Anggota Komisi II DPR dari fraksi Partai Golkar 2009-2014, Markus Nari, divonis enam tahun penjara karena terbukti memperoleh 400.000 dolar Amerika Serikat dari proyek KTP elektronik dan menghalang-halangi pemeriksaan perkara KTP elektronik di persidangan.
Vonis itu dibacakan ketua majelis hakim Franky Tumbuwun di pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin. Selain itu, Markus juga diminta untuk membayar uang pengganti sebesar 400 ribu dolar AS.
Majelis hakim yang terdiri dari Franky Tumbuwun, Emilia Djadjasubagdja, Rosmina, Anwar, dan Sukartono itu juga menuntut pencabutan hak politik Markus.
"Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak terdakwa untuk menduduki dalam jabatan publik selama 5 tahun terhitung sejak terdakwa selesai menjalani hukuman pemidanaan," kata Tumbuwun.
Putusan itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta agar Markus divonis 9 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar 900.000 dolar AS.
Dalam dakwaan pertama, Nari hanya dinilai terbukti menerima 400.000 dolar AS dari Andi Narogong selaku koordinator pengumpul fee proyek KTP elektronik terkait proyek KTP elektronik.
Hal tersebut berbeda dengan surat tuntutan JPU KPK yang menyatakan dia menerima uang sebesar 900.000 dolar AS.
"Terdakwa Markus Nari menerima 400.000 dolar AS atau setara Rp4 miliar seperti yang diungkap Sugiharto dalam persidangan. Markus Nari mengunjungi Kemendagri dan uang berasal dari Andi Narogong sebagai pengumpul uang 'fee' dari konsorsium," kata Djadjasubagdja.
Juga baca: Jaksa KPK tuntut perampasan mobil mewah Markus Nari
Uang tersebut diberikan pada Maret 2012 dari Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kemendagri Sugiharto.
Namun majelis hakim tidak sependapat dengan JPU KPK yang menyatakan bahwa Markus Nari juga menerima uang 500.000 dolar AS dari keponakan Setya Novanto bernama Irvanto Hendra Pambudi Cahyo di ruangan kerja Setya Novanto di lantai 12 Gedung DPR.
Uang 500.000 dolar Singapura adalah bagian 1 juta dolar AS yang diperintahkan Andi Narogong agar Irvanto menyerahkan kepada Nari selaku anggota Komisi II DPR merangkap anggota Banggar dan Melchias Markus Mekeng selaku ketua Banggar yang juga politikus Partai Golkar.
Nari meminta pengacaranya, Anton Tofik, untuk memantau sidang pembacaan dakwaan perkara Irman dan Sugiharto pada 9 Maret 2018 guna memastikan kebenaran bahwa namanya disebut dalam dakwaan.
Setelah itu Markus pada 12 Maret 2017 juga meminta Anton Tofik mencarikan salinan BAP Miryam S Haryani dalam perkara Irman dan Sugiharto yang menyebut secara spesifik namanya dalam penerimaan "fee" serta pada 17 Maret 2017 meminta Anton Tofik untuk mengantar salinan BAP Miryam yang telah distabilo dan ditandai "dicabut" kepada Miryam S Haryani di kantor Elza Syarif dengan imbalan 10 ribu dolar Singapura dan 10 ribu dolar AS.
Selain itu Markus juga berpaya agar Sugiharto tidak menyebutkan namanya dengan cara mengirim pesan melalui Robinson yang memiliki klien bernama Amran Hi Mustari, teman satu sel Sugiharto di rutan Guntur.
Rangkaian perbuatan Nari itu juga dinilai mempersulit JPU dalam membuktikan unsur menguntungkan/memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi khsusunya menguntungkan Markus Nari.
"Cara-cara terdakwa melalui Anton Taufik dan Robinson adalah secara tidak langsung untuk mempengaruhi agar Miryam S Haryani tidak menyampaikan keterangan sesuai BAP sehingga pencabutan BAP Miryam adalah hal yang tidak beralasan dan suatu kebohongan. Tindakan terdakwa yang pada ujungnya agar menghilangkan nama terdakwa sebagai penerima dana e-KTP dan dilakukan Miryam dengan mencabut BAP, di sisi lain terdakwa Markus Nari juga meminta Robinson melalui Amran Hi Mustary untuk mengatakan kepada Sugiharto bahwa terdakwa tidak menerima dana dari proyek e-KTP," tambah hakim Anwar.
Atas putusan tersebut, baik jaksa penuntut umum KPK maupun Markus Nari menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.
"Saya merasa heran ketika ditanyakan kepada Sugiharto apa bentuk uang yang diserahkan ke saya, Sugiharto mengatakan dolar Singapura dan saya tidak pernah melihat uang itu," kata Markus.
