Penampilannya cukup sederhana. Sebagaimana petani/pekebun umum lainnya. Namun, suaranya lantang dan lugas. Mengulas soal dunia pertanian khusus Kopi organik dia pakar-nya.
Jangan tanya pendidikan atau titel. Cuma sebatas tingkat SD (Sekolah Dasar). Soal bidang ilmu budi daya kopi dari "A - Z" dia kuasai. Betul-betul mumpuni, penjelasan detail bak seorang profesor.
Pria itu bernama Abdul Wahid Harahap (52) putera asli Desa Aek Sabaon, Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel). Dan memiliki anak empat orang.
Tahun 2007 lalu, dia "banting setir" alias berhenti bekerja dari supir truk Medan - Jakarta belasan tahun. Alasan pensiun sopir cukup sederhana. Bertani. Mengingat sumber daya alam desanya begitu subur terletak di kaki Gunung Lubuk Raya.
Bermula dari sebidang tanah warisan kakek. Yakni budi daya kopi arabika secara organik. Ilmu tentang kopi dapat setelah belajar tekun bersama Lembaga Conservation International (CI) Indonesia (2016-2021).
Sebelum terjun ke kopi, Wahid sejak berhenti menjadi sopir sempat mencoba lahan pertanian itu secara tradisional menanam pohon karet, alasan tergiur harga. Akhirnya berujung gagal. Alam dingin Aek Sabaon tak menerima kehadiran karet.
Padahal sejak leluhur mereka (zaman Belanda) sudah menjadikan komoditi kopi salah satu produk unggulan selain padi dan gula merah.
"Dari kegagalan tanam karet itu lah saya semakin tertantang serta belajar dan belajar (bersama CI) demi menyambung kehidupan. Petani itu bisa sejahtera," Wahid menceritakan kisahnya kepada ANTARA di Aek Sabaon, Jumat (4/3).
Kerja keras dan merubah mindset
Seiring waktu, usaha kebun kopinya sudah semakin berkembang. Hasilnya sudah dia nikmati. Usahanya sudah dikenal dan terkenal. Bahkan hingga sampai luar negeri.
"Sukses itu sederhana. Mau kerja keras, tulus dan mau merubah pola pikir atau mindset. Dimana ada kemauan pasti di situ ada jalan, dan jangan lupa bersyukur(berdoa)," ujarnya.
Dia sudah buktikan pensiun sebagai supir truk dengan tekat bulat merubah pola pikir menjadi petani kopi tidak sia-sia. Sekarang kehidupan bersama keluarganya mulai mapan.
Wahid kini tak lagi dikenal sebagai Wahid sebagai supir truk. Tetapi pengusaha "TYYANA COFFEE" Marancar. Omset penjualan capai puluhan juta per bulan.
Dari kebun miliknya kini usahanya memproduksi bubuk kopi arabika, biji kopi atau grean been, biji kopi yang sudah roasting. Permintaan pasarnya merambah hingga sejumlah daerah dalam dan luar Pulau Sumatera seperti Pulau Jawa hingga luar negeri.
Tidak tanggung, lokasi kebun dia kelola kini menjadi penelitian mahasiswa pasca sarjana berbagai Universitas seperti dari IPB, USU, Polbangtan Medan, Unimed, UMTS, UGN dan lainnya. Tidak itu saja 4 tahun belakangan lokasi siswa/siswi SMK praktik lapangan.
Meski sebatas tamatan SD, Wahid betul-betul ahli, mulai struktur tanah, cara memilih bibit, menanam, merawat, memanen dan setelah panen, hingga sampai produksi dan pemasaran dia fahami dan ditangani secara mandiri.
Suami tercinta Nur Ainun Situmorang itu juga terkadang tampil membagikan ilmu pada seminar maupun diklat yang digelar pemerintah hingga mengisi kuliah umum beberapa perguruan tinggi seperti UMTS (Universitas Muhammdiyah Tapanuli Selatan) dan UGN Padang Sidempuan.
