Pada peringatan acara puncak peringatan Hari Pers Nasional, PWI Sumatera Utara kebetulan mengundang saya atas jasa baik Kakanda H. Asro Kamal Rokan, mantan Direktur/Ketua LKBN Antara, pada Minggu (28/4) lalu.

Setelah mengikuti jalan santai melalui route jarak pendek sekitar gedung PWI Sumut, Jalan Serdang, Jalan Sutomo dan sekitarnya, peserta kembali ke ruangan aula gedung PWI. Sambil menikmati sarapan pagi bersama, dengan penuh keakraban dan canda tawa Pak Gubernur dan para wartawan senior, saling bercengkrama.

Hadir juga dua mantan Gubernur Sumut, Syamsul Arifin, SE dan Dr. Ir. T. Ery Nuradi, MSi.

Acara diisi dengan kata sambutan dan diselang-selingi dengan pemberian hadiah.

Dalam sambutannya Gubernur memulai dengan mengangkat isu tentang sampah Kota Medan yang tak kunjung teratasi. Setelah itu beliau mengangkat tentang isu kepemimpinan. Di sinilah tercetus dalam pidato beliau, bahwa pemimpin yang baik itu harus mendapat dukungan rakyat.

"Untuk apa kita jadi pemimpin, tapi rakyat tidak mau kita pimpin," ungkap beliau. Pernyataan itu pernyataan yang tidak bisa ditafsirkan secara leterlijk atau gramatikal. Pernyataan itu berupa metafora, sindiran halus terhadap pemimpin yang tidak mendapat dukungan rakyat. Itu gaya bahasa pemimpin yang arif, ada nilai rasa bahasa yang tersembunyi di dalamnya.

Lalu beliau mengambil angka empat bulan ke depan untuk menguji kepemimpinan beliau, apakah rakyat masih mau dipimpin.Tapi tidak bisa ditafsirkan hitam putih. Angka empat bulan itu untuk menyebutkan waktu yang singkat agar rakyat dapat merasakan makna kepemimpinan beliau.

Beliau bertekad untuk menjadi pemimpin yang adil di Sumatera Utara. Bukan berarti masa empat bulan ini kita akan dapat angka kuantitatif bahwa ada sekian persen rakyat Sumut tak mau dipimpin Gubsu Edy Rahmayadi.

Pemilihan Gubsu sudah selesai. Beliau pemimpin yang terpilih. Inti pidato beliau kalau sudah diberi kepercayaan, maka rakyat harus mendukung. Beliau menggambarkan demokrasi yang ideal. Pemilihan secara demokratis itu adalah alat untuk menetapkan pemimpin. Pemilihan itu alat atau cara, bukan tujuan.

Jadi kalau sudah terpilih semua harus mengikuti pemimpin. Oposan tak boleh berlanjut pascaterpilihnya pemimpin. Mirip dengan menentukan imam sholat, kalau sudah kita tentukan imamnya, makmum harus ikut. Kalau imam salah boleh menegur imam dengan cara membaca "subhanallah", tapi kalau salah lagi atau batal, imam boleh mundur, digantikan oleh makmum yang ada di belakangnya.

Jadi prinsipnya pemimpin boleh ditegur, tapi disampaikan secara bijak dan ada etika dan normanya. Yang berbeda dalam masyarakat kita, oposisi terus berlanjut sampai pascaterpilihnya pemimpin dan ini akan mengganggu jalannya pemerintahan.

Membuka shaf baru, angkat imam yang baru. Bukan begitu tatacara dan etika serta normanya. Dalam satu masjid dalam waktu sholat yang sama tak boleh ada dua imam. Ini yang tak banyak orang tahu.

Pak Edy tahu itu, beliau tahu bahwa dalam sholat berjamaah makmum tak boleh dipaksa untuk mengikut imam, tapi sekali ia bergabung dalam shaf ia harus ikut imam.

Memang sebagai pemimpin kita tidak bisa membuat orang semua senang. Tentu ada saja pihak yang tidak puas. Di sini perlu dituntut kearifan dan kesabaran.

Saya yakin pak Edy bisa dan sudah sampai ke tahap itu. Beliau itu orangnya religius. Kalau gaya kepemimpinan militer beliau terbawa itu kita dapat maklumi. Tapi bukan berarti beliau itu tidak bisa kompromi dan kaku.

Beliau itu orangnya tegas dalam prinsip. Orang yang membenci beliau dapat saya pastikan orang yang tak punya prinsip. Akan halnya dengan kalangan pers, di hadapan pers beliau sangat hati-hati. Karena kehati-hatiannya, terkesan beliau itu membuat jarak.

