Medan, 9/9 (Antara) - Rendahnya nilai jual minyak sawit mentah di Indonesia belakangan ini diduga karena adanya permainan dari sindikat ekonomi internasional untuk menguasai sektor tersebut.

"Ada sindikasi internasional terhadap perekonomian Indonesia dengan menekan harga CPO," kata Wakil Ketua Komisi D DPRD Sumatera Utara HM Nezar Djoeli di Medan, Rabu.

Menurut Nezar, adanya indikasi sindikat internasional tersebut dapat terlihat dari harga jual minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia yang sangat rendah.

Kondisi itu menyebabkan pengusaha CPO harus membeli buah sawit dengan harga yang juga rendah yakni sekitar Rp300 per kg.

"Dengan harga segitu, siapa yang berani memanen karena untuk biaya operasional saja tidak mencukupi," katanya.

Kondisi itu seperti "buah simalakama" bagi pengusaha perkebunan karena akan mengalami kerugian dengan setiap pilihan yang ada.

"Kalau tidak dipanen, nanti buahnya busuk di pohon, itu justru bisa merusak pohon. Namun kalau dipanen, harganya tidak memenuhi biaya operasional," kata politisi Partai Nasdem tersebut.

Ia menjelaskan, praktik sindikasi internasional terhadap perekonomian Indonesia dengan menekan harga CPO tersebut bertujuan agar pengusaha perkebunan di Indonesia terus mengalami kerugian.

Jika terus menerus mengalami kerugian, maka pengusaha perkebunan akan mengalami kebangkrutan atau tidak mampu membayar utang ke bank jika menggunakan pinjaman dalam usaha.

Setelah itu, pengusaha asing tersebut masuk ke Indonesia dengan membeli lahan perkebunan yang terpaksa dijual dengan harga tanah yang murah.

"Akhirnya, tidak ada lagi tanah perkebunan milik kita," kata Nezar.

Seluruh pemangku kepentingan dalam perekonomian harus dapat bersatu untuk mengantisipasi agenda sindikat asing tersebut.

"Sekarang penjajahan tidak secara fisik lagi, melainkan melalui ekonomi," katanya.

Selain itu, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan dengan memberikan subsidi berupa dana talangan untuk perusahaan perkebunan hingga harga CPO stabil. ***3***


Pewarta: Irwan Arfa

Editor : Ribut Priadi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2015