Ketua Terpilih Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) Dr. Radityo Prakoso, SpJP(K), FIHA, mengatakan orang tua perlu mengetahui faktor risiko Penyakit Jantung Bawaan (PJB) atau Congenital Heart Disease (CHD) lewat skrining premarital.
"Skrining premarital dan konseling genetik dapat mengidentifikasi dan memodifikasi, melalui pencegahan dan manajemen, beberapa kebiasaan, medis dan faktor risiko lainya yang dapat mempengaruhi hasil kehamilan," kata Dr. Radityo dalam seminar daring Heartology Cardiovascular Center, dikutip pada Minggu.
"Ini juga melibatkan promosi kesehatan wanita dan pasangannya sebelum terjadinya sebuah kehamilan, merupakan pencegahan primer dan langkah penting dalam membentuk masyarakat yang sehat," imbuhnya.
Sebagai informasi, Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit jantung yang telah ada sejak lahir akibat pembentukan jantung yang tidak sempurna pada fase awal perkembangan janin di dalam kandungan.
PJB mengakibatkan gangguan aliran darah di dalam ruang jantung sehingga darah yang dipompa tidak mencukupi kebutuhan tubuh, sehingga tanpa kontrol kehamilan yang baik seringkali PJB tidak terdiagnosa sebelum bayi dilahirkan. Pada saat orang tua mengetahui bahwa mereka memiliki bayi, proses perkembangan jantung telah selesai.
Di Indonesia sendiri, menurut data dari PERKI, terdapat 9 dari 1.000 bayi yang lahir dengan PJB.
Ada pun sejumlah faktor risiko yang bisa diketahui melalui skrining tersebut. Pertama adalah gen PJB yang diturunkan pada keluarga dan berhubungan dengan banyak sindroma genetik. Lalu Rubella yang dapat mempengaruhi perkembangan jantung janin, dan diabetes yang meningkatkan risiko PJB. Perlu diketahui, diabetes gestasional tidak meningkatkan risiko PJB.
Lebih lanjut, penggunaan obat-obatan seperti lithium atau isoretinoin berkaitan dengan PJB, diikuti dengan konsumsi alkohol serta merokok.
Kini, sebagian PJB dapat divisualisasi dengan ekokardiografi fetal pada trimester kedua.
"Dokter jantung janin memiliki peranan yang penting yang bukan hanya untuk menegakkan diagnosis, tapi juga memberikan konseling prenatal untuk membantu pasien," jelas Dr. Radityo.
Diagnosis prenatal memberikan kesempatan bagi orang tua untuk berkonsultasi mengenai diagnosis anak dan meningkatkan pemahaman orang tua tentang PJB. Ini juga memberikan waktu bagi orang tua untuk memutuskan tetap dilanjutkannya atau diterminasinya sebuah kehamilan, serta untuk memproses emosi.
Selanjutnya, ada skrining bayi baru lahir untuk PJB kritis, dilakukan dengan oksmetri denyut. Uji ini memperkirakan jumlah oksigen pada darah bayi. Skrining dilakukan ketika bayi berusia minimal 24 jam atau setelat mungkin sebelum bayi dipulangkan jika diukur sebelum berusia 24 jam.
Dr. Radityo mengatakan, saat ini PJB dapat ditangani tanpa pembedahan. Intervensi kateter Zero Fluoroscopy (tanpa radiasi) merupakan teknik mutakhir penanganan PJB tanpa radiasi dan pembedahan.
Diketahui, radiasi dapat menimbulkan efek jangka panjang baik untuk pasien maupun dokter dan tim laboratorium kateterisasi.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021
"Skrining premarital dan konseling genetik dapat mengidentifikasi dan memodifikasi, melalui pencegahan dan manajemen, beberapa kebiasaan, medis dan faktor risiko lainya yang dapat mempengaruhi hasil kehamilan," kata Dr. Radityo dalam seminar daring Heartology Cardiovascular Center, dikutip pada Minggu.
"Ini juga melibatkan promosi kesehatan wanita dan pasangannya sebelum terjadinya sebuah kehamilan, merupakan pencegahan primer dan langkah penting dalam membentuk masyarakat yang sehat," imbuhnya.
Sebagai informasi, Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit jantung yang telah ada sejak lahir akibat pembentukan jantung yang tidak sempurna pada fase awal perkembangan janin di dalam kandungan.
PJB mengakibatkan gangguan aliran darah di dalam ruang jantung sehingga darah yang dipompa tidak mencukupi kebutuhan tubuh, sehingga tanpa kontrol kehamilan yang baik seringkali PJB tidak terdiagnosa sebelum bayi dilahirkan. Pada saat orang tua mengetahui bahwa mereka memiliki bayi, proses perkembangan jantung telah selesai.
Di Indonesia sendiri, menurut data dari PERKI, terdapat 9 dari 1.000 bayi yang lahir dengan PJB.
Ada pun sejumlah faktor risiko yang bisa diketahui melalui skrining tersebut. Pertama adalah gen PJB yang diturunkan pada keluarga dan berhubungan dengan banyak sindroma genetik. Lalu Rubella yang dapat mempengaruhi perkembangan jantung janin, dan diabetes yang meningkatkan risiko PJB. Perlu diketahui, diabetes gestasional tidak meningkatkan risiko PJB.
Lebih lanjut, penggunaan obat-obatan seperti lithium atau isoretinoin berkaitan dengan PJB, diikuti dengan konsumsi alkohol serta merokok.
Kini, sebagian PJB dapat divisualisasi dengan ekokardiografi fetal pada trimester kedua.
"Dokter jantung janin memiliki peranan yang penting yang bukan hanya untuk menegakkan diagnosis, tapi juga memberikan konseling prenatal untuk membantu pasien," jelas Dr. Radityo.
Diagnosis prenatal memberikan kesempatan bagi orang tua untuk berkonsultasi mengenai diagnosis anak dan meningkatkan pemahaman orang tua tentang PJB. Ini juga memberikan waktu bagi orang tua untuk memutuskan tetap dilanjutkannya atau diterminasinya sebuah kehamilan, serta untuk memproses emosi.
Selanjutnya, ada skrining bayi baru lahir untuk PJB kritis, dilakukan dengan oksmetri denyut. Uji ini memperkirakan jumlah oksigen pada darah bayi. Skrining dilakukan ketika bayi berusia minimal 24 jam atau setelat mungkin sebelum bayi dipulangkan jika diukur sebelum berusia 24 jam.
Dr. Radityo mengatakan, saat ini PJB dapat ditangani tanpa pembedahan. Intervensi kateter Zero Fluoroscopy (tanpa radiasi) merupakan teknik mutakhir penanganan PJB tanpa radiasi dan pembedahan.
Diketahui, radiasi dapat menimbulkan efek jangka panjang baik untuk pasien maupun dokter dan tim laboratorium kateterisasi.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021