Medan (ANTARA) - Bersama Banda Aceh, Medan menjadi tuan rumah PON 2024 yang pertama kali sejak Solo 1948, diselenggarakan di lebih dari satu provinsi.
Ibu kota Provinsi Sumatera Utara yang menjadi salah satu dari empat kota terbesar di Indonesia itu sudah pernah menyelenggarakan ajang olahraga nasional itu pada 1953.
Oleh karena itu, menyelenggarakan PON sudah tak asing bagi Medan, sama dengan Bandung dan Surabaya yang sudah dua kali menyelenggarakan ajang multi cabang nasional ini.
Hanya Jakarta yang sudah lebih dari dua kali menyelenggarakan PON.
Kota terpadat di luar Pulau Jawa itu sendiri terus bersolek, yang sudah dilakukannya sejak lebih dari setahun terakhir ini.
Sampai tulisan ini dibuat, "beres-beres" itu masih terus dilakukan, ketika pertandingan di beberapa cabang olahraga sudah dan tengah digelar.
Bersolek-solek itu sendiri tidak hanya demi olahraga, tetapi juga demi citra positif Medan dan Sumatera Utara yang dampaknya bisa ke mana-mana, termasuk pariwisata dan investasi.
Citra memang selalu menjadi bagian penting dari apa pun yang hendak dijual atau ditawarkan oleh siapa pun kepada siapa pun lainnya.
Di sini, terutama dalam hubungannya dengan kota atau daerah, kesan nyaman dan aman menjadi bagian penting untuk citra positif yang hendak diciptakan sebuah daerah, termasuk Medan.
Medan sendiri, menurut Ketua Panitia Pengawas dan Pengarah PON 2024 untuk wilayah Sumatera Utara Heru Suryono, berusaha menjadikan PON 2024 sebagai upaya menciptakan kesan positif mengenai kota ini di mata atlet, ofisial, dan wisatawan.
Citra positif itu diharapkan membantu kota itu, dan Sumatera Utara secara keseluruhan, dalam memajukan perekonomian daerah ini.
Dalam kerangka itu pula, pemerintah di Sumatera Utara mengajak warganya aktif melayani dan menunjukkan keramahtamahan kepada mereka yang datang ke sana.
Gertak lebih dulu
Ajakan menjadi tuan rumah yang baik selalu bergaung dalam setiap PON, sehingga mungkin terdengar klise, tetapi tetap relevan dan menjadi bagian penting dalam sebuah acara besar olahraga.
Namun, mewujudkan ajakan itu selalu menjadi tugas yang amat menantang, terlebih bagi kota Medan yang terkenal keras, sampai memunculkan semboyan "Ini Medan bung!"
Tak sedikit orang yang baru mengenal kota ini mengalami syok kultural yang berpengaruh terhadap bagaimana mereka memandang kota Medan.
Pengalaman unik seorang netizen berikut ini di sebuah forum online beberapa waktu lalu, bisa melukiskan pandangan terhadap kota Medan itu.
Ini adalah pengalaman orang yang baru pertama kali tinggal di Medan, yang bisa Anda konfirmasi sendiri begitu memiliki kesempatan berada di kota terbesar di Pulau Sumatera ini.
Si netizen bertanya kepada sopir angkot yang dia hentikan untuk mengantarkannya ke kantor.
Dia bertanya dengan kesantunan daerah asalnya, padahal di Medan gaya berturut haruslah keras yang terdengar seperti membentak atau bahkan mengajak ribut dalam pandangan orang non Medan.
Pada awalnya netizen itu kesal karena pertanyaannya dijawab si sopir angkot dengan nada tinggi, yang dianggapnya sebagai bentakan. Dia lalu disarankan oleh kerabatnya agar berbicara sekeras sopir angkot itu.
Dia mempraktikkan saran itu keesokan harinya. Ternyata benar, sopir angkot merespon lebih sopan ketika disapa dalam "bahasa" orang Medan.
Sejumlah orang menyebut kiat berkomunikasi seperti itu sebagai "gertak lebih dulu", yang sepertinya sudah mendarah daging di Medan.
Salah satu gambaran yang menguatkan pandangan bahwa model berkomunikasi itu sudah mendarah daging adalah prilaku warga kota Medan dalam berkendara di jalan raya.
Banyak orang terlihat ingin lebih dulu, sehingga serempet sana serempet situ sudah menjadi "adab" berkendara di sana.
Uniknya, tak seperti di kota-kota lain, termasuk Jakarta, jarang ada orang yang naik pitam karena dipepet oleh yang lain, padahal jelas-jelas prilaku itu membahayakan pengendara lain dan menyalahi aturan berkendara yang ditetapkan pihak berwajib dan undang-undang.
Toleran dan inklusif
Jika ditelisik lebih jauh, gaya berkomunikasi "gertak lebih dulu" itu lebih merupakan cara orang beradaptasi dengan budaya di kota multikultur itu.
Medan memang kota yang menjadi bertemu banyak budaya dan etnis. Ada batak, jawa, tionghoa, minang, melayu, aceh, india, dan banyak lagi. Etnis yang berbeda juga membawa kebiasaan dan bahkan nilai yang berbeda pula.
Tapi justru di kota multikultur seperti Medan, orang dituntut untuk terbuka kepada budaya lain, melupakan sejenak norma-norma dalam budayanya sendiri, memahami norma-norma adat istiadat budaya lain, peduli kepada yang berbeda darinya, dan memahami atau mengakui adanya kaum minoritas.
Keharusan-keharusan ini menghasilkan kebiasaan baru yang berlaku untuk semua orang yang pada titik tertentu menjadi norma, yang pada titik tertentu bisa disebut kearifan lokal, seperti disebutkan C.W. Watson dalam bukunya "Multiculturalism".
Dalam kata lain, berbicara keras dan spontan, lebih merupakan cara berkomunikasi agar orang bertahan dan eksis.
Itu juga bisa menjadi cara masyarakat beradaptasi dengan kultur yang dianggap paling dominan di Medan, yakni batak, yang dikenal spontan dan melekat pada karakter orang Medan pada umumnya.
Indahnya, kekerasan bertutur itu tak mendorong satu pihak berusaha dominan terhadap yang lainnya.
Sebaliknya, tuntutan beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan yang lebih dulu ada, telah menciptakan sintesis, berupa sikap toleran dan inklusif yang jejaknya terlihat jelas di hampir semua sudut kota Medan.
Walau menjadi salah satu kota dengan tingkat kriminalitas tertinggi di Indonesia, ada banyak bukti yang memperlihatkan kota ini tetap dibalut harmoni yang menjunjung toleransi dan inklusifitas.
Di sini, seperti di semua kota besar lainnya di Indonesia, orang-orang berbeda agama bebas menjalankan keyakinan mereka, bahkan di beberapa sudut kota Medan, rumah-rumah ibadah dari lain agama berdekatan satu sama lain.
Mereka hidup dalam harmoni, selaras dengan semangat bhineka tunggal ika yang dimuliakan dalam setiap PON, termasuk PON 2024.
Tetapi harmoni itu tak memupus keharusan mencegah kekerasan bertutur agar tidak memicu kekerasan fisik dan laku yang menyalahi aturan yang bisa merusak citra aman.
Untuk itu, tetap perlu ada pendekatan hukum yang kuat, apalagi keamanan dan ketertiban adalah bagian penting untuk citra positif sebuah daerah, termasuk Medan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Keras dalam harmoni ala kota Medan
Keras dalam harmoni ala Kota Medan
Minggu, 8 September 2024 15:36 WIB 426