Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru memiliki program untuk menjaga konektifitas habitat yang sudah terpisah sebelum proyek ini dibangun.
Demikian Agus Djoko Ismanto, Senior Advisor on Environtment and Sustainability PT. North Sumatera Hydro Energy (NSHE) selaku pengembang PLTA Batang Toru, dalam penjelasannya diterima, Kamis.
Program konektifitas habitat tersebut diantaranya dengan menjaga dan mengamankan koridor alamiah, membangun jembatan arboreal, menanam pohon-pohon pakan dan mendukung rencana pemerintah dalam pembangunan koridor yang menghubungkan dua blok habitat orang utan.
Sementara M. Nasir Siregar dari BBKSDA juga mengkonfirmasi bahwa selama ini masyarakat uatamnya di Kecamatan Sipirok, dan Marancar sudah memiliki kearifan lokal dalam menjaga kelestarian alam salah satu contohnya adalah saat berhubungan dengan orangutan.
"Masyarakat percaya bahwa bila mereka mengganggu orang utan (Mawas) sebutan masyarakat Tapsel untuk orang utan, akan menimbulkan marabahaya di kampung tersebut," katanya.
Menurut Koesnadi, salah satu penggagas pelatihan konservasi orangutan berbasis masyarakat salah satu contoh kearifan lokal lainnya adalah Mantari Bondar. Ini merupakan aturan adat warisan leluhur berusia seabad lebih dalam menjaga hutan dan sumber air.
"Masyarakat dari empat kampung yaitu Haonatas, Tanjung Rompa, Bonan Dolok dan Siranap (Hatabosi) memiliki tradisi menjaga hutan sejak leluhurnya hingga saat ini untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari dan mengairi lahan pertanian," katanya.
PLTA Batang Toru berkomitmen untuk melanjutkan aksi nyata melindungi orangutan dengan bekerja bersama pemerintah dan masyarakat. Bahkan proses pelatihan dan pembentukan kader-kader konservasi berbasis masyarakat sudah dilakukan.
"Program ini juga sebagai bagian dari penerapan kajian ESIA. Penerapan ketentuan-ketentuan ESIA menjadikan PLTA Batang Toru sebagai PLTA pertama di Indonesia yang melaksanakan Equatorial Principle," kata Agus lebih jauh.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019
Demikian Agus Djoko Ismanto, Senior Advisor on Environtment and Sustainability PT. North Sumatera Hydro Energy (NSHE) selaku pengembang PLTA Batang Toru, dalam penjelasannya diterima, Kamis.
Program konektifitas habitat tersebut diantaranya dengan menjaga dan mengamankan koridor alamiah, membangun jembatan arboreal, menanam pohon-pohon pakan dan mendukung rencana pemerintah dalam pembangunan koridor yang menghubungkan dua blok habitat orang utan.
Sementara M. Nasir Siregar dari BBKSDA juga mengkonfirmasi bahwa selama ini masyarakat uatamnya di Kecamatan Sipirok, dan Marancar sudah memiliki kearifan lokal dalam menjaga kelestarian alam salah satu contohnya adalah saat berhubungan dengan orangutan.
"Masyarakat percaya bahwa bila mereka mengganggu orang utan (Mawas) sebutan masyarakat Tapsel untuk orang utan, akan menimbulkan marabahaya di kampung tersebut," katanya.
Menurut Koesnadi, salah satu penggagas pelatihan konservasi orangutan berbasis masyarakat salah satu contoh kearifan lokal lainnya adalah Mantari Bondar. Ini merupakan aturan adat warisan leluhur berusia seabad lebih dalam menjaga hutan dan sumber air.
"Masyarakat dari empat kampung yaitu Haonatas, Tanjung Rompa, Bonan Dolok dan Siranap (Hatabosi) memiliki tradisi menjaga hutan sejak leluhurnya hingga saat ini untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari dan mengairi lahan pertanian," katanya.
PLTA Batang Toru berkomitmen untuk melanjutkan aksi nyata melindungi orangutan dengan bekerja bersama pemerintah dan masyarakat. Bahkan proses pelatihan dan pembentukan kader-kader konservasi berbasis masyarakat sudah dilakukan.
"Program ini juga sebagai bagian dari penerapan kajian ESIA. Penerapan ketentuan-ketentuan ESIA menjadikan PLTA Batang Toru sebagai PLTA pertama di Indonesia yang melaksanakan Equatorial Principle," kata Agus lebih jauh.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019