JAKARTA (ANTARA) - Di dunia virtual banyak hal remeh-temeh, receh, dan tidak penting menjadi viral yang menyulut kehebohan nasional. Potret warganet yang menyukai konten receh berkolerasi dengan tingkat literasi mereka, selera yang mengantarkan para PKR (pembuat konten receh) menjadi selebritas medsos lalu menjadi tamu dan bintang media televisi yang turut merecehkan diri. Biar pun begitu, kabar baiknya mereka adalah warga yang mudah bahagia.
Ada seloroh yang mengatakan, ”Kalau mau viral dan terkenal, lakukanlah hal-hal bodoh, orang-orang suka itu”. Tinggi rendahnya selera tonton itu seperti tinggi rendahnya selera seni. Masyarakat rendah literasi menyenangi konten receh karena tidak perlu dicerna oleh otak.
Dalam pergaulan zaman sekarang dikenal istilah humor dolar dan humor receh. Humor dolar sebutan untuk orang yang tidak gampang tertawa terhadap lelucon garing. Sedangkan mereka yang gampang tertawa bahkan untuk suatu hal yang tidak lucu sekali pun disebut memiliki selera humor receh.
Setiap orang mempunyai selera humor yang berbeda, baik dalam melontarkan atau merespons dan menikmati humor. Selera itu terbentuk oleh sejumlah faktor beberapa di antaranya adalah pendidikan, kecerdasan, dan lingkungan pergaulan.
Pergaulan di jagat media sosial amatlah majemuk, sayangnya PKR dan penikmatnya malah melaju memimpin arus, sedangkan konten edukasi yang menginspirasi justru tenggelam oleh kehebohan hal-hal viral yang tak membawa kebermanfaatan. Bagaimana cara memahami situasi ini?