Prof Tjandra: Vaksinasi penguat diperlukan untuk kendalikan Omicron
Rabu, 12 Januari 2022 11:49 WIB 718
Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Tjandra Yoga Aditama berpendapat, pemberian vaksin penguat (booster) atau dosis ketiga vaksin COVID-19 diperlukan demi mengendalikan kasus COVID-19 termasuk varian Omicron.
"Pemberian booster tentu baik dan segera dimanfaatkan oleh yang sudah mendapat kesempatan ini. Kasus Omicron terus meningkat di dunia dan Indonesia. Tentu kita harapkan peningkatan kasus dapat dikendalikan," ungkap dia melalui pesan elektroniknya, Rabu.(12/1)
Walau begitu, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI itu mengingatkan, secara makro pemberian booster jangan sampai mengorbankan upaya pemberian dua dosis utama vaksin yang mutlak amat diperlukan.
Baca juga: Dinkes Sumut: 11 kabupaten/kota penuhi kriteria vaksinasi penguat
Terkait cakupan vaksinasi nasional. data dari Kementerian Kesehatan per 11 Januari 2022 menunjukkan sekitar 68,60 persen lansia yang sudah mendapatkan vaksin dosis pertama dan 43,94 persen dosis dua dari total 21.553.118 orang lansia.
Sementara untuk masyarakat rentan dan umum, cakupannya mencapai 70,56 persen dosis pertama dan 46,83 persen dosis kedua, kelompok usia 12-17 tahun yakni sebanyak 86,81 persen sudah divaksin dosis pertama dan 66,11 persen dosis kedua.
"Karena masih 43 persen populasi dan 56 persen lansia belum divaksin memadai (2 kali) maka angka ini harus segera dikejar untuk divaksin semaksimal mungkin," kata Prof. Tjandra.
Selain vaksinasi, hal yabg dapat dilakukan untuk mengendalikan kenaikan kasus termasuk Omicron yakni penelusuran kasus. Menurut dia, transmisi lokal yang sekarang sudah terjadi harus dicari dari mana sumbernya, tak hanya menularkan kemana.
"Kalau tahu sumber awalnya maka bisa di cek kemana saja si sumber awal itu sudah menularkan, dan semuanya diisolasi," kata dia.
Kemudian, karena banyaknnya kasus tanpa gejala dan hanya ditemukan saat pasien tes, maka jumlah tes di populasi harus lebih ditingkatkan demi menemukan segera mereka yang positif tanpa gejala dan mengisolasinya agar tidak menularkan ke sekitarnya.
"Pengawasan dari luar negeri juga harus terus ketat. Juga melalui mekanisme International Health Regulation (IHR) disampaikan informasi ke negara asal varian Omicron kita agar di negara itu juga dilakukan testing dan tracing dari kemungkinan sumber penular di negara itu," papar Prof. Tjandra.
Dia menilai, kesiapan pelayanan kesehatan dari primer, sekunder dan tersier juga harus terus ditingkatkan, dibarengi upaya komunikasi risiko yang intensif agar protokol kesehatan dapat dilakukan lebih baik lagi.
"Ini bukan lagi new normal tapi sudah menjadi now normal," tegas dia yang pernah menjabat sebagai Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu.
Selain itu, data kasus dan terkait dengannya harus selalu diperbaharui, begitu juga surveilans yang ketat sehingga dinamika pengambilan keputusan publik dapat berdasarkan data real time, tepat dan cepat.
"Pemberian booster tentu baik dan segera dimanfaatkan oleh yang sudah mendapat kesempatan ini. Kasus Omicron terus meningkat di dunia dan Indonesia. Tentu kita harapkan peningkatan kasus dapat dikendalikan," ungkap dia melalui pesan elektroniknya, Rabu.(12/1)
Walau begitu, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI itu mengingatkan, secara makro pemberian booster jangan sampai mengorbankan upaya pemberian dua dosis utama vaksin yang mutlak amat diperlukan.
Baca juga: Dinkes Sumut: 11 kabupaten/kota penuhi kriteria vaksinasi penguat
Terkait cakupan vaksinasi nasional. data dari Kementerian Kesehatan per 11 Januari 2022 menunjukkan sekitar 68,60 persen lansia yang sudah mendapatkan vaksin dosis pertama dan 43,94 persen dosis dua dari total 21.553.118 orang lansia.
Sementara untuk masyarakat rentan dan umum, cakupannya mencapai 70,56 persen dosis pertama dan 46,83 persen dosis kedua, kelompok usia 12-17 tahun yakni sebanyak 86,81 persen sudah divaksin dosis pertama dan 66,11 persen dosis kedua.
"Karena masih 43 persen populasi dan 56 persen lansia belum divaksin memadai (2 kali) maka angka ini harus segera dikejar untuk divaksin semaksimal mungkin," kata Prof. Tjandra.
Selain vaksinasi, hal yabg dapat dilakukan untuk mengendalikan kenaikan kasus termasuk Omicron yakni penelusuran kasus. Menurut dia, transmisi lokal yang sekarang sudah terjadi harus dicari dari mana sumbernya, tak hanya menularkan kemana.
"Kalau tahu sumber awalnya maka bisa di cek kemana saja si sumber awal itu sudah menularkan, dan semuanya diisolasi," kata dia.
Kemudian, karena banyaknnya kasus tanpa gejala dan hanya ditemukan saat pasien tes, maka jumlah tes di populasi harus lebih ditingkatkan demi menemukan segera mereka yang positif tanpa gejala dan mengisolasinya agar tidak menularkan ke sekitarnya.
"Pengawasan dari luar negeri juga harus terus ketat. Juga melalui mekanisme International Health Regulation (IHR) disampaikan informasi ke negara asal varian Omicron kita agar di negara itu juga dilakukan testing dan tracing dari kemungkinan sumber penular di negara itu," papar Prof. Tjandra.
Dia menilai, kesiapan pelayanan kesehatan dari primer, sekunder dan tersier juga harus terus ditingkatkan, dibarengi upaya komunikasi risiko yang intensif agar protokol kesehatan dapat dilakukan lebih baik lagi.
"Ini bukan lagi new normal tapi sudah menjadi now normal," tegas dia yang pernah menjabat sebagai Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu.
Selain itu, data kasus dan terkait dengannya harus selalu diperbaharui, begitu juga surveilans yang ketat sehingga dinamika pengambilan keputusan publik dapat berdasarkan data real time, tepat dan cepat.