Pusat pelatihan
Berbekal keahliannya yang dia dapat dari "CI" serta dorongan Hamdan Nasution, mantan Kadis Peternakan Pemkab Tapsel, Wahid terobsesi memiliki sebuah pusat pelatihan pertanian masyarakat swadaya yang representatif untuk mentransfer ilmunya demi regenerasi.
"Saya ingin melihat sekaligus merubah pola pikir generasi muda anak bangsa Aek Sabaon Marancar tumbuh sebagai petani-petani muda yang berjiwa entrepreneur atau wirausahawan yang modern dan berdaya saing sehat," katanya.
Selain itu bercita-cita mengembalikan kejayaan kopi Aek Sabaon Marancar sebagaimana dirasakan leluhur ratusan tahun silam.
Optimis
Wahid cukup optimis dapat menggapai cita-cita itu. Sebagaimana pola pikir yang dia tanamkan pada dirinya. Berhenti menjadi sopir setelah melirik bertani dan pada akhirnya bisa pengusaha.
"Impian saya bagaimana lahan-lahan tidur daerah Aek Sabaon yang cukup subur yang memiliki panorama indah berudara dingin di kaki Gunung Lubuk Raya itu tertanam jejeran hamparan kebun kopi nan berkualitas," katanya.
Dia teringat ungkapan mantan Bupati Tapsel dua periode Syahrul M. Pasaribu mengistilahkan "Marancar ibarat kepingan surga yang jatuh ke bumi" mengingat alamnya yang subur dan panoramanya yang indah.
"Nah, kalau tidak kita mulai berbuat siapa lagi? pola pikir juga tidak mau berubah mau gimana lagi? apalagi persaingan pada zaman ini semakin ketat dan teknologi bertambah maju. Apalagi dampak pandemi COVID-19 perekonomian banyak terjepit," ujarnya bertanya.
"Karenanya, mari kelola sumber daya alam yang ada demi peningkatan kesejahteraan ekonomi. Bila sudah sejahtera, sehat dan cerdas akan dapat semakin terpenuhi. Mari kita kembalikan kejayaan kopi Marancar ratusan tahun silam," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2022
Jangan tanya pendidikan atau titel. Cuma sebatas tingkat SD (Sekolah Dasar). Soal bidang ilmu budi daya kopi dari "A - Z" dia kuasai. Betul-betul mumpuni, penjelasan detail bak seorang profesor.
Pria itu bernama Abdul Wahid Harahap (52) putera asli Desa Aek Sabaon, Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel). Dan memiliki anak empat orang.
Tahun 2007 lalu, dia "banting setir" alias berhenti bekerja dari supir truk Medan - Jakarta belasan tahun. Alasan pensiun sopir cukup sederhana. Bertani. Mengingat sumber daya alam desanya begitu subur terletak di kaki Gunung Lubuk Raya.
Bermula dari sebidang tanah warisan kakek. Yakni budi daya kopi arabika secara organik. Ilmu tentang kopi dapat setelah belajar tekun bersama Lembaga Conservation International (CI) Indonesia (2016-2021).
Sebelum terjun ke kopi, Wahid sejak berhenti menjadi sopir sempat mencoba lahan pertanian itu secara tradisional menanam pohon karet, alasan tergiur harga. Akhirnya berujung gagal. Alam dingin Aek Sabaon tak menerima kehadiran karet.
Padahal sejak leluhur mereka (zaman Belanda) sudah menjadikan komoditi kopi salah satu produk unggulan selain padi dan gula merah.
"Dari kegagalan tanam karet itu lah saya semakin tertantang serta belajar dan belajar (bersama CI) demi menyambung kehidupan. Petani itu bisa sejahtera," Wahid menceritakan kisahnya kepada ANTARA di Aek Sabaon, Jumat (4/3).
Kerja keras dan merubah mindset
Seiring waktu, usaha kebun kopinya sudah semakin berkembang. Hasilnya sudah dia nikmati. Usahanya sudah dikenal dan terkenal. Bahkan hingga sampai luar negeri.