Beliau itu takut dituding sebagai orang tidak konsisten. Jadi beliau sangat berhati-hati dan bicara apa adanya. Kalau bicara dengan beliau, pilih waktu yang tepat, jangan dadakan. Beliau itu terbiasa dengan keteraturan.

Sikap dan ungkapan beliau jangan ditafsirkan secara berlebihan. Misalnya soal pernyataan mundur, pers jangan memfreming. Harus dilihat konteksnya. Pernyataan itu disampaikan dalam konteks kepemimpinan yang baik. Setiap teks harus dihubungkan dengan konteks.

Rakyat yang dipimpin harus patuh pada pemimpin, pernyataan itu dalam konteks kepemimpinan yang ideal di tengah-tengah kemisruhan kita menentukan atau mencari pemimpin. Itu premis yang bersifat universal, kapan pun dan di manapun.

Kegagalan dalam strategi perang adalah apabila anak buah membelot atau berkhianat. Tidak mengikuti arahan pemimpin. Itu ilmu dan keahlian beliau. Beliau itu mantan Pangkostrad. Sebenarnya kata empat bulan yang disampaikan pak Edy bukan ditujukan pada dirinya, tapi ditujukan pada orang yang dipimpinnya. Ini yang tak banyak orang bisa memahaminya. Ini penafsiran a-contrario dalam ilmu hukum.

Beliau memang mengatakan beliau akan mundur dalam empat bulan ke depan jika orang yang dipimpinnya tidak mau dipimpin. Tetapi dalam penafsiran a-cotrario beliau itu sudah terpilih dan dipilih serta ditetapkan untuk memimpin Sumut lima tahun ke depan. Jadi tak mungkin mundur atau dimundurkan dengan cara mengungkapkan dalam pidato. Ada mekanisme lain, mekanisme yang luar biasa yang harus ditempuh untuk itu.

Menurut tafsir a-contrario yang beliau maksud adalah dalam empat bulan ke depan jika ada orang yang berada di bawah kepemimpinan beliau tidak mau beliau pimpin, maka cepat-cepatlah mengundurkan diri. Atau dalam bahasa lain cepat-cepat bertaubat atau pindah. Atau carilah pemimpin yang lain. Jadi kalau ada orang Sumatera Utara tak mau beliau pimpin silahkan pindah ke provinsi lain.

Sifatnya regelen bukan dwangen, mengimbau, mengingatkan bukan memaksa. Begitu menurut tafsir saya. Beliau itu dibesarkan dalam tradisi Melayu, tradisi yang menggunakan metafora, tamsilan sindiran halus tapi tajam, tentu saja itu ditujukan kepada orang orang yang cerdas dan mau berpikir.

Seperti Allah megingatkan, tahukah kamu siapa pendusta agama? Itu lah orang yang tak perduli pada fakir miskin dan menyia-nyiakan anak yatim. Itu sindiran Al Qur'an untuk penduduk Mekkah yang kaya tapi kikir ketika itu.

Begitu juga sindiran berikutnya, bermegah-megahlah kamu hingga kamu masuk ke liang kubur. Bukan perintah untuk saling memamerkan harta. Itu sindiran. Sampai akhirnya Al Quran menyindir jika ada yang menurutmu lebih hebat, maka carilah Tuhan-Tuhan lain selain Aku. Itu semua gaya bahasa metafora. Jangan ditafsirkan "hitam-putih".

Dengan meminjam premis-premis metafora itu saya menangkap keinginan dan harapan pak Edy untuk rakyat Sumatera Utara yang dipimpinnya. Intinya adalah Pak Edy Rahmayadi memerlukan dukungan. Beliau ingin mengajak kita semua rakyat Sumut untuk saling bahu membahu membangun Sumatera Utara.

Beliau itu hari ini adalah pemimpin Rakyat Sumatera Utara, pemimpin rakyat yang pro kepada beliau atau kontra kepada beliau. Pemimpin bagi orang-orang yang kalah dan orang-orang yang menang. Pemimpin mereka-mereka yang kaya dan papa. Pemimpin orang yang mendapat kesempatan atau kaum yang tertindas di Sumatera Utara.

*) Penulis adalah Guru Besar Fakultas Hukum USU yang juga Wakil Dekan I Fakultas Hukum USU

Pewarta: Prof. Dr. H. OK. Saidin, SH, MHum *)

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019