasi. Dalam survei singkat ini ditemukan 5 dari 6 kucing liar sumatera yaitu Harimau Sumatera, macan dahan sumatera, kucing emas asia, kucing batu, dan satwa lain dengan status menurut IUCN dalam kategori kritis, terancam, dan rentan yaitu lutung hitam sumatera, trenggiling , tapir, beruang madu, rusa sambar, kambing-hutan sumatera, dan beruk.
"Selain itu penunjang pakan untuk predator paling tinggi seperti harimau sumatera masih banyak tersedia seperti kijang, babi hutan, pelanduk kancil, rusa sambar dan kambing-hutan sumatera. Hal ini mengindikasikan masih terdapat proses mangsa-pemangsa (rantai makanan) di dalam kawasan hutan produksi," sebut tim.
Menurut Direktur Jenderal Konservasi dan Sumberdaya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno, sekitar 70 persen mamalia dan primata besar yang dilindungi di Sumatera dan Kalimantan berada di luar kawasan konservasi dan perlu keterlibatan seluruh pemangku kepentingan untuk konservasi termasuk pelaku usaha sangat strategis, penting, dan mendesak.
KPHP Angkola Selatan (178.000 Ha) merupakan bagian dari ekosistem Hutan Batang Toru yang berfungsi sebagai koridor di antara dua ekosistem besar yaitu ekosistem Gunung Leuser dan Bukit Barisan.
Kawasan hutan tersebut memiliki konektivitas dengan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) seluas 108.000 Ha. Seluruh kawasan ini juga termasuk di dalam koridor konservasi Aceh-Sumatera Utara seluas 4,7 juta Ha, koridor ini merupakan daerah jelajah (home range) satwa kunci Sumatera.
Kegiatan survei ini merupakan bagian dari kegiatan Sumatra-Wide Tiger Survey (SWTS). KLHK melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) dan UPT KSDA Wilayah Sumatera Utara melaksanakan SWTS yang bertujuan untuk memperoleh data distribusi harimau, mangsa, ancaman, dan kondisi hutan.
Selain itu, juga terdapat program perlindungan Tumbuhan dan Satwa Liar di luar Kawasan Konservasi melalui pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) dan Kemitraan Konservasi dengan melibatkan masyarakat.
Salah satu upaya nyata yang dilakukan, membangun komunikasi dengan para mitra dalam melakukan kesepakatan antara masyarakat dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Menurut Senior Director Terrestrial Program, CII, Nassat D Idris, sebagai mitra pemerintah, CI Indonesia juga menyatakan komitmennya untuk mendukung secara teknis prioritas pemerintah dalam pengelolaan kawasan ekosistem esensial.
"Oleh karena itu, CI Indonesia menginisasi dan mendukung proses multipihak sejak perencanaan awal sampai implementasi dan evaluasi atas pengelolaan kawasan," katanya. Hasil survei akan ditindaklanjuti oleh KLHK dan Pemerintah Daerah untuk merumuskan langkah strategis pengelolaan dan pengembangan wilayah secara berkelanjutan.
Konservasi satwa dilindungi perlu dilakukan secara multipihak, seperti contoh Tapanuli Selatan dengan luas 433 ribu Ha dimana 50% atau 225 ribu Ha diantaranya memiliki sensitivitas lingkungan yang tinggi dilihat dari faktor biofisik dan sosial budaya.
BBKSDA Sumut sudah memperkirakan keberadaan satwa liar
Sementara Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara, Dr ir Hotmauli Sianturi, M.S kepada ANTARA via HP, Selasa, mengatakan, bahwa pihaknya tidak lagi kaget atas hasil kamera trap yang berhasil memantau keberadaan satwa-satwa liar di Angkola Selatan.
"Ekosistem Batang Toru utamanya meliputi wilayah Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Padang Lawas Utara, dan Padang Lawas umumnya sudah kita perkirakan banyak satwa-satwa liar disana," sebutnya.
Oleh karenanya, dengan hasil temuan tim tersebut semakin menguatkan semua pihak baik KPH, Perkebunan, Perusahaan lain, dan masyarakat utamanya pemerintah daerah supaya dapat bersama-sama menjaga ekosistem Batang Toru sebagai habitatnya satwa - satwa tersebut.
"Kita juga akan berkomunikasi dengan tim survei baik Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPH-P) Wilayah X Padang Sidempuan bersama mitra masyarakat dan CII agar gerakannya lebih terintegrasi," katanya.
Menurut Uli, apabila ekosistem terputus-putus maka akan terjadi pragmentasi yang dapat sering menimbulkan permasalahan (kebingunan) bahkan dapat mengancam keberadaan satwa itu sendiri.
"Oleh sebab itu, sebagai masukan bagi semua stakeholder misalkan ada pembangunan harus juga mereka perhatikan dari keseimbangan lingkungannya dan bukan hanya memandang dari segi investasinya saja," tutup Uli.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020