Jangan sakiti anak penyandang disabilitas psikososial
Kamis, 25 Juli 2019 21:50 WIB 1110
Jakarta (ANTARA) - Pendamping anak penyandang disabilitas psikososial dari Yayasan Cahaya Jiwa Dian Septiani mengatakan anak dengan disabilitas psikososial bukan anak yang boleh dirundung dan disakiti.
"Saya melihat masing-masing dari mereka memiliki kelebihan yang bahkan tidak dimiliki oleh kita yang sehat," kata Dian saat menjadi narasumber unjuk bincang dalam peluncuran buku panduan "Mengenal Anak dengan Disabilitas Psikososial" di Jakarta, Kamis.
Dian mengatakan orang tua, keluarga atau pendamping memang kadang kesulitan ketika anak dengan disabilitas psikososial sedang kambuh.
Pada saat itu, orang tua, keluarga atau pendamping harus lebih banyak mendengar keluh kesah anak dengan disabilitas psikososial.
"Saya kerap sedih ketika mereka dianggap sakit, tidak dipedulikan lingkungannya dan disebut gila," tuturnya.
Pegiat Ragam Institute yang juga penyintas disabilitas sosial Agus Hidayat mengatakan anak dengan disabilitas psikososial harus mendapatkan penanganan yang tepat sejak dini.
"Saya terdeteksi ada gangguan saat usia lima tahun. Namun, baru mendapat penanganan setelah dewasa dan didiagnosis bipolar, yaitu gangguan yang ditandai dengan perubahan perasaan yang sangat drastis," katanya.
Sejak itu, Agus memilih bergabung dengan komunitas bipolar untuk memberikan dukungan kepada anak-anak dan orang-orang dengan gangguan bipolar.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerja sama dengan Alpha-I dan Ragam Institute meluncurkan buku panduan "Mengenal Anak dengan Disabilitas Psikososial".
"Buku ini merupakan upaya pemenuhan hak anak," kata Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar.
Nahar mengatakan anak penyandang disabilitas psikososial harus dijangkau agar hak-haknya tetap terpenuhi. Bila mereka tidak dijangkau, seringkali hak-hak mereka dilanggar, misalnya dipasung oleh keluarga atau didiskriminasi oleh masyarakat.
"Saya melihat masing-masing dari mereka memiliki kelebihan yang bahkan tidak dimiliki oleh kita yang sehat," kata Dian saat menjadi narasumber unjuk bincang dalam peluncuran buku panduan "Mengenal Anak dengan Disabilitas Psikososial" di Jakarta, Kamis.
Dian mengatakan orang tua, keluarga atau pendamping memang kadang kesulitan ketika anak dengan disabilitas psikososial sedang kambuh.
Pada saat itu, orang tua, keluarga atau pendamping harus lebih banyak mendengar keluh kesah anak dengan disabilitas psikososial.
"Saya kerap sedih ketika mereka dianggap sakit, tidak dipedulikan lingkungannya dan disebut gila," tuturnya.
Pegiat Ragam Institute yang juga penyintas disabilitas sosial Agus Hidayat mengatakan anak dengan disabilitas psikososial harus mendapatkan penanganan yang tepat sejak dini.
"Saya terdeteksi ada gangguan saat usia lima tahun. Namun, baru mendapat penanganan setelah dewasa dan didiagnosis bipolar, yaitu gangguan yang ditandai dengan perubahan perasaan yang sangat drastis," katanya.
Sejak itu, Agus memilih bergabung dengan komunitas bipolar untuk memberikan dukungan kepada anak-anak dan orang-orang dengan gangguan bipolar.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerja sama dengan Alpha-I dan Ragam Institute meluncurkan buku panduan "Mengenal Anak dengan Disabilitas Psikososial".
"Buku ini merupakan upaya pemenuhan hak anak," kata Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar.
Nahar mengatakan anak penyandang disabilitas psikososial harus dijangkau agar hak-haknya tetap terpenuhi. Bila mereka tidak dijangkau, seringkali hak-hak mereka dilanggar, misalnya dipasung oleh keluarga atau didiskriminasi oleh masyarakat.