Peneliti dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Dian Armanda mengemukakan berkebun urban organik selain murah, mudah, dan menyenangkan bagi pekebun, juga menyembuhkan Bumi karena menjaga tanah sehat dan membantu menghentikan global warming (pemanasan global).
"Bisa berkontribusi bila syarat dan ketentuannya dipenuhi, misalnya menggunakan tanah, tidak pakai pupuk sintetik atau pestisida kimia sintetis, dan tidak membajak," kata Dian Armanda dari Belanda melalui percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Senin (30/11..
Dian yang juga staf pengajar dan peneliti Prodi Biologi di UIN Walisongo Semarang saat ini tengah menempuh program doktoral di Institute of Environmental Sciences Leiden University, Belanda.
Baca juga: Panen perdana kentang di tengah pandemi COVID-19, Bupati Nikson apresiasi Martohap Aritonang
Menjawab seberapa besar persentase berkebun di rumah memberi kontribusi terhadap pengurangan pemanasan global, Dian mengutarakan bahwa seberapa angka persennya belum ada data jelas karena semua bergantung pada konteks atau kasus per kasus dan kebunnya seperti apa.
Peneliti urban farming (pertanian perkotaan) dan biologi lingkungan ini lantas menjelaskan bahwa orang menanam berarti yang bersangkutan mengonservasi keanekaragaman biota tanah, baik organisme makro maupun mikroskopis.
Bila keanekaragaman biota ini terjaga, lanjut Dian, mereka mampu berfungsi membantu menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer. Sebagaimana diketahui bahwa karbon dioksida ini salah satu penyebab global warming.
"Biota-biota ini menggunakan karbon untuk kehidupan mereka sehingga alih-alih terlepas di udara, karbon tersimpan di tanah," kata pendiri start up CitiGrower, inisiatif urban farming berbasis digital.
Menurut Dian, sudah ada studi mengenai potensi serapan tanah subur pada karbon dioksida di udara ini. Dalam hal ini, tanah berpotensi mengikat karbon dari atmosfer hingga 4.000 gigaton, sedangkan total potensi serapan karbon oleh atmosfer sudah ditambah oleh tanaman sebesar 1.700 gigaton.
"Maka, potensi tanah subur untuk membalikkan pemanasan global ini sangat-sangat besar," kata alumnus Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020
"Bisa berkontribusi bila syarat dan ketentuannya dipenuhi, misalnya menggunakan tanah, tidak pakai pupuk sintetik atau pestisida kimia sintetis, dan tidak membajak," kata Dian Armanda dari Belanda melalui percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Senin (30/11..
Dian yang juga staf pengajar dan peneliti Prodi Biologi di UIN Walisongo Semarang saat ini tengah menempuh program doktoral di Institute of Environmental Sciences Leiden University, Belanda.
Baca juga: Panen perdana kentang di tengah pandemi COVID-19, Bupati Nikson apresiasi Martohap Aritonang
Menjawab seberapa besar persentase berkebun di rumah memberi kontribusi terhadap pengurangan pemanasan global, Dian mengutarakan bahwa seberapa angka persennya belum ada data jelas karena semua bergantung pada konteks atau kasus per kasus dan kebunnya seperti apa.
Peneliti urban farming (pertanian perkotaan) dan biologi lingkungan ini lantas menjelaskan bahwa orang menanam berarti yang bersangkutan mengonservasi keanekaragaman biota tanah, baik organisme makro maupun mikroskopis.
Bila keanekaragaman biota ini terjaga, lanjut Dian, mereka mampu berfungsi membantu menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer. Sebagaimana diketahui bahwa karbon dioksida ini salah satu penyebab global warming.
"Biota-biota ini menggunakan karbon untuk kehidupan mereka sehingga alih-alih terlepas di udara, karbon tersimpan di tanah," kata pendiri start up CitiGrower, inisiatif urban farming berbasis digital.
Menurut Dian, sudah ada studi mengenai potensi serapan tanah subur pada karbon dioksida di udara ini. Dalam hal ini, tanah berpotensi mengikat karbon dari atmosfer hingga 4.000 gigaton, sedangkan total potensi serapan karbon oleh atmosfer sudah ditambah oleh tanaman sebesar 1.700 gigaton.
"Maka, potensi tanah subur untuk membalikkan pemanasan global ini sangat-sangat besar," kata alumnus Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2020