Medan (Antaranews Sumut) (ANTARA) - Lebih seminggu yang lalu telah digelar dua hari penuh pertandingan truf gembira tingkat Sumatera Utara memperebutkan Piala Kapoldasu Drs. Agus Andrianto, SH, MH.
Truf Gembira (TG) ini dipertandingkan menyertai dua cabang olah raga kategori prestasi yakni sepakbola dan bola volley.
Secara nasional bahkan untuk tingkat Sumut permainan TG belum pernah dipertandingkan sebelumnya.
Baru kali inilah ada pertandingan TG yang pesertanya berasal dari seluruh kabupaten dan kota yang ada di Sumatera Utara.
Sebelum mereka dilaga di tingkat Sumut, para peserta telah bertanding merebut juara satu dan dua di tingkat Kecamatan dan Kabupaten/Kota dan yang paling asyik lagi seluruh pertandingan difasilitasi oleh Polsek dan Polres mereka masing-masing.
Timing pertandingan TG ini sangat tepat dilaksanakan pada masa menjelang perhelatan demokrasi tahun 2019 - di saat orang ramai sibuk membahas sosok partai, calon legislatif dan presiden yang akan dipilih pada pemilu yang akan datang.
Kapoldasu begitu cerdas “membaca” situasi dan kondisi psikologi rakyat yang berada pada masa istikharah dan dalam penantian apakah sukses atau tidak pemilu digelar.
Logika dan naluri Polri berjalan untuk membuat langkah antisipatif dengan cara konsolidasi mental rakyat dengan tujuan paling tidak menggiring ke arah situasi yang sejuk dan rileks serta mengurangi kebiasaan menikmati berita hoax dan membully sosok tertentu melalui media sosial.
Selama berlangsungnya pertandingan, para peserta tampak begitu antusias dan gembira sekaligus berterima kasih kepada Kapoldasu yang telah memprakarsai terlaksananya pertandingan truf gembira tingkat Sumut tersebut.
Ternyata mereka rindu adanya pertandingan seperti ini secara periodik agar TG tetap eksis dan lestari menjadi salah satu permainan yang membanggakan warga Sumatera Utara.
Bahkan seluruh pemain meminta supaya kepengurusan baru tingkat provinsi dan kabupaten dapat segera dibentuk sebagai wadah berhimpunnya komunitas pecinta TG agar terpelihara kearifan lokal khas Sumut serta dapat diwariskan kepada generasi muda.
Banyak yang khawatir permainan TG ini akan hilang ditelan jaman apabila kita tidak bersengaja mewariskannya, lebih-lebih lagi ancaman di era globalisasi sekarang ini yang seakan memaksa diri kita wajib mengadopsi perubahan.
Bukan hanya itu, selama berlangsungnya pertandingan, ternyata banyak aliran permainan TG yang muncul menurut kebiasaan mereka di daerah masing-masing.
Untuk itu perlu dibukukan menjadi satu aturan yang standar dan baku agar dapat dipedomani setiap ada pertandingan pada masa mendatang.
Di dalam undang-undang RI tentang sistem keolahragaan nasional, memang TG bukanlah tergolong olah raga prestasi melainkan olah raga yang masuk kategori rekreasi.
Disebutkan bahwa olah raga rekreasi adalah yang dilakukan oleh masyarakat dengan kegemaran dan kemampuan yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi dan nilai budaya masyarakat setempat untuk kesehatan, kebugaran dan kegembiraan.
Dari bunyi undang-undang tersebut jelas bahwa TG adalah olah raga rekreasi yang tumbuh sesuai dengan nilai budaya Sumut yang bertujuan untuk memenuhi kegemaran agar memperoleh kegembiraan dan bukan untuk dijadikan sebagai alat untuk bermain judi.
Sebab jika TG dijadikan sebagai alat judi maka hakekat bermain truf yang semula untuk bergembira serta merta akan hilang.
Ruh permaianan truf adalah menghidupkan saraf-saraf otak untuk berpikir dan bergembira dan menumbuhkan solidaritas yang satu budaya dan satu komunitas.
Meski permainan TG lahir di Sumut , selama ini memang hanya milik warga Sumut, namun bukan tidak mungkin TG menjadi milik warga etnis dan milik daerah lain secara nasional jika kita mau “menjualnya” melalui wadah assosiasi penggemar TG tingkat pusat dan daerah sebagaimana kearifan lokal yang semula milik daerah tertentu menjadi milik bersama secara nasional seperti olah raga Tarung Derajat yang lahir di Bandung menjadi milik warga Indonesia di semua daerah bahkan tingkat ASEAN.
Lagi pula, melalui olah raga dan permainan rakyat seperti TG ini dapat berfungsi sebagai perekat (adhesive) dan pemersatu komponen masyarakat.
Ia dapat dijadikan sebagai alat memperkokoh kerukunan masyarakat yang berbeda etnis, agama dan budaya di suatu komunitas tertentu. Dapat juga menghilangkan sekat-sekat secara sosiologis/antropologis pada masyarakat plural menuju terwujudnya masyarakat yang rukun dan damai serta jauh dari konflik.
Bukan hanya itu, permainan rakyat tak terkecuali permainan TG bukan saja untuk kegembiraan, melainkan juga sebagai alat peredam kenakalan remaja dan bahkan mungkin kenakalan orang tua atau paling tidak menekan potensi remaja melakukan yang dapat mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat jika mereka menikmati permainan TG.
Suguhan permainan TG pada masa senggang berimplikasi kepada terhindarnya mereka berinteraksi kepada hal-hal yang negatif seperti pergaulan bebas, berfacebook ria yang tak genah-genah apalagi membuat dan menshare berita hoax serta prilaku yang dapat merugikan anggota masyarakat. Yang pasti dapat meninabobokan naluri dan potensi untuk berbuat hal-hal yang meresahkan masyarakat.
