Yerevan/Baku (ANTARA) - Armenia dan Azerbaijan pada Senin (5/10) saling menuduh satu sama lain menyerang daerah sipil pada hari kesembilan pertempuran yang paling mematikan di wilayah Kaukasus Selatan selama lebih dari 25 tahun itu.
Ratusan orang telah tewas dalam perang terbaru di Nagorno-Karabakh, daerah kantong pegunungan yang berdasarkan hukum internasional milik Azerbaijan tetapi dihuni dan diperintah oleh etnis Armenia.
Pemerintah Nagorno-Karabakh mengatakan pasukan Azerbaijan melancarkan serangan roket ke ibu kotanya, Stepanakert, sementara Azerbaijan mengatakan Armenia menembakkan rudal ke beberapa kota di luar wilayah yang memisahkan diri itu.
Baca juga: Azerbaijan sebut Armenia tembaki kota kedua di Ganja
"Musuh menembakkan roket ke Stepanakert dan Shushi. Tentara Pertahanan tidak lama lagi akan mengambil tindakan," kata Vahram Pogosyan, juru bicara pemimpin Nagorno-Karabakh.
"Pertarungan sengit sedang berlangsung," kata juru bicara Kementerian Pertahanan Armenia Shushan Stepanyan.
Azerbaijan mengatakan Armenia telah melancarkan serangan rudal ke daerah padat penduduk dan infrastruktur sipil di Azerbaijan.
Baca juga: Armenia tarik dubesnya di Israel terkait kiriman senjata ke Azerbaijan
Kementerian Pertahanan Azerbaijan mengatakan sistem radarnya mencatat bahwa peluncuran dilakukan dari wilayah Armenia.
"Ini adalah informasi yang salah dan keliru bahwa Armenia menembaki benteng Azeri," kata Artrsun Hovhannisyan, seorang pejabat Kementerian Pertahanan Armenia, menyebut Azeri sebagai kependekan Azerbaijan.
Bentrokan itu adalah yang terburuk sejak 1990-an, ketika sekitar 30.000 orang tewas, dan menyebar ke luar daerah kantong Nagorno-Karabakh.
Pertempuran tersebut telah meningkatkan keprihatinan internasional tentang stabilitas di Kaukasus Selatan, tempat jaringan pipa membawa minyak dan gas dari Azerbaijan ke pasar dunia.
Konflik kedua negara dikhawatirkan akan menyeret kekuatan-kekuatan regional lainnya karena Azerbaijan didukung oleh Turki, sedangkan Armenia memiliki pakta pertahanan dengan Rusia.
Sumber: Reuters