"Kami akan mendiskusikan putusan dalam tujuh hari," kata penasihat hukum Markus.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019
Vonis itu dibacakan ketua majelis hakim Franky Tumbuwun di pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin. Selain itu, Markus juga diminta untuk membayar uang pengganti sebesar 400 ribu dolar AS.
Majelis hakim yang terdiri dari Franky Tumbuwun, Emilia Djadjasubagdja, Rosmina, Anwar, dan Sukartono itu juga menuntut pencabutan hak politik Markus.
"Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak terdakwa untuk menduduki dalam jabatan publik selama 5 tahun terhitung sejak terdakwa selesai menjalani hukuman pemidanaan," kata Tumbuwun.
Putusan itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta agar Markus divonis 9 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar 900.000 dolar AS.
Dalam dakwaan pertama, Nari hanya dinilai terbukti menerima 400.000 dolar AS dari Andi Narogong selaku koordinator pengumpul fee proyek KTP elektronik terkait proyek KTP elektronik.
Hal tersebut berbeda dengan surat tuntutan JPU KPK yang menyatakan dia menerima uang sebesar 900.000 dolar AS.
"Terdakwa Markus Nari menerima 400.000 dolar AS atau setara Rp4 miliar seperti yang diungkap Sugiharto dalam persidangan. Markus Nari mengunjungi Kemendagri dan uang berasal dari Andi Narogong sebagai pengumpul uang 'fee' dari konsorsium," kata Djadjasubagdja.
Juga baca: Jaksa KPK tuntut perampasan mobil mewah Markus Nari
Uang tersebut diberikan pada Maret 2012 dari Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kemendagri Sugiharto.
Namun majelis hakim tidak sependapat dengan JPU KPK yang menyatakan bahwa Markus Nari juga menerima uang 500.000 dolar AS dari keponakan Setya Novanto bernama Irvanto Hendra Pambudi Cahyo di ruangan kerja Setya Novanto di lantai 12 Gedung DPR.
Uang 500.000 dolar Singapura adalah bagian 1 juta dolar AS yang diperintahkan Andi Narogong agar Irvanto menyerahkan kepada Nari selaku anggota Komisi II DPR merangkap anggota Banggar dan Melchias Markus Mekeng selaku ketua Banggar yang juga politikus Partai Golkar.
Nari meminta pengacaranya, Anton Tofik, untuk memantau sidang pembacaan dakwaan perkara Irman dan Sugiharto pada 9 Maret 2018 guna memastikan kebenaran bahwa namanya disebut dalam dakwaan.
Setelah itu Markus pada 12 Maret 2017 juga meminta Anton Tofik mencarikan salinan BAP Miryam S Haryani dalam perkara Irman dan Sugiharto yang menyebut secara spesifik namanya dalam penerimaan "fee" serta pada 17 Maret 2017 meminta Anton Tofik untuk mengantar salinan BAP Miryam yang telah distabilo dan ditandai "dicabut" kepada Miryam S Haryani di kantor Elza Syarif dengan imbalan 10 ribu dolar Singapura dan 10 ribu dolar AS.
Selain itu Markus juga berpaya agar Sugiharto tidak menyebutkan namanya dengan cara mengirim pesan melalui Robinson yang memiliki klien bernama Amran Hi Mustari, teman satu sel Sugiharto di rutan Guntur.
Rangkaian perbuatan Nari itu juga dinilai mempersulit JPU dalam membuktikan unsur menguntungkan/memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi khsusunya menguntungkan Markus Nari.
"Cara-cara terdakwa melalui Anton Taufik dan Robinson adalah secara tidak langsung untuk mempengaruhi agar Miryam S Haryani tidak menyampaikan keterangan sesuai BAP sehingga pencabutan BAP Miryam adalah hal yang tidak beralasan dan suatu kebohongan. Tindakan terdakwa yang pada ujungnya agar menghilangkan nama terdakwa sebagai penerima dana e-KTP dan dilakukan Miryam dengan mencabut BAP, di sisi lain terdakwa Markus Nari juga meminta Robinson melalui Amran Hi Mustary untuk mengatakan kepada Sugiharto bahwa terdakwa tidak menerima dana dari proyek e-KTP," tambah hakim Anwar.
Atas putusan tersebut, baik jaksa penuntut umum KPK maupun Markus Nari menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.
"Saya merasa heran ketika ditanyakan kepada Sugiharto apa bentuk uang yang diserahkan ke saya, Sugiharto mengatakan dolar Singapura dan saya tidak pernah melihat uang itu," kata Markus.
"Kami akan mendiskusikan putusan dalam tujuh hari," kata penasihat hukum Markus.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019