Namun semua itu tetap dalam pengawasan orang tua atau wali yang bertanggung jawab terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan mereka.
Meski tidak diketahui siapa yang menciptakannya dan kapan permainan TG ini lahir namun yang jelas TG sudah pasti memiliki tujuan dan kegunaan yang positif serta punya filosofi permainan yang dapat melatih daya ingat, mengasah otak dan mengolah kadar kartu menjadi permainan yang menarik plus menciptakan kegembiraan.
Hingga kini belum ada penelitian secara ilmiah yang diekspos “bila, di mana dan suku apa” di Sumatera Utara yang pertama sekali menciptakan permaianan TG yang hingga kini tetap eksis dan digemari sebagian golongan masyarakat.
Belum ada yang mengklaim bahwa permainan yang satu ini lahir di luar Sumut bahkan tetap diyakini sebagai produk budaya masyarakat Sumatera Utara.
Perlu ada penelitian dan seminar untuk mempertegas asal usul dan kehadiran TG di tengah-tengah masyarakat Sumut.
Menurut data yang pernah penulis gali dari orang tua yang kebetulan maniak bermain TG menyebutkan bahwa permainan TG lahir pada masa penjajahan Belanda meski tahunnya tidak diketahui secara pasti.
Belandalah pada awalnya yang memperkenalkan kartu permainan (playing cards), yang sebelumnya sudah dikenal masyarakat dunia - kepada penduduk Sumut yang terdiri dari 4 macam rupa (suit) yang dalam kamus truf Medan disebut luit (diamond), keling (spade),leku (heart), dan keriting (club).
Melalui kartu permainan ini boleh saja diciptakan beragam permainan seperti bridge, remi, solitaire, leng, cangkulang dan tak terkecuali truf gembira.
Menurut cerita para orang tua, TG diduga lahir di Sumatera Utara tepatnya di sekitar pesisir laut Sumatera Timur.
Sebelumnya orang Belanda memperkenalkan berbagai macam permainan melalui kartu yang dalam bahasa Belanda disebut "troef" dan dalam bahasa Inggeris disebut "trump".
Namun karena permainan yang disuguhkan Belanda kurang diminati masyarakat pesisir, maka muncullah ide kreatif orang Belanda bekerja sama dengan kaki tangan penguasa raja atau sultan untuk menciptakan permainan baru yang disebut dengan permainan "truf".
Oleh karena permainan ini mengundang ketawa dan gembira, belakangan permainan ini disebut menjadi "truf gembira". Lama kelamaan TG ini diminati oleh khalayak ramai terutama para nelayan.
Seiring dengan perjalanan permainan TG ini, beberapa lama kemudian istilah "Pe Go" pun muncul untuk penamaan bagi lawan yang membawa tawaran 10 tapi kurang pencapaian nilainya dari 150 alias tekor, padahal istilah ini hanya akrab pada masyarakat Betawi yang menghunjuk pada angka 150.
Di kala itu para pelaut dan nelayan memamfaatkan waktu untuk bermain TG menunggu turun ke laut disebabkan cuaca yang tidak bersahabat atau menunggu selesainya alat penangkap ikan diperbaiki dan atau sebab lain.
Sejak itu para nelayan gemar memainkan truf gembira untuk mengisi kekosongan waktu. Akhirnya TG ini menyebar ke seluruh daerah lain yang ada di Sumut dan sering dimainkan pada saat menyambut acara tertentu seperti kelahiran (lelekan) dan pada peristiwa-peristiwa lainnya.
Sangat masuk akal jika pada awalnya truf gembira ini hadir pertama sekali pada komunitas Melayu yang homogen yang pekerjaannya monoton dan tidak memerlukan mobilitas yang tinggi serta sesuai dengan karakter budayanya yang "slow down".
Demikian juga dengan yang menciptakannya patut diduga lebih dominan diyakini orang asli Belanda sedang yang mempopulerkannya adalah masyarakat Melayu.
Data mentah di atas memang belum bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah dan masih perlu mengkajinya melalui studi riset lebih lanjut untuk memperoleh pengetahuan yang valid dan ilmiah.
Tulisan ini hanya sekedar trigger agar budayawan dan pemerhati budaya lokal pro aktif mendalaminya dan mewariskannya kepada generasi muda.
Banyak permainan dan demikian juga cerita rakyat (folklore) di Sumatera Utara yang nasibnya hingga kini terancam punah akibat keterlenaan kita merawatnya lebih-lebih lagi di tengah derasnya arus dan dampak teknologi informasi dan komunikasi yang semakin menggila belakangan ini.
Untuk itu perlu ada proyek penelitian yang ditangani baik pihak instansi swasta dan negeri maupun akademisi untuk mengidentifikasi, mengkumpulkan dan membukukannya agar kekayaan budaya rakyat ini dapat terjaga dan dapat diwariskan sebagai kebanggaan kebudayaan Sumut sekaligus sebagai wujud rasa cinta kita terhadap budaya yang dirintis pendahulu kita.
Percayalah! Suatu ketika akan ada kerinduan pada permaianan dan budaya yang ditinggalkan masyarakatnya dan itu menjadi trend masyarakat dunia sekarang ini untuk kembali menikmati budaya lama yang soft (halus) di tengah-tengah kehadiran budaya yang kasar dan keras yang mengundang kepenatan bahkan penyakit stress dan stroke.
Profesor Ibrahim Gultom *)
*) Penulis adalah Guru Besar Antropologi Sosial UNIMED