Perkumpulan Pengajar dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (P3HKI) mengingatkan Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang sudah dibuat sebelumnya.

"RUU KIA ini tumpang tindih, seperti ketentuan masa istirahat bagi pekerja perempuan yang melahirkan Pasal 82 UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan," ujar Pengurus P3HKI, Dr Ida Susanti, SH, LLM, CN, melalui sambungan seluler di Medan, Kamis.

Hal ini ditegaskannya menyikapi pengesahan RUU KIA sebagai inisiatif DPR RI memuat cuti melahirkan enam bulan, dan menginisiasi cuti bagi suami 40 hari mendampingi istri melahirkan dalam rapat paripurna DPR di Jakarta, Kamis (30/6).

Kemudian, lanjut dia, ketentuan skema tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas, sehingga peraturan kedua UU ini menimbulkan inkonsistensi antarnorma dengan RUU KIA.

Selain itu, kata Ida yang merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan di Bandung, Jawa Barat ini, juga terdapat beberapa hal yang belum dituntaskan dalam RUU KIA tersebut.

Di antaranya cara melaksanakan RUU KIA, kewajiban pengambilan waktu, pengawasan pelaksanaan, batas pemanfaatan periode cuti, dan pemberlakuan bagi pekerja perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

"Akan tetapi kita apresiasi DPR RI, karena RUU KIA ini merupakan bentuk peningkatan kualitas keluarga dan posisi ibu sangat penting dalam keluarga. RUU itu juga membuat terobosan maternity leave (cuti hamil)," ungkap Dr Ida.

Dr Joko Riskiyono, SH, MH, tenaga ahli badan legislasi DPR RI mengatakan, dalam proses legislasi RUU KIA ada perbaikan atas harmonisasi peraturan perundang-undangan, khususnya ketenagakerjaan.

"Hak normatif pekerja, seperti cuti melahirkan enam bulan seharusnya cukup diatur dalam UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan supaya pengaturan ketenagakerjaan tidak tercerai-berai," tuturnya dalam diskusi virtual digelar P3HKI pekan lalu.

Jaminan sosial dalam Pasal 26 RUU KIA, terang dia, juga tidak menjawab persoalan tersebut, sehingga pendelegasian RUU KIA akan menimbulkan masalah teknis pelaksanaan, penegakan, dan pengawasan.

"Setelah proses harmonisasi beberapa catatan RUU KIA ditemukan, yakni harmonisasi antara RUU KIA dengan UU Ketenagakerjaan terkait lamanya waktu istirahat melahirkan," ujar Joko yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang di Banten ini.

"Ada kekhawatiran pemutusan hubungan kerja usai cuti enam bulan, hak pendapatan pekerja perempuan, kewenangan pusat dan daerah, dan pelindungan sosial dalam jaminan sosial," ungkap Joko lagi.

Pewarta: Muhammad Said

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2022