Medan (ANTARA) - Pemborong pembangunan Retirement Village Biara FSE di Medan, Bonar Hatorangan Tambunan, menggugat pemberi kerja Sr. Godeliva Simbolon ke Pengadilan Negeri (PN) Medan, dengan tuntutan ganti rugi mencapai Rp16,94 miliar atas dugaan wanprestasi.
Gugatan wanprestasi itu terdaftar dengan nomor perkara: 897/Pdt.G/2025/PN Mdn, yang diajukan melalui kuasa hukumnya dari Law Office Dwi Ngai Sinaga & Associates pada 11 September 2025.
Dalam gugatannya, penggugat menyebut penghentian proyek secara sepihak oleh pihak tergugat telah menimbulkan kerugian besar, baik materiil maupun immateriil.
“Dari informasi yang kami terima, klien kami selaku penggugat mengaku telah mengeluarkan biaya operasional dan progres pembangunan sebesar Rp9,01 miliar. Namun proyek dihentikan sepihak sehingga menimbulkan total kerugian materiil Rp16,94 miliar ditambah immateriil Rp1 miliar,” ujar kuasa hukum penggugat Dwi Ngai Sinaga, SH, MH, didampingi Benri Pakpahan,SH, di PN Medan, Rabu (8/10).
Pihaknya mengatakan proyek pembangunan Gedung Serbaguna (Hall) Biara FSE Medan serta Rumah Biara FSE dan Parit Lingkungan di Jalan Bunga Pancur IX, Medan, dimulai berdasarkan dua kontrak kerja senilai total Rp16,94 miliar dengan target penyelesaian 18 bulan.
“Pekerjaan sempat terhenti pada Januari 2024, karena ditemukan beberapa bagian gambar perencanaan yang dibuat konsultan perencana (Ozin Karya) tidak sinkron dgn kondisi aktual di lapangan,” jelasnya.
Meski dilakukan beberapa kali rapat untuk menyesuaikan desain, pembangunan tidak kunjung dilanjutkan. Karena pihak konsultan perencana belum juga menyerahkan seluruh revisi gambar.
Sehingga proses pengerjaan terhenti cukup lama. Oleh karena itu tergugat memberikan kewenangan kepada pemborong untuk mengambil alih pengerjaan revisi gambar yang belum dilaksanakan konsultan.
Dalam proses perbaikan gambar, pihak pemborong mengalami kendala, karena gambar perencanaan yang dibuat konsultan (Ozin Karya) ternyata bertentangan dengan PKKPR (Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang) Kota Medan.
Hal ini ditemukan ketika memeriksa Keterangan Rencana Kota (KRK) Kota Medan. Akibatnya di bulan Agustus 2024, pihak tergugat menyampaikan kepada pemborong bahwa pengurusan PBG (Persetujuan Bangunan Gedung) ditolak pihak terkait, sehingga tidak ada Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di lokasi pembangunan.
Maka pihak tergugat segera mengeluarkan surat tugas kepada tim pemborong Henry Paulus Lumban Gaol pada 18 September 2024, untuk membuat gambar perencanaan yang baru di lokasi yang sama dan sampai saat ini sudah dalam tahap proses pengurusan PBG.
Puncaknya, lanjut dia, tanpa ada alasan yang jelas, pihak tergugat melalui surat bernomor: 167/DPU-FSE/Selayang/VIII/2025 pada 11 Agustus 2025, memerintahkan penghentian seluruh kegiatan pembangunan.
“Atas hal tersebut, kami menilai sebagai pelanggaran kontrak atau ingkar janji yang dilakukan tergugat,” tegas Dwi Ngai Sinaga.
Benri Pakpahan menambahkan, dalam petitum, pihaknya meminta majelis hakim PN Medan menyatakan tergugat melakukan wanprestasi dan menghukum tergugat membayar ganti rugi, yakni terdiri dari kerugian materiil dan kerugian immateriil.
“Dalam pokok perkara, kita meminta agar majelis hakim mengabulkan gugatan kita untuk seluruhnya, yakni menyatakan bahwa tergugat telah melakukan wanprestasi atau cidera janji terhadap penggugat,” jelas Benri.
Kemudian, menghukum tergugat untuk membayar kerugian yang diderita oleh penggugat dengan perhitungan kerugian materiil dengan total yang dialami oleh penggugat adalah sebesar Rp16,94 miliar.
“Sedangkan kerugian immateriil atau moral, yang mengakibatkan klien kami merasa malu dan nama baik tercemar tidak percayai lagi dalam perkumpulan dan keluarga yang tidak mudah untuk dipulihkan dan tidak dapat pula dinilai dengan uang,” kata Benri.
Namun, lanjut dia, apabila ingin juga diperhitungkan dengan rupiah, maka kerugian immateriil penggugat dapat dinilai sebesar Rp1 miliar.
"Kami juga meminta majelis hakim menetapkan uang paksa (dwangsom) Rp500 ribu per hari apabila putusan tidak segera dilaksanakan,” ujar Benri.