"Sukses itu sederhana. Mau kerja keras, tulus dan mau merubah pola pikir atau mindset. Dimana ada kemauan pasti di situ ada jalan, dan jangan lupa bersyukur(berdoa)," ujarnya.
Dia sudah buktikan pensiun sebagai supir truk dengan tekat bulat merubah pola pikir menjadi petani kopi tidak sia-sia. Sekarang kehidupan bersama keluarganya mulai mapan.
Wahid kini tak lagi dikenal sebagai Wahid sebagai supir truk. Tetapi pengusaha "TYYANA COFFEE" Marancar. Omset penjualan capai puluhan juta per bulan.
Dari kebun miliknya kini usahanya memproduksi bubuk kopi arabika, biji kopi atau grean been, biji kopi yang sudah roasting. Permintaan pasarnya merambah hingga sejumlah daerah dalam dan luar Pulau Sumatera seperti Pulau Jawa hingga luar negeri.
Tidak tanggung, lokasi kebun dia kelola kini menjadi penelitian mahasiswa pasca sarjana berbagai Universitas seperti dari IPB, USU, Polbangtan Medan, Unimed, UMTS, UGN dan lainnya. Tidak itu saja 4 tahun belakangan lokasi siswa/siswi SMK praktik lapangan.
Meski sebatas tamatan SD, Wahid betul-betul ahli, mulai struktur tanah, cara memilih bibit, menanam, merawat, memanen dan setelah panen, hingga sampai produksi dan pemasaran dia fahami dan ditangani secara mandiri.
Suami tercinta Nur Ainun Situmorang itu juga terkadang tampil membagikan ilmu pada seminar maupun diklat yang digelar pemerintah hingga mengisi kuliah umum beberapa perguruan tinggi seperti UMTS (Universitas Muhammdiyah Tapanuli Selatan) dan UGN Padang Sidempuan.
Pusat pelatihan
Berbekal keahliannya yang dia dapat dari "CI" serta dorongan Hamdan Nasution, mantan Kadis Peternakan Pemkab Tapsel, Wahid terobsesi memiliki sebuah pusat pelatihan pertanian masyarakat swadaya yang representatif untuk mentransfer ilmunya demi regenerasi.
"Saya ingin melihat sekaligus merubah pola pikir generasi muda anak bangsa Aek Sabaon Marancar tumbuh sebagai petani-petani muda yang berjiwa entrepreneur atau wirausahawan yang modern dan berdaya saing sehat," katanya.
Selain itu bercita-cita mengembalikan kejayaan kopi Aek Sabaon Marancar sebagaimana dirasakan leluhur ratusan tahun silam.
Optimis
Wahid cukup optimis dapat menggapai cita-cita itu. Sebagaimana pola pikir yang dia tanamkan pada dirinya. Berhenti menjadi sopir setelah melirik bertani dan pada akhirnya bisa pengusaha.
"Impian saya bagaimana lahan-lahan tidur daerah Aek Sabaon yang cukup subur yang memiliki panorama indah berudara dingin di kaki Gunung Lubuk Raya itu tertanam jejeran hamparan kebun kopi nan berkualitas," katanya.
Dia teringat ungkapan mantan Bupati Tapsel dua periode Syahrul M. Pasaribu mengistilahkan "Marancar ibarat kepingan surga yang jatuh ke bumi" mengingat alamnya yang subur dan panoramanya yang indah.
"Nah, kalau tidak kita mulai berbuat siapa lagi? pola pikir juga tidak mau berubah mau gimana lagi? apalagi persaingan pada zaman ini semakin ketat dan teknologi bertambah maju. Apalagi dampak pandemi COVID-19 perekonomian banyak terjepit," ujarnya bertanya.
"Karenanya, mari kelola sumber daya alam yang ada demi peningkatan kesejahteraan ekonomi. Bila sudah sejahtera, sehat dan cerdas akan dapat semakin terpenuhi. Mari kita kembalikan kejayaan kopi Marancar ratusan tahun silam," